Sanksi Ekonomi dan Restorasi Demokrasi Myanmar, Efektifkah?

Redaksi Suara Mahasiswa · 2 Maret 2021
12 menit

Sejak tahun 1962, Myanmar dikenal sebagai Burma dengan praktis mayoritas pemerintahan di negara tersebut berada di bawah kekuasaan militer. Sekitar 26 tahun kemudian, Myanmar diguncang protes massal yang kemudian dikenal sebagai aksi demonstrasi 88. Dua tahun pasca demonstrasi 88, tepatnya pada tahun 1990, pemerintah Myanmar sempat mengadakan pemilihan umum guna memilih anggota parlemen. Sebanyak 93 partai politik termasuk National League for Democracy (NLD) yang merupakan pihak oposisi terbesar dan Union Solidarity for Development Party (USDP) sebagai pihak propemerintah, turut berpartisipasi dalam pemilihan umum tersebut. Kemenangan mutlak diraih oleh NLD, dengan Aung San Suu Kyi sebagai pemimpinnya. Namun, hasil tersebut dibatalkan oleh pemerintah karena diduga terdapat banyak kecurangan (Nilasari YU, 2014: 29).

Pada awal November 2010, diadakan pemilu di Myanmar yang dimenangkan oleh partai USDP yang merupakan partai promiliter. Sementara itu, NLD dan banyak pihak lainnya menolak mengambil bagian dalam parlemen karena pemilu tersebut dinilai tidak adil. Lalu, pada pemilu tahun 2015 NLD mengambil alih kekuasaan dengan San Suu Kyi berperan sebagai penasihat negara. Kemudian, pada tahun 2020 Myanmar kembali  mengadakan pemilu demokratis dan dimenangkan oleh NLD (Kompas, 2021).

Baru-baru ini, keadaan di Myanmar kembali memanas akibat militer Myanmar merebut kendali pemerintahan pada 1 Februari 2021 dengan menangkap dan menahan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh kunci di partai NLD. Pihak militer menuntut pemungutan suara ulang serta mengklaim kemenangan yang terjadi sebagai penipuan. Namun, Komisi Pemilihan menyatakan bahwa pernyataan pihak militer tidak disertai bukti (Kompas, 2021).  Berbagai kekacauan pun terjadi akibat kudeta militer yang terjadi di negara tersebut. Banyak negara yang mengecam kudeta militer di Myanmar seperti Amerika Serikat, Australia, India, Singapura, Kanada, hingga PBB (Kompas, 2021). Bahkan, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah menyetujui perintah eksekutif untuk menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kudeta militer di Myanmar. Biden juga menegaskan tuntutannya agar para jenderal menyerahkan kekuasaan dan membebaskan para pemimpin sipil. Pihak Amerika Serikat akan mengambil langkah untuk mencegah para jenderal Myanmar memiliki akses ke dana pemerintah Myanmar yang disimpan di AS senilai 1 miliar dolar AS. Selain itu, Amerika Serikat juga akan memberlakukan kontrol ekspor yang kuat, serta membekukan aset Amerika Serikat yang menguntungkan pemerintah Burma (Republika, 2021).

Namun, jika melihat kedekatan antara Myanmar dengan China yang merupakan negara promiliter, perlu ditinjau kembali akankah sanksi ekonomi tersebut cukup efektif dalam tujuan demokratisasi kembali Myanmar. Oleh karena itu, pada penelitian ini, akan dipaparkan mengenai peluang efektivitas sanksi ekonomi yang diberikan kepada Myanmar berdasarkan data aktual dan perbandingan dengan kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya.

Menilik Tetangga: Thailand 2014

Sebelum ke pembahasan utama marilah kita sejenak menilik negara tetangga, Thailand, yang memiliki pemerintahan yang sama-sama bersifat militeristik dan sempat pula mendapat sanksi ekonomi. Pada 22 Mei 2014, Thailand mengalami kudeta untuk yang ke-19 kalinya. Kali ini, kudeta tersebut dilancarkan oleh militer Thailand yang dipimpin Jenderal Prayuth Chan-Ocha, dengan dalih memulihkan ketertiban dan menerapkan reformasi politik.  Negeri gajah putih tersebut sebelumnya telah mengalami krisis politik selama enam bulan karena adanya demonstrasi (BBC, 2014). Para demonstran mengatakan bahwa pemerintahan yang terpilih secara demokratis, yaitu pemerintahan Yingluck Shinawatra, dianggap berkoalisi dan dikendalikan oleh kakaknya, Thaksin Shinawatra, mantan Perdana Menteri Thailand yang digulingkan oleh kudeta militer 2006 karena kasus korupsi (BBC, 2014). Hal inilah yang membuat Prayuth mengumumkan bahwa Thailand berada di bawah kendali militer yang sebelumnya telah menerapkan keadaan darurat pada 20 Mei 2014 (Chachavalpongpun, 2014: 169).

Militer Thailand kemudian mengambil langkah yang lebih berani untuk mempertahankan posisinya agar tetap membuat Thailand berada di bawah pemerintahan militer yaitu dengan membentuk National Council for Peace and Order (NCPO) atau Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban. NCPO merupakan pemerintahan sementara yang dapat melegalkan semua tindakan yang diambil oleh NCPO selama terjadi kudeta militer (Chachavalpongpun, 2014: 172). Hal ini menguntungkan bagi militer saat itu yang mengakibatkan, Prayuth, dapat dilantik menjadi perdana menteri karena adanya perubahan Undang-Undang yang dilakukan oleh NCPO. Dilantiknya Prayuth menjadi Perdana Menteri tentu menuai banyak kritik, namun NCPO malah menanggapi kritik-kritik tersebut dengan melakukan penangkapan dan penahanan (DW, 2014, dan Chachavalpongpun, 2014: 172).

Respons internasional pada kudeta militer di Thailand sama halnya dengan yang terjadi pada kudeta militer di Myanmar, yakni memberlakukan sanksi politik dan ekonomi. Amerika dan negara-negara Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa turut andil dalam memberikan sanksi. Namun, negara-negara ASEAN yang mempertahankan prinsip nonintervensi pada piagam ASEAN mereka mengatakan bahwa kudeta militer Thailand adalah urusan dalam negeri sehingga memutuskan tidak akan mengintervensi (Hidriyah, 2014: 7). UE telah menghentikan kemitraan dan perjanjian kerjasamanya dengan Thailand sebagai sanksi atas kudeta militer.  Perjanjian tersebut berisi kerja sama pariwisata, pekerjaan, edukasi, migrasi, transportasi, dan lingkungan. Amerika juga diketahui memutus hubungan bilateral, termasuk di antaranya menangguhkan kunjungan dari dan ke dalam Thailand (Kontan, 2014 dan Chachavalpongpun, 2014: 174). Bahkan John Kerry, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, mengatakan bahwa Amerika menangguhkan bantuan militer untuk Thailand (VOA, 2014).

ASEAN tampaknya telah melewatkan kesempatannya untuk menghentikan kudeta militer Thailand karena sanksi yang diberikan oleh negara-negara barat terlihat memiliki keefektifan. Ekonomi Thailand sangat sensitif terhadap sanksi yang diberikan negara-negara barat karena sangat berhubungan dengan pasokan global beberapa komoditas pentingnya (Chachavalpongpun, 2014: 170). Oleh karena itu, jika Thailand tidak mengindahkan sanksi tersebut, maka besar kemungkinan ekonomi Thailand akan mengalami kemerosotan. Namun, di satu sisi, pemberian sanksi ekonomi juga merupakan tindakan yang kurang efektif karena membuka kemungkinan bagi Thailand untuk mencari opsi politik lain agar dapat mempertahankan kekuasaannya, misalnya dengan membangun relasi ke China (Bisnis.com, 2014).

Diketahui dua minggu setelah Thailand dinyatakan mengalami kudeta, Prayuth menemui China dan membahas mengenai peluang perdagangan di Thailand (Chachavalpongpun, 2014: 180). China menanggapi dengan antusias tawaran Thailand karena China dapat mengembangkan pengaruhnya sehingga kekuatannya dapat menjadi dominan di kawasan Asia. Hal tersebut mengkhawatirkan bagi Amerika Serikat hingga membuatnya meluncurkan kebijakan Pivot Asia yang seolah dibuat untuk mengimbangi pengaruh Cina (matamata politik, 2014). Thailand menikmati persaingan antara Amerika dan China menjadi keuntungan politiknya sendiri. Hal ini karena Thailand tidak lagi bergantung pada Amerika Serikat, melainkan memiliki bala bantuan baru yaitu China sebagai sumber investasi asing dan pasar produk bagi Thailand. Akibatnya, sanksi ekonomi yang diberikan oleh negara-negara barat nyatanya malah membawa Thailand menjauh dari kata demokratis.

Lantas bagaimana dengan Myanmar?

Apa yang terjadi di Thailand merupakan perwujudan dari apa yang dikatakan Bueno de Mesquita dan Siverson tentang respons pemerintahan otoriter terhadap sanksi ekonomi. Dalam Kaempfer  & Lowenberg (2007: 899), Mesquita menjelaskan bahwa autokrat lebih kebal terhadap sanksi ekonomi dikarenakan memiliki konstituen yang lebih sempit dan biasanya mengandalkan kelompok pendukung eksklusif. Melihat yang telah terjadi di Thailand, bagaimanakah peluang sanksi ekonomi dalam merestorasi demokrasi di Myanmar? Salah satu kasus menarik dapat dilihat dari perubahan arah kebijakan luar negeri India terhadap Myanmar dalam rentang waktu 1990-an. Sebelum masa tersebut, India dibawah pimpinan Rajiv Gandhi terkenal dengan pemerintahan yang prodemokrasi dan senantiasa mempromosikan paham tersebut ke tetangga regionalnya seperti Myanmar. Terlihat pada pemberontakan 1988 di Myanmar yang melibatkan rakyat dan elemen pelajar terhadap Jenderal Ne Win, India turut serta mengutuknya atas respons represif yang dilakukan junta militer tersebut. Dukungan India terhadap demokrasi juga ditunjukkan dalam berbagai bentuk, seperti memberikan suaka bagi para aktivis prodemokrasi di Mizoram dan Manipur, mengadvokasikan sanksi dan kampanye antimiliter Myanmar kepada masyarakat internasional, bahkan memberikan keringanan hukum dan suaka politik di India kepada dua pelajar Myanmar yang membajak penerbangan dari Bangkok ke Kalkuta untuk menarik perhatian internasional atas kondisi Myanmar (Routray, 2011: 303).

Namun, meski menunjukkan sikap dan pendekatan idealis-humanis tersebut, idealisme India akan demokrasi Myanmar tampaknya luntur seiring dengan meningkatnya urgensi mempertahankan kepentingan nasionalnya sendiri. Diplomasi Nehruvian yang diimplementasikan India ternyata memiliki harga yang harus dibayar dari segi kepentingan strategis dan ekonomi. Kecaman internasional, sanksi ekonomi, dan isolasi diplomatik yang ditujukan pada Myanmar, memuluskan jalan China untuk mempererat kerja sama strategis dengan Myanmar. Tercatat pasca pemberontakan 1988, China dan Myanmar beberapa kali menandatangani kesepakatan dagang seperti pada tahun 1989 dengan nilai 1.2 miliar dolar AS dan pada 1994 dengan nilai 400 juta dolar AS.

Dampak dari kedekatan tersebut tentunya menyebabkan India merasa terancam mengingat China merupakan hegemon kawasan yang kerap kali memiliki isu sengketa perbatasan dengannya, belum lagi menyinggung China yang mendorong Myanmar untuk menjalin hubungan baik dengan Pakistan yang akan membuat India semakin terkurung (Ayob, 2016: 70). Kedekatan strategis dengan China inilah yang membuat India beralih dari pendekatan idealis-humanis ke arah realpolitik dalam menyikapi Myanmar. Sanksi dan kecaman terhadap Myanmar perlahan mulai meringan dan mulai menjalin kerja sama ekonomi. Tercatat kerja sama bilateral antara India dan Myanmar meningkat dari hanya 12.4 juta dolar AS pada rentang 1980-1981 menjadi 1.07 miliar dolar AS pada 2010-2011 (Ayob, 2016: 72). Pendekatan realpolitik oleh India ini juga masih tercermin dalam responsnya terhadap kudeta yang terjadi di Myanmar. Dilansir dari The Diplomat (8 Februari 2021), India lebih memilih frasa “deep concern” dari pada “condemn” untuk menyatakan responsnya. Pendekatan yang lebih hati-hati ini dilakukan untuk menjaga Myanmar sebagai aktor penting pada geopolitik kawasan dan mendukung kebijakan Look East Policy India.

Melihat latar belakang sejarah ini, lantas bagaimana potensi sanksi ekonomi yang akan dijatuhkan oleh Amerika dan sekutu-sekutunya dalam memengaruhi perilaku militer Myanmar dalam memenuhi tuntutan rakyatnya? Menarik pula dibahas potensi penguatan hubungan antara Myanmar dan China di tengah sanksi ekonomi yang sudah di depan mata.

Dilansir dari Nikkei Asia pada 11 Februari 2020, Presiden Amerika Serikat Joe Biden telah membekukan aset pemimpin kudeta dan para tokoh atau institusi yang terkait dengannya seperti keluarga, perusahaan terkait, dan mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM dan supresi media. Pembekuan ini mengiringi pemutusan kerja sama bisnis yang dilakukan oleh dua investor utama pihak militer, seperti Japan’s Kirin Holdings yang memiliki kerja sama dalam memproduksi merek bir kenamaan Myanmar dan taipan Singapura, Lim Kaling, yang memiliki kerja sama dengan Virginia Tobacco Co., salah satu perusahaan yang memimpin produksi rokok di Myanmar dan memiliki keterikatan kuat dengan pihak militer. Merespons kematian Mya Thwet Thwet Khine dan beberapa tindakan represif pemerintahan Myanmar, kelompok G-7 yang mencakup Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Britania Raya, dan Amerika Serikat juga menyatakan secara tegas mengutuk pengekangan tersebut. Pernyataan itu menambah panjang rangkaian sanksi ekonomi yang berada di depan mata Myanmar.

Namun, meskipun telah mendapat beberapa sanksi dari beberapa entitas bisnis maupun pemerintahan negara lain, seperti yang telah disebutkan, tekanan tersebut tampaknya belum akan berpengaruh banyak pada Myanmar dalam waktu dekat. Dalam Kaempfer  & Lowenberg (2007: 893), beberapa sarjana setuju bahwa daya tawar negara pemberi sanksi bergantung pada tingkat keterlibatan perdagangan antar kedua negara sebelum terjadinya sanksi. Negara dengan keterlibatan perdagangan yang lebih intens dengan negara yang akan diberikan sanksi akan memiliki bargaining power lebih jika dibanding dengan yang tidak. Dalam kasus Myanmar, China dan Thailand yang merupakan dua partner dagang utama Myanmar tampaknya tidak terlalu berkepentingan untuk melakukan sanksi serupa.

Gambar 1: Grafik 10 besar pasar ekspor komoditas dagang Myanmar 2019 (UN Comtrade data).

Jika kita menilik data yang diperoleh dari United Nations Comtrade pada tahun 2019, China dan Thailand menempati posisi dua teratas sebagai negara tujuan ekspor komoditas-komoditas dagang Myanmar. Bersama, China dan Thailand membentuk 49.8 persen tujuan pasar Myanmar dengan valuasi sekitar US$8.9 miliar dengan komoditas utamanya yaitu bahan bakar fosil khususnya gas. Di sisi lain, kelompok G-7 yang meskipun terdiri dari negara-negara kaya, ternyata hanya menjadi bagian kecil dari ekonomi Myanmar. Menurut data yang diperoleh dari Chatham House (2020), nilai ekspor Myanmar terhadap kelompok negara kaya tersebut hanya sekitar US$352 juta dengan agrikultur (terutama perikanan dengan nilai US$101 juta) sebagai komoditas utamanya.

Gambar 2: Kontribusi PDB di Myanmar pada 2018 dalam berbagai sektor (Statista).

Menarik jika melihat porsi ekspor Myanmar terhadap negara-negara G-7 yang menjadikan agrikultur sebagai komoditas utamanya. Menurut data yang disadur dari Statista (2020), pada tahun 2018 sektor agrikultur memiliki porsi yang lebih besar dibanding sektor energi dan berada di peringkat kelima sebagai sektor penyumbang PDB terbesar, yang mana sanksi yang hendak diberikan negara G-7 memiliki peluang yang cukup menjanjikan. Namun, melihat interaksi dagang yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan China dan Thailand, nampaknya Amerika dan rekannya harus lebih berusaha jika ingin memberikan dampak yang lebih signifikan terhadap perpolitikan domestik Myanmar.

Dilansir dari CNN Indonesia, China telah secara terbuka menolak mengutuk Myanmar di depan PBB dan mengakibatkan gagal terbentuknya konsensus karena tidak mendapat dukungan China dan Rusia dalam pertemuan yang digelar pada Selasa 2 Februari 2020 lalu. Sikap yang ditunjukkannya ini senada dengan sikap China (yang juga didukung Rusia) terhadap persekusi dan genosida terhadap etnis Rohingnya pada 2017 lalu. China terus menekankan bahwa hal tersebut merupakan masalah internal dan intervensi dunia internasional hanya akan menambah runyam masalah. Sikap China ini masuk akal mengingat secara geografis Myanmar sangat penting untuk melanggengkan hegemoninya di Teluk Benggala dan Samudra Hindia, juga merupakan bagian dari program Belt and Road Initiatives China sebagai lokasi strategis jalur jaringan pipa yang menyalurkan minyak dan gas ke Provinsi Yunnan di China. (Mobley, 2019: 62)

Tak lain halnya dengan China, Thailand juga tampaknya tidak akan melakukan respons keras terhadap Myanmar, apalagi setelah Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha mendapatkan surat dari Min Aung Hlaing. Dilansir dari Reuters, surat tersebut berisi permintaan dukungan Thailand terhadap demokrasi di Myanmar. Hal ini tentu saja menarik mengingat sang Perdana Menteri Thailand sendiri naik ke tampuk kekuasaan dengan jalan kudeta. Prayuth sendiri mengatakan bahwa Thailand mendukung proses demokrasi yang ada di Myanmar, tetapi menyerahkan bagaimana proses tersebut berjalan kepada pemerintahan Myanmar Sendiri. Dengan mengamankan kedua rekan dagang utama ini, sulit rasanya jika sanksi yang diberikan Amerika dan sekutunya akan mempengaruhi junta militer Myanmar dalam waktu dekat. Hal ini juga tampaknya akan mengakibatkan semakin eratnya hubungan China dan Myanmar.

Kesimpulan

Myanmar memiliki kondisi yang cukup mirip dengan Thailand, di mana kudeta militer juga terjadi pada kedua negara tersebut. Kudeta militer yang terjadi di Myanmar telah menarik perhatian dunia, dan mengundang berbagai macam respon dari berbagai negara. Berbagai sanksi juga diberikan oleh beberapa negara kepada Myanmar sebagai respons dari kudeta militer yang menghambat demokratisasi di Myanmar. Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN tidak memberikan kecaman ataupun intervensi kepada Myanmar, mengingat dalam Piagam ASEAN tercantum komitmen untuk menghargai urusan domestik masing-masing negara. Amerika menjadi negara yang menentang terjadinya kudeta di Myanmar dan telah berupaya membekukan aset-aset tokoh dan pihak yang berkaitan dengan kudeta. Namun, hal tersebut tidak menjadi suatu hal yang sangat memberatkan Myanmar, mengingat Myanmar memiliki hubungan yang cukup dekat dengan China dan Thailand, di mana kedua negara tersebut tidak menentang ataupun mengecam kudeta yang terjadi di Myanmar dan memiliki hubungan perdagangan yang cukup erat. Akibatnya, sanksi ekonomi yang diberikan oleh Amerika dan G-7 tidak akan secara efektif memengaruhi perubahan politik di Myanmar.


Daftar Referensi

Artikel Jurnal:

Ayob, Azman. (2016). India-Myanmar Relations: from Idealpolitik to Realpolitik. Malaysian Journal of International Relations, 4: 62–85.

Chacavalpongpun, P. (2014). The Politics of International Sanctions: The 2014 Coup in Thailand. Journal of International Affairs 68  (1): 169–185.

Hidriyah, S. (2014). Krisis Politik Thailand dan Dampaknya Terhadap Kawasan. Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI 6 (2): 4–8.

Kaempfer, W.H.  & Lowenberg A.D. (2007). The Political Economy of Economic Sanctions dalam Sandler, Todd. & Hartley, Keith (Ed.).  Handbook of Defense Economics, Volume 2 (Hlm: 866–911). North Holland

Mobley, Terry. (2019). The Belt and Road Initiative: Insights from China’s Backyard. Strategic Studies Quarterly, 13 (3): 52–72.

Nilasari, Y. U. (2014). Proses Perubahan Politik Myanmar: Menuju Demokrasi Melalui Pemilihan Umum. FORUM, 4 (1): 29–33.

Routray, Bibhu Prasad. (2011). India-Myanmar Relations: Triumph of Pragmatism. Jindal Journal of International Affairs, 1 (1): 299–321.

Berita Daring:

Aida, NR. (12 Februari 2021). “Kudeta Myanmar, Sebab, dan Apa yang Sebenarnya Terjadi?”. Kompas.com. Diakses melalui https://www.kompas.com/tren/read/2021/02/12/123000265/kudeta-myanmar-sebab-dan-apa-yang-sebenarnya-?page=all

BBC. (22 Mei 2014). “Kudeta militer di Thailand”. BBC News Indonesia. Diakses melalui https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2014/05/140522_thailand_darurat

BBC. (22 Mei 2014). “Mengapa militer menguasai Thailand?”. BBC News Indonesia. Diakses melalui https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2014/05/140522_analisa_thailand_kudeta

Chatham House. (2020). “resourcetrade.earth”. Diakses melalui https://resourcetrade.earth/

Chau, Thompson.  (12 Februari 2001). “US sanctions on Myanmar: 5 things to know”. Nikkei Asia. Diakses pada 17 Februari 2021 melalui: https://asia.nikkei.com/Spotlight/Myanmar-Coup/US-sanctions-on-Myanmar-5-things-to-know

CNBC. (24 Mei 2014). “Dampak Kudeta Militer bagi Ekonomi Thailand”. Kontan.co.id. Diakses melalui https://internasional.kontan.co.id/news/dampak-kudeta-militer-bagi-ekonomi-thailand

CNN Indonesia. (3 Februari 2021). “China Dilaporkan Halangi Upaya DK PBB Kecam Kudeta Myanmar”. CNN Indonesia. Diakses pada 17 Februari 2021 melalui: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210203162056-134-601847/china-dilaporkan-halangi-upaya-dk-pbb-kecam-kudeta-myanmar

Ford, J. (26 Januari 2017). “Pivot ke Asia adalah Kesalahan Terbesar Obama”. matamata politik. Diakses melalui https://www.matamatapolitik.com/pivot-ke-asia-adalah-kesalahan-terbesar-obama/

Iswara, AJ. (1 Februari 2021). “Kudeta Militer Myanmar dan 10 Tahun Demokrasi yang Penuh Gejolak”. Kompas.com. Diakses melalui https://www.kompas.com/global/read/2021/02/01/140030270/kudeta-militer-myanmar-dan-10-tahun-demokrasi-yang-penuh-gejolak?page=all#page2

Jaramaya, R. (11 Februari 2021). “Presiden Biden Jatuhkan Sanksi Ekonomi untuk Myanmar”. Republika.co.id. Diakses melalui https://www.republika.co.id/berita/qoc832383/presiden-biden-jatuhkan-sanksi-ekonomi-untuk-myanmar

Kusumawardhani, A. (11 Januari 2014). “Militer Thailand Merapat ke China”. Bisnis.com. Diakses melalui https://kabar24.bisnis.com/read/20140611/19/235212/militer-thailand-merapat-ke-china

Nugraha, F. (23 Mei 2014). “Kudeta Thailand Picu Sanksi dari AS”. Okenews. Diakses melalui https://news.okezone.com/read/2014/05/23/414/988940/kudeta-thailand-picu-sanksi-dari-as

Ramachandran, Sudha. (8 Februari 2021). “India and Myanmar: Business as Usual Despite Power Grab”. The Diplomat. Diakses pada 17 Februari 2021 melalui: https://thediplomat.com/2021/02/india-and-myanmar-business-as-usual-despite-power-grab/

Statista. (2021). “GDP contribution in Myanmar in financial year 2018, by sector”. Diakses melalui: https://www.statista.com/statistics/1063582/myanmar-value-gdp-contribution-by-sector/

Thailand. (17 November 2020). “Masa Depan Politik di Thailand Ditentukan Lewat Amandemen Konstitusi”. DW. Diakses melalui https://www.dw.com/id/parlemen-thailand-bahas-amandemen-konstitusi/a-55624129

Thepgumpanat, Panarat. (10 Februari 2021). “Myanmar junta leader asks Thai counterpart for help on democracy”. Reuters. Diakses pada 17 Februari 2021 melalui: https://www.reuters.com/article/idUSKBN2AA0V7?il=0

UN Comtrade Database. (2019). Diakses pada 17 Februari 2021. Visualisasi data diakses melalui https://dit-trade-vis.azurewebsites.net/?reporter=826&type=C&year=2019&flow=2&commodity

Utomo, AR. (1 Februari 2021). “Myanmar Dilanda Kudeta Militer, Seluruh Dunia Mengecam”. Kompas.com. Diakses melalui https://www.kompas.com/global/read/2021/02/01/144311070/myanmar-dilanda-kudeta-militer-seluruh-dunia-mengecam?page=all

VOA. (25 Juni 2014). “AS Hentikan Bantuan Militer untuk Thailand”. VOA Indonesia. Diakses melalui https://www.voaindonesia.com/a/as-hentikan-bantuan-militer-untuk-thailand-/1944327.html

Penulis: Tim Litbang Suma UI
Ilustrasi: Jilan Fauziah

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!