Saatnya Dunia Memperhatikan Politisi Arab-Israel

Redaksi Suara Mahasiswa · 12 Juni 2021
8 menit

Konflik Israel-Palestina merupakan salah satu yang terpanjang di dunia. Mulai dari pendirian negara Israel pada 1948 hingga kini, pihak-pihak yang bersengketa masih belum dapat menemukan solusi yang konklusif. Di satu sisi, banyak pihak di Israel yang masih teguh dalam penolakannya untuk melakukan konsesi wilayah sebagai bentuk kompromi dengan pihak Palestina untuk menyelesaikan konflik; sementara itu, di sisi yang lainnya, terdapat banyak pihak pula di Palestina yang—karena pesimismenya terhadap proses negosiasi—melakukan tindakan-tindakan yang semakin menyurutkan prospek perdamaian dengan Israel.

Sikap masing-masing pihak yang telah disinggung sering dipandang mengancam setiap upaya negosiasi perdamaian yang akan dilakukan di masa depan. Namun, lebih penting dari itu—dalam jangka pendek—sikap tersebut dapat mengancam upaya rekonsiliasi etnis yang dilakukan oleh politisi-politisi Arab berkewarganegaraan Israel untuk mendamaikan warga beretnis Yahudi dan Arab yang tinggal di wilayah Israel-Palestina. Pecahnya konflik terbaru memperlihatkan kepada dunia bahaya kerapuhan harmoni etnis di Israel-Palestina—permasalahan yang dapat diselesaikan oleh politisi-politisi yang telah disinggung. Lebih dari itu, saga tersebut juga menunjukkan bagaimana kerapuhan tersebut—apabila disertai dengan konflik Israel-Palestina—dapat membahayakan kredibilitas mereka di masyarakat.

Kendati diri mereka semakin menonjol dalam perpolitikan Israel, para politisi yang beretnis Arab jarang sekali diliput oleh kantor berita internasional. Keberadaan dan suara mereka sering kali tertutup oleh pemberitaan media terhadap konflik bersenjata antara Israel dan kelompok-kelompok paramiliter yang berada di Gaza. Contohnya, mengingat kembali ketegangan etnis yang mendahului konflik Israel-Palestina terbaru, pemberitaan seputar tanggapan anggota parlemen Israel yang beretnis Arab terhadap eskalasi yang terjadi tidak sebesar pemberitaan terhadap operasi militer yang sedang berlangsung di Gaza. Padahal, tanggapan mereka sebetulnya tidak kalah penting jika kita memahami konflik etnis sebagai persoalan yang mendasari eskalasi selama sebulan itu.

Sebagai anggota parlemen yang mewakili komunitas Arab di dalam wilayah Israel, mereka menyerukan agar konstituen mereka tidak tersulut emosi dan melakukan tindakan balasan terhadap ekstremis Yahudi yang terlebih dahulu melakukan provokasi (Times of Israel, 2021). Di kota Umm al-Fahm sendiri—salah satu pusat komunitas Arab di Israel—walikotanya yang beretnis Arab menyayangkan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang Arab sebagai balasan terhadap kekerasan-kekerasan yang ditujukan kepada mereka (Reuters, 2021). Sayangnya—seperti yang ditegaskan sebelumnya—suara-suara dari mereka yang telah disinggung tidak memperoleh sorotan media seperti halnya pernyataan-pernyataan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang semakin memperkeruh konflik di Gaza (Reuters, 2021).

Ketidakpekaan media dan komunitas internasional terhadap para politisi Arab di Israel secara tidak langsung menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap persoalan etnis yang melatarbelakangi konflik Israel-Palestina—yang sekali lagi dapat diatasi oleh politisi Israel yang beretnis Arab. Permasalahan tersebut terlihat jelas dalam pemberitaan yang dilakukan oleh beberapa media. Mereka telah mengidentifikasi gejala-gejala yang ada secara tepat, tetapi mereka gagal dalam menganalisis perkara dasar yang menjadikan persoalan tersebut begitu besar bagi pihak-pihak yang bersengketa. Contohnya, Patrick Kingsley dalam New York Times telah berhasil memberitakan persoalan-persoalan yang mendahului konflik pada bulan Mei seperti rencana pengusiran warga Arab dari Sheikh Jarrah, tetapi tidak menyinggung persoalan etnis sebagai akar permasalahan melainkan provokasi semata (New York Times, 2021).

Sekilas memang betul, kita dapat melihat provokasi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam rentang waktu yang singkat sebagai akar permasalahan yang melatarbelakangi konflik yang terakhir. Namun, provokasi-provokasi tersebut tidak lebih penting daripada ketegangan etnis yang sudah mengakar di masyarakat kedua negara yang sedang dibahas. Kerusuhan yang terjadi di kota-kota Israel, terutama di Yerusalem dan Lod, merupakan puncak dari sikap permusuhan antaretnis yang sudah ada (INSS, 2021). Para politisi Yahudi sayap kanan di Israel, seperti Netanyahu hanya berperan untuk memperdalam sentimen tersebut demi mencapai tujuan-tujuan politisnya. Dengan kata lain, selama persoalan dasarnya belum diatasi, kerusuhan dan perang skala kecil yang terjadi pada bulan sebelumnya tetap akan terjadi meskipun Netanyahu tidak menjabat.

Rasa permusuhan tersebut bisa ditanggulangi dengan mempertajam peran yang sudah dimainkan oleh para politisi Israel yang beretnis Arab di hadapan umum. Mereka dapat menjadi pihak yang menghadirkan citra moderat warga Arab di Israel dan Palestina sebagai penawar dari persepsi buruk yang ditumbuhkan terhadap mereka oleh pihak-pihak Yahudi sayap kanan. Seperti yang ditunjukkan dalam tanggapan Ahmad Tibi dan Ayman Odeh—dua politisi Israel yang beretnis Arab—kita dapat melihat adanya keinginan dari mereka untuk menjalin hubungan yang harmonis antara warga Arab dan Israel yang hidup secara berdampingan. Selama kerusuhan berlangsung pada bulan Mei silam, mereka mendorong masyarakat Arab agar kembali tenang dan bekerja sama dengan orang-orang Yahudi untuk menghadang ekstremisme berbasis etnis yang sedang tumbuh di Israel (Times of Israel, 2021).

Ujaran-ujaran bernada rekonsiliasi seperti yang telah disinggung sangat penting untuk ditonjolkan pada masa-masa seperti sekarang. Pasalnya, pertikaian-pertikaian yang terjadi banyak diawali oleh mobilisasi politik yang memanfaatkan retorika etnis. Dalam peristiwa kerusuhan yang terjadi di Yerusalem sebelum pecahnya konflik sebelas hari di Gaza, kita menemukan adanya gerakan ekstremis yang didorong oleh keinginan untuk ‘mengembalikan martabat Yahudi’ di kota tersebut (Haaretz, 2021). Motivasi semacam itu—khususnya bila digunakan untuk memperjuangkan suatu tujuan politis—pastinya akan menambahkan nuansa etnis ke dalam konflik yang semulanya praktis, seperti sengketa tanah. Kegagalan oposisi untuk menawarkan narasi sebaliknya, bahwa orang-orang Arab di Yerusalem dan Israel tidak berniat untuk mencederai martabat etnis dan agama Yahudi akan berujung kepada munculnya dominasi narasi ekstremis di ruang diskursus publik.

Kegentingan untuk menghadirkan para politisi yang beretnis Arab semakin terasa menimbang potensi memburuknya keadaan jika retorika dan narasi sayap kanan yang banyak mengandung unsur etnis tidak segera dilawan. Konflik yang terjadi pada bulan Mei silam sebenarnya sudah dapat diperkirakan terjadi sejak 2018. Saat itu, pemerintahan sayap kanan yang didominasi oleh Partai Likud pimpinan Netanyahu bersama mengesahkan Nation-State Law, undang-undang kontroversial yang menjadikan orang-orang Arab di Israel sebagai warga negara kelas dua di bawah mereka yang beretnis Yahudi (Vox, 2021). Salah satu pasal yang banyak dipertentangkan dalam undang-undang tersebut adalah yang menegaskan hak istimewa etnis Yahudi untuk menentukan nasibnya sendiri di atas etnis-etnis lainnya yang ada.

Berdasarkan pasal yang telah disinggung, sudah dipastikan bahwa orang-orang yang beretnis Arab tidak akan terlalu dilibatkan dalam pembuatan kebijakan yang menentukan jalannya pemerintahan di Israel. Hal tersebut akan memunculkan rasa frustrasi di kalangan mereka. Lebih parahnya, undang-undang semacam itu dapat membangun sebuah persepsi di antara komunitas Arab bahwa pemerintah sedang mengancam identitas etnis mereka yang sudah diwariskan oleh generasi-generasi sebelumnya. Sementara itu, pasal tersebut juga dapat memberikan pembenaran bagi elemen-elemen Yahudi di Israel untuk melakukan tindakan yang bersifat diskriminatif terhadap orang-orang Arab. Kedua hal tersebut dengan sendirinya sudah dipastikan akan menimbulkan pergesekan etnis yang berujung dengan pecahnya konflik di masa depan.

Kompleksitas seperti yang telah dijelaskan dapat dianalisis lebih lanjut dengan teori instrumentalis yang terkandung dalam pembahasan mengenai konflik etnis. Berdasarkan teori instrumentalis, konflik etnis dapat terjadi ketika suatu pihak (e.g. pemerintah) menjadikan etnisitas sebagai isu politik (Che, 2016). Dalam kasus Israel dan Undang-Undang Nation-state, Israel jelas-jelas mempolitisasi identitas etnis untuk memberikan keuntungan untuk salah satu kelompok etnis dan merugikan yang lainnya—yaitu kelompok etnis Arab. Dijadikannya etnis sebagai isu politik akan membuka jalan bagi pihak-pihak yang ingin memperalat narasi berbasis etnis dalam melakukan mobilisasi politik—seperti yang dilakukan oleh demonstran-demonstran ekstremis Yahudi di Yerusalem sebelum pecahnya konflik Israel-Palestina yang terakhir. Seperti yang dijelaskan oleh Ted Robert Gurr, mobilisasi tersebut berpotensi besar menimbulkan gesekan antaretnis yang berdarah (Gurr, 1993, hal. 188).

Sebagai lingkaran setan yang bermula dari ruang-ruang sidang dan rapat parlemen, tentunya akan menjadi suatu hal yang penting untuk memastikan suara pihak-pihak yang moderat terdengar oleh publik. Dengan menghadirkan para politisi Arab di Israel dan mempertajam keberadaannya, terdapat kemungkinan narasi yang kontradiktif dengan pandangan para ekstremis akan terbentuk dan tersebar. Terlebih narasi tersebut dibangun oleh pihak-pihak yang memang memiliki pengalaman yang sama dengan konstituennya yang sudah lama menjadi korban disinformasi pihak-pihak ekstrem. Kesamaan pengalaman hidup akan memberikan kredibilitas untuk narasi para politisi Israel yang beretnis Arab di mata umum. Hal tersebut diharapkan dapat meredakan ketegangan etnis di Israel yang sedang tinggi akhir-akhir ini.

Hanya saja, hal tersebut cukup sulit untuk diwujudkan dalam waktu yang dekat; atau setidaknya, sangat sulit bagi kita untuk mengharapkan hasil yang maksimal dapat dicapai dalam tempo waktu yang singkat. Politisi-politisi Israel yang beretnis Israel selama ini menempati posisi yang penuh risiko—mereka berada di antara dua polar ekstrem yang ada di Israel-Palestina. Di antara para ekstremis, Israel ingin mengeksklusifkan diri dari orang-orang Arab/Palestina dan ekstremis Palestina yang ingin mengancam orang-orang Yahudi, mereka berupaya untuk mencari jalan tengah. Sebagai pihak yang menempatkan diri mereka di tengah, mereka kerap kali memperoleh tanggapan yang kurang baik dari rekan-rekan mereka. Sikap tersebut ditunjukkan kepada Pemimpin Partai Arab Bersatu, Mansour Abbas saat dirinya mengunjungi politisi Yahudi sayap kanan untuk membahas masa depan hubungan Arab-Yahudi pada bulan Mei silam—setelah kerusuhan antaretnis pecah di Yerusalem dan Lod (Times of Israel, 2021).

Demikian, seperti yang sudah diimplikasikan dalam penjelasan di atas, media massa dan masyarakat internasional sudah sepatutnya memberikan perhatian yang lebih terhadap politisi-politisi Arab yang berupaya untuk mencari jalan tengah konflik Israel-Palestina. Hal tersebut ditunjukkan untuk membantu mereka dalam menyebarkan narasi-narasi tandingan terhadap sayap kanan di Israel yang membahayakan harmoni Arab-Yahudi di Israel dan Palestina. Selain itu, upaya tersebut juga dapat memperkuat kredibilitas mereka sebagai aktor politik di muka umum. Sampai dunia melakukan hal tersebut, para politisi Israel yang beretnis Arab dipastikan tidak dapat memainkan peran mereka secara optimal.

Catatan: Tulisan ini adalah hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan sikap Pers Suara Mahasiswa UI 2021.

Teks: Bayu Muhammad Noor Arasy, Kepala Departemen Kajian Sosial dan Politik HMIP FISIP UI
Foto: Liputan6.com
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

Daftar Referensi

Ayyub, Rami. (2021). “Israeli president warns of civil war as Jews, Arabs clash over Gaza”. Reuters. https://www.reuters.com/world/middle-east/violence-grips-mixed-arab-jewish-towns-israel-tensions-flare-2021-05-12/ (diakses pada 6 Mei 2021).

Berger, Miriam. (2018). “Israel’s hugely controversial “nation-state” law, explained”. Vox. https://www.vox.com/world/2018/7/31/17623978/israel-jewish-nation-state-law-bill-explained-apartheid-netanyahu-democracy (diakses pada 6 Mei 2021).

Boxerman, Aaron. (2021). “Ra’am leader Abbas faces backlash in his party for meeting right-wing Lod mayor”. Times of Israel. https://www.timesofisrael.com/raam-leader-abbas-faces-backlash-in-his-party-for-meeting-right-wing-lod-mayor/ (diakses pada 6 Mei 2021).

Che, Afa’anwi Ma’abo. (2016). “Linking Instrumentalist and Primordialist Theories of Ethnic Conflict”. E-International Relation. https://www.e-ir.info/2016/06/01/linking-instrumentalist-and-primordialist-theories-of-ethnic-conflict/

Gurr, T. R. (1993). Why Minorities Rebel: A Global Analysis of Communal Mobilization and Conflict since 1945. International Political Science Review, 14(2), 161–201. https://doi.org/10.1177/019251219301400203

Hasson, Nir. (2021). “Dozens Wounded in Far-right, anti-Arab Jerusalem Protest”. Haaretz. https://www.haaretz.com/israel-news/.premium-we-re-burning-arabs-today-jewish-supremacists-gear-up-for-jerusalem-march-1.9737755 (diakses pada 6 Mei 2021).

Kingsley, Patrick. (2021). “After Years of Quiet, Israeli-Palestinian Conflict Exploded. Why Now?” New York Times. https://www.nytimes.com/2021/05/15/world/middleeast/israel-palestinian-gaza-war.html (diakses pada 6 Mei 2021).

Lavie, Ephraim et.al. (2021). “Jewish-Arab Relations in Israel, April-May 2021”. INSS. https://www.inss.org.il/publication/arabs-and-jews-in-israel/ (diakses pada 6 Mei 2021).

Reuters. (2021). “Netanyahu says Israeli offensive in Gaza to continue as long as necessary”. Reuters. https://www.reuters.com/world/middle-east/netanyahu-says-israeli-offensive-gaza-continue-long-necessary-2021-05-15/ (diakses pada 6 Mei 2021).

Staff, Toi. (2021). “From far-right to Islamist parties, leaders condemn Jewish-Arab violence”. Times of Israel. https://www.timesofisrael.com/from-far-right-to-islamist-parties-leaders-condemn-jewish-arab-violence/ (diakses pada 6 Juni 2021).

Times of Israel. (2021). “Arab Meretz MK calls for calm, urges Joint List MKs, Arab leaders to join him”. Times of Israel. https://www.timesofisrael.com/liveblog_entry/arab-meretz-mk-calls-for-calm-urges-joint-list-mks-arab-leaders-to-join-him/ (diakses pada 6 Mei 2021).

Weinglass, Simona. (2021). “Dispel the darkness: Thousands of Jews, Arabs rally for coexistence in Tel Aviv”. Times of Israel. https://www.timesofisrael.com/dispel-the-darkness-thousands-of-jews-and-arabs-rally-for-coexistence/ (diakses pada 6 Mei 2021).