Sandiwara Tahunan

Redaksi Suara Mahasiswa · 23 Juni 2021
5 menit

Tunjukkan aku satu atau dua hal agar aku dapat menyukai semua hari besar. Jelaskan padaku bagian mana darinya yang buat hati bergetar. Dari mana kehadirannya dapat perbaiki simpul tali yang melar? Karena yang kulihat hanya senyum dan tingkah berkelakar. Tawa yang sengaja dibesarkan hingga mulut memar. Segala hal kecil yang sengaja dibuat besar supaya kelihatan enak dan manis bila dipandang dari luar.

Dari dulu, aku tidak pernah keberatan untuk hanya sekadar melakukan kebiasaan. Orang tuaku merupakan salah satu umat, katanya yang selalu memegang tampuk kekuasaan. Mereka adalah mayoritas negara yang selalu berkeliaran, mulai dari tempat paling privasi sampai ke ruas jalan. Dengan muka dan latar belakang yang kentara akan perbedaan, mereka bersatu di bawah satu keyakinan tentang junjungan. Pada sebuah unsur sosial bernama keagamaan. Mereka terima saja perihal tanpa tanya seusai kelahiran.

Hari-hari menjelang hari besar adalah hari tersibuk di dunia. Merambah dari dan bagi segala aspek kemasyarakatan. Semua orang menjadi pemerhati lingkungan sekitar musiman. Para pedagang sibuk menipu dengan promosi agar maksimal keuntungannya. Para pembeli membabi buta menjarah, biar penuh keranjang belanjaannya, sehingga walau tunjangan diberi untuk tiap kepala keluarga dan pekerja, tetap saja ia menguap cepat layak udara.

Akulah salah satu pengamat kecil, di tengah-tengah megahnya tatanan bermasyarakat. Aku pun salah sekian peneliti di balik kentalnya lingkaran tradisi. Keluargaku adalah salah satu objek terdekat, sengaja digariskan Tuhan agar aku senantiasa merapat. Keluargaku adalah Ayah yang selalu berangkat dengan dahi terlipat, serta Ibu yang berusaha meniti karier agar tidak menjadi asisten pribadi kami secara bergilir.

Tiap tahun, Ibu membawaku ke pusat perbelanjaan elit, guna persiapan hari besar. Mengajakku berkeliling membawa harga diri yang sudah dijinjit. Sumringah senyumannya terpancar kuat, menyungging sempurna sengaja agar dilihat. Mungkin jika diperhatikan dengan cermat, rahang kerasnya sudah ikut terangkat, meliukkan ego seorang istri dari keluarga bermartabat.

Di kisi-kisi tempat perbelanjaan, Ibu berjalan percaya diri, hasil tabungannya selama bekerja mandiri. Tangannya menunjuk sasaran produk dengan teliti, karena bagaimanapun, pemakaian prinsip ekonomi harus selalu lestari. Dia bilang bahwa ini adalah bentuk dari persiapan penyambutan hari raya. Walau aku tak habis pikir dan kerap memungkiri, apa sih guna barang-barang ini? Sebegitunyakah sampai ada yang rela menusukkan belati? Kurasa Yang Maha Tahu juga mengerti arti dari ini. Para makhluk-Nya yang sedang berebut simpati, simpati remeh-temeh benda mati.

Semua yang dibeli Ibu merupakan remeh-temeh rumah tangga, sama sekali bukan krusial dan tidak menunjang juga. Tapi, seperti ribuan atau bahkan jutaan ibu di negeri ini, semua seperti sedang lomba lari. Antartetangga tak mau kalah, antarsepupu enggan dibilang payah. Kalau aku bertanya lugas tentang apa guna semua ini menjelang hari raya yang siap menetas, ibu akan menjawab dengan tegas, ˮDira, kau perhatikanlah semua ini. Camkan semua langkah yang kita lakukan ini. Adat yang kaya ini tentu tidak mungkin dilakukan seadanya. Ini dan itu adalah bentuk kewajiban yang nyata. Sudah bagaikan perintah dari surat tugas sebenarnyaˮ. Aku pun akhirnya hanya bisa mengalah, membiarkan Ibu dengan pemikiran bahwa hidup normal memang seperti inilah.

Setelah merasa puas menjelajah, menjarah barang-barang keperluan, Ibu dan aku pulang kembali ke rumah dengan pagar pembatas yaitu sebuah rumah yang dikelilingi hakikat orang atas, membuat tampilan luar bangunan terlihat beringas. Kemudian, dengan kuasa seorang istri, Ibu mengatur semua dengan sekali berdiri. Tirai-tirai dan selimut diberi ganti oleh kain-kain baru yang semerbak kesturi. Juga pernak-pernik kayu jati di setiap sisi, senantiasa berganti demi mengikuti adaptasi modernisasi. Jangan lupakan juga bahan sandang yang sudah siap mendendang. Sesungguhnya, Ibu telah mengantisipasi dari segala aspek dan sisi. Membuat semua sempurna sekaligus menjadi hampa dan tak berisi.

Ketika hari yang ditunggu serentak oleh seluruh negeri sudah menerbitkan diri, di situlah meledak proses perlambatan evaluasi diri. Orang tuaku sudah berdiri dari pagi, mereka pasang senyum yang sekiranya dapat membangkitkan hati. Tidak peduli lagi, embel-embel itu hanya pemalsuan diri, haus akan publikasi. Mata ke mata beradu temu tanpa pakai hati. Adegan kehangatan ini malah jadi ironi dan duri karena dilakukan atas niat pencitraan diri.

Kalimat andalan mereka sampai detik ini adalah, ˮDira, sini maaf-maafan di hari suciˮ. Sebuah kalimat yang tak kunjung memenuhi ekspektasi. Mungkin tadinya diharapkan menjadi manifestasi dari ketulusan diri, tapi yang terjadi sudah dapat tertebak sendiri. Terkadang, ungkapan verbal pun sudah jenuh buat membelah diri, sudah lelah dianggap sebagai juru sakti. Sesekali ia ingin dikenal biasa, malas menjadi kumpulan frasa dengan inti ganda, menjadi kalimat pemalsuan untuk mencari muka di hadapan Tuhan.

Biasanya, kami akan sama-sama pergi, ke rumah peribadatan terelok di kota kebanggaan kami. Pakai kendaraan mewah yang sudah berkilau dan berseri-seri. Pakai warna pakaian seragam ala lini musim semi. Lucu saja melihat setiap individu saling berkompetisi, unjuk gigi pada dunia siapa yang lebih terkini. Ayah dan Ibu akan pura-pura berbaik hati, masuk ke rumah ibadah dengan pandangan penuh isi. Berhadapan dengan kalangan muda dan paruh baya, mereka tak jauh beda dengan gemerlap keemasan. Lalu, mereka akan tersenyum dan bermaafan sembari cipika-cipiki. Padahal sesudah ini, semua akan kembali berbisik, menggebukan tentang ujung gamis yang tak sampai mata kaki.

Ibadah pun disegerakan, mengingat panggilan Tuhan sudah dikumandangkan. Dengan menungging dan sujud beberapa kali, terhapus sudah semua dosa dalam diri. Tangan-tangan acap kali saling menjamah, antara permohonan maaf terbias, atau malah menguji keaslian cincin emas. Satu per satu jamaah akan mengundurkan diri, saling menawari hubungan silaturahmi. Semua akan kembali pada ruang masing-masing, menyiapkan perhelatan di rumah dengan potong kambing.

Setelah itu, rumahku pun akan dibuka, secara harfiah. Pintu-pintu dan jendela ikut terkena dusta euforia. Teras depan, pekarangan, dan tanaman untuk hari ini jadi ceria. Mungkin karena hanya di saat inilah keberadaan mereka dianggap nyata. Langkah-langkah kaki akan silih berganti, masuk dan pergi. Mengobrol basa-basi dengan imbalan kaldu dan kuah sapi. Semua tertawa dan bercanda, melantunkan kegembiraan buatan. Di balik semua kemunafikan ramah tamah, tersimpan sejuta taktik mencari titik lemah tuan rumah.

Ibu atau Ayah bergantian memperkenalkanku, sebagai seorang gadis dengan masa kecil, masa depan, dan masa kini yang cerah. Tanggapannya selalu pujian monoton yang terdengar beloon, sekian remah-remah pembuat otak jengah. Sayangnya, akulah salah satu pemeran utama drama keluarga. Hanya lewat senyuman anak baik, semua keadaan dapat berbalik. Orang tua mulai berbincang dan memperbincangkan hal-hal luar biasa bagi masa tuanya, masa depan anaknya, maupun masa tersulit nantinya. Dilakukannya agar dikira bijaksana dalam memutuskan suatu perkara.

Rumahku pada saat ini juga spontan menjadi ajang peragaan amalan. Dihias berupa-rupa untuk persembahan pada Tuhan. Semua sanak datang dengan pakaian dan amal kebanggaan. Mereka bercerita ramai tentang hal-hal yang membosankan, sembari berdengung dan bergumam akan semua kudapan. Menanggapi berlebihan pada Ibu yang lapar pujian, agar ada balasan receh-receh tunjangan penghabisan. Kandungan kemunafikan sudah sangat jenuh, hatiku ingin sekali loncat dan melenguh.

Seluruh elemen masyarakat kini bermuka dua, bertingkah seolah-olah telah tuntas suatu kebajikan. Seumpama Ibu dan Ayahku yang menjadi lambang keharmonisan, padahal di hari biasa mereka bertemu empat kali dalam sebulan. Aku di sini juga mengandung sejuta dusta, menebar senyum gelagapan pada semua tingkat lapisan. Parade kebahagiaan yang terlalu situasional, di mana seluruh tawa dan kata diobral habis-habisan.

Lalu, kalimat yang dapat tervisualisasikan secara murni adalah, ˮTuhan, terimalah persembahan pakaian kami. Hapuslah dosa kami karena kami sudah tunggang-langgang ke tempat peribadatan di hari raya. Tuhan Yang Maha Indah, terimalah persembahan perabotan kami dan kudapan-kudapan kami. Ringankanlah hukuman karena kami sudah mengagungkan hari besar, setahun sekaliˮ. Namun, itu hanya dapat didengar oleh orang yang mau mendengar. Walau indramu terbuka lebar-lebar, belum tentu semua penjelasan dengan gamblang terjabar karena sandiwara berkelakar akan terus tumbuh dan berkembang. Seiring dengan berubahnya pandangan manusia terhadap hal sejati, pergeseran makna tetaplah diagungkan. Pada akhirnya, pembohongan akbar akan terulang dengan liar.

Teks: Candisa Azzahra (FIB UI)
Ilustrasi: Berliana Dewi R.
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!