Seberapa Jauh Kebebasan Bersuara di Kampus

Redaksi Suara Mahasiswa · 20 September 2023
2 menit

Mahasiswa sering dipandang menjadi agent of changedi banyak peristiwa. Peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah di Indonesia setidaknya terdapat campur tangan dari keberisikan para mahasiswa, seperti Demonstrasi 1966 dan Reformasi 1998. Demonstrasi 1966 yang menumbangkan Orde Lama menjadi Orde Baru, Reformasi 1998 yang menumbangkan Orde Baru menjadi masa Reformasi. Pada masa sebelum reformasi, peran Mahasiswa hanya seperti “Resi” yang turun gunung ketika masyarakat memerlukan bantuan, dan akan kembali lagi ke “atas gunung” ketika dirasa masalah di masyarakat sudah disuarakan. Kedudukan mahasiswa dan masyarakat menjadi terpisah, seakan-akan mahasiswa bukan menjadi bagian dari masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena kebebasan bersuara pada masa Orde Baru merupakan hal yang eksklusif untuk didapatkan, oleh karenanya penggunaan “barang” tersebut dilakukan hanya pada saat tertentu saja. Reformasi 1998 menghasilkan amandemen pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, amandemen tersebut memastikan kebebasan bersuara yang dahulu menjadi “barang” eksklusif bagi masyarakat menjadi dapat digunakan oleh siapapun. Amandemen tersebut menjadikan mahasiswa peran mahasiswa di masyarakat bukan lagi menjadi “Resi” tetapi sudah membaur dan juga menyuarakan kebutuhan mereka sendiri.

Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa bukan hanya ditujukan pada otoritas pemerintahan, unjuk rasa juga dapat ditujukan terhadap otoritas kampus tempat mereka mengenyam pendidikan. Universitas Indonesia yang digadang-gadang menjadi kampus perjuangan juga tidak luput dari unjuk rasa mahasiswanya. Aksi unjuk rasa seperti penolakan Statuta UI, Kinerja Rektor, Penolakan UKT Tinggi, hingga Aksi PR UI Masih Banyak dilakukan mahasiswa untuk menyuarakan keresahannya terhadap kebijakan-kebijakan yang ada. Tidak jarang aksi yang dilakukan menunjukan adanya kerusuhan. Seperti aksi yang dilakukan pada tanggal 31 Agustus 2023 oleh BEM se-UI, tindakan yang dilakukan oleh massa aksi untuk menrobos masuk gedung rekotrat hingga memecahkan kaca pintu gedung rektorat memunculkan pertanyaan “sejauh mana massa aksi dapat menyurakan keresahannya?”. Perusakan terhadap aset universitas tentunya bukan sesuatu yang dapat dibenarkan. Perusakan tersebut harus ada yang bertanggungjawab, tidak mungkin seluruh massa aksi yang dikenakan tanggungjawab. Penyelenggara yaitu BEM se-UI yang dikoordinatori oleh BEM UI perlu mengambil tanggungjawab dalam menyelesaikan permasalahan ini. Tentunya permasalahan ini terlebih dahulu diselesaikan secara internal dalam ikatan keluarga mahasiswa.

“Masalah seperti ini perlu tindakan tegas dari dalam kampus, atau bahkan tindakan lain yang lebih tegas lagi”

Ikatan Keluarga Mahasiswa UI perlu melakukan pengawasan terhadap aksi massa yang dilakukan di lingkungan kampus, jangan sampai kejadian yang tidak diinginkan terulang lagi. Lembaga Tinggi Mahasiswa UI yang di dalamnya terdapat lembaga-lembaga tinggi yang sederajat, seharusnya dapat melakukan pengawasan check and balances terhadap satu sama lain. Tindakan aksi massa yang mengatasnamakan mahasiswa UI harus menjadi perhatian segenap Lembaga Tinggi, apalagi aksi tersebut menimbulkan kerugian langsung bagi pihak lain. Sebagai sikap check and balances dari para lembaga tinggi, tindakan evaluasi antar lembaga diperlukan agar terciptanya lingkungan kampus yang berjalan secara demokratis.

Aksi massa yang dilakukan mahasiswa perlu mendapat pengawasan dari sesama mahasiswa, terutama di Universitas Indonesia yang dalam Ikatan Keluarga Mahasiswa memilki lembaga-lembaga yang berfungsi untuk menjaga keteraturan dalam menciptkaan iklim demokrasi yang sehat. Permasalahan seperti ini perlu menjadi perhatian agar fungsi dari Lembaga Tinggi tidak hanya tertulis dalam sebuah peraturan tetapi memang memiliki fungsi yang nyata.

Teks: Anonymous

Editor: Sekar Innasprilla

Ilustrasi: Tribun News