Selamat Ulang Tahun Jakarta: Maju Kotanya, Timpang Tanahnya

Redaksi Suara Mahasiswa · 25 Juni 2022
5 menit

Jakarta International Stadium (JIS) disebut-sebut menjadi stadion termewah yang ada di Indonesia, bahkan menurut laporan Daily Mail, JIS termasuk dalam 10 stadion termegah di dunia. Stadion sepak bola yang sudah mulai digunakan sejak turnamen International Youth Championship 2021 itu berkapasitas 82.000 penonton dan sudah dilengkapi dengan fasilitas atap buka tutup. Dengan kemewahan tersebut, Grand Launching JIS sempat direncanakan bertepatan dengan pelaksanaan acara Puncak Hari Ulang Tahun Jakarta yang akan dilaksanakan pada tanggal 25 Juni 2022 nanti. Namun, rencana tersebut dibatalkan karena dinyatakan belum siap.

Di balik kemewahan JIS yang akan dijadikan tempat pesta ulang tahun Jakarta, belum luput dari ingatan orang-orang Kampung Bayam yang tergusur akibat mega-proyek pemerintah daerah Jakarta tersebut. Jika berjalan sedikit ke tepi JIS, kita akan menemukan rumah-rumah warga yang berdampingan dengan rel kereta api. Rumah-rumah tersebut adalah milik warga Kampung Bayam yang tidak tahu lagi harus pindah ke mana sejak rumah lama mereka digusur.

Yuli, salah satu warga Kampung Bayam yang pindah ke tepi JIS akibat penggusuran mengaku kurang nyaman dengan pembangunan JIS. Menurut Yuli, pasca-penggusuran ia tidak punya pilihan lain selain menghuni rumah di dekat rel kereta yang bising dan berbahaya bagi anak-anaknya. “Jadi tidak nyaman karena tinggal di pinggir rel kereta, kan kita punya anak, takut ketabrak,” cerita Yuli.

Yuli merasa tinggal di Kampung Bayam dahulu lebih nyaman dibandingkan saat ini tinggal di pinggir kereta. Saat penggusuran, Yuli mengaku tidak mendapat tindak kekerasan karena sudah setuju dengan pemberian dana kompensasi. Kendati belum ada kejelasan, Yuli tetap berharap rumah susun yang dijanjikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera rampung agar dapat tinggal lebih aman dan nyaman.

Selang dua rel kereta dari rumah Yuli, terdapat perumahan warga kampung yang berjejer di tepi rel kereta. Mereka yang tinggal di situ adalah warga Kampung Bambu, Kelurahan Paponggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Terlihat rumah-rumah tersebut sudah diberi nomor yang dicat warna merah, seperti ditandai untuk dilakukan sesuatu. Saat dimintai keterangan tentang kenyamanan tinggal di Kampung Bambu, Eva mengatakan bahwa dirinya pasrah dengan keputusan pemerintah.

“Merasa terganggu (dengan proyek JIS -red) sih enggak, kita terima keadaan aja, andai kata digusur,” tutur Eva, “ya buatlah seperti di bawah (Kampung Bayam -red), ada pergantian rugi, kita bukan ayam, untuk pindah harus punya dana,” tambahnya berharap. Kendati lebih ingin untuk tidak digusur, Eva mengatakan ia sudah menerima kenyataan bahwa tanah yang ditempatinya adalah lahan pemerintah. “Kita paling tidak ya dimanusiakan saja, jangan seperti ngusir ayam,” tegasnya.

Bertolak dari dua kasus tersebut, saat ini Jakarta masih menjadi pusat dari dinamika berbagai aspek perkembangan kota di Indonesia, mulai dari pusat pemerintahan, industri dan bisnis, pembangunan infrastruktur, hingga sosial budaya. Beban Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan industri ini membawa permasalahan-permasalahan sosial di dalamnya, termasuk persoalan ruang dan tanah di perkotaan. Persoalan ketimpangan ruang dan tanah di kota erat kaitannya dengan peristiwa penggusuran paksa dan konflik agraria yang sering melibatkan pemangku kebijakan dan masyarakat penghuni lahan.

Meskipun demikian, PBB dalam Resolusi Komisi HAM 77/1993 sudah dengan tegas menyatakan bahwa penggusuran paksa adalah bentuk pelanggaran HAM berat karena mengakibatkan pelanggaran berlapis hak asasi manusia warga terdampak, seperti pelanggaran hak atas perumahan, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, hak atas kepemilikan pribadi, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas identitas, dan berbagai hak lainnya yang dapat merugikan warga terdampak.

Faktanya, menyikapi kasus kampung Bayam, LBH Jakarta mengatakan bahwa berdasarkan pengalaman pendampingan terhadap Kampung Bayam pada tahun 2011, warga Kampung Bayam pernah mengajukan gugatan saat mereka digusur secara paksa. Sebelum tinggal di rumah kumuh di dekat rel kereta, warga Kampung Bayam memiliki sejarah panjang penolakan penggusuran oleh proyek JIS. Menurut Nelson Nikodemus, salah satu pengacara LBH Jakarta, kendati memang tanah yang digugat warga Kampung Bayam berstatus kepemilikan oleh PT Buana Permata Hijau, namun Pemerintah tetap perlu memperhatikan standar-standar penggusuran yang layak dan manusiawi.

“Tanah itu memang dimiliki oleh PT Buana, tetapi kemudian tidak berarti orang-orang yang bertempat tinggal diatasnya maka mereka bisa dibuang begitu saja. Mereka juga harus diperhatikan, dalam kasus JIS, warga Kampung Bayam diberikan kompensasi dan sebagian kecil warga Kampung Bayam masih ingin tinggal disitu, tetapi kemudian mereka diberikan kompensasi dan relokasi, dicarikan teknisnya gimana,” terang Nelson.

Dalam wawancaranya, Nelson juga menjelaskan secara rinci, empat prinsip HAM yang perlu diperhatikan pemerintah, yakni (1) menghormati, (2) memenuhi, (3) melindungi, (4), non-diskriminasi. Dalam hal ini, menurutnya Pemerintah perlu memenuhi secara bertahap hak atas bertempat tinggal dan mempunyai rumah, jika hunian warga tidak mengganggu pemerintah, maka pemerintah tidak perlu mengusir untuk melindungi hak bertempat tinggal bagi warganya. Selain itu, pemerintah daerah juga perlu membuat harga rumah lebih terjangkau bagi warganya, baik program rumah subsidi maupun rumah susun.

“…salah satunya juga harus diperhatikan tempat rusun tersebut apakah dekat dengan mata pencaharian penduduk, jika tidak bagaimana penduduk membayar sewa? Solusi harus mengakomodasi kebutuhan warga, baik dalam mata pencaharian, daerah Pendidikan yang strategis, maupun lokasi Kesehatan yang strategis. Dinas perumahan harus mencatat daftar kesulitan warga yang akan digusur.” ujar Nelson mencontohkan, “mereka kan bukan diberi namun unit tersebut disewakan oleh pemerintah bukan milik, inilah yang harus digarisbawahi, apakah mereka bisa membayarnya?” tambah Nelson.

Terkhusus di Jakarta, lahan di perkotaan semakin menyempit akibat alih fungsi lahan untuk kepentingan proyek bisnis atas nama pembangunan, seperti mall, hotel, apartemen, pemukiman elit, dan sebagainya. Penyempitan lahan ini tidak hanya membuat masyarakat sulit membangun rumah pribadi, namun juga membuat masyarakat miskin yang termarjinalkan oleh proses pembangunan kota digusur atas nama rencana penataan ruang perkotaan. Nelson mengatakan bahwa berdasarkan data yang LBH miliki, kepemilikan tanah di Indonesia 80% dikuasai oleh para konglomerat; 13% oleh Asing, sisanya baru oleh warga individu.

“Para pemilik properti menjual kembali propertinya dengan harga yang sangat tinggi, dan ini membuat harga rumah sudah tidak terjangkau lagi. Ini implikasinya banyak, orang kemudian menjadi mikir bagaimana mencari uang dengan cepat makanya ada trading, korupsi, dll. Manusia memangsa manusia lainnya, Jakarta keras, kerja bagai kuda tapi duit ga ada,” keluh Nelson.

Permasalahan ini tidak sesederhana yang dibayangkan. Pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin hak untuk setiap orang bertempat tinggal. Kendati sudah dijanjikan kompensasi dan realokasi, hal tersebut tidak akan menyelesaikan problematika ketimpangan lahan di Jakarta. Berbagai proyek pemerintah dan swasta terus dilakukan hingga terjadi penyempitan lahan dan masyarakat sulit mendapatkan tempat tinggal. Anehnya, justru yang sering kali membayar ongkos penyempitan lahan tersebut adalah masyarakat miskin kota, yang tergusur dari rumah-rumah mereka untuk kemudian dialihfungsikan untuk kepentingan pemerintah.

“Tanah-tanah yang kemudian dibeli namun ‘ditabung’ oleh pemerintah ini tidak boleh. Dan lagi yang para konglomerat lakukan, membeli dan menabungkannya di bank tanah ini juga tidak boleh dilakukan. Efek domino yang akan terjadi, yakni harga tanah akan tidak terjangkau. Alurnya mereka membeli tanah, menabungnya di bank tanah, dan menjaganya menggunakan jasa preman, kemudian 20 tahun lagi dijual dengan harga di luar nalar,” tutur Nelson kepada wartawan Suara Mahasiswa.

Dengan demikian, untuk mengatasi ketimpangan tanah Pemerintah Kota Jakarta harus sungguh-sungguh mengimplementasikan tiap-tiap butir reforma agraria dalam kebijakannya. “Harus melakukan reformasi agraria, didistribusikan, dibalikin ke masyarakat kemudian diusahakan supaya tanah tersebut produktif,” tegas Nelson.

Dalam penghujung penjelasannya, Nelson juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap penggusuran paksa yang disertai kekerasan oleh aparat dan preman sewaan. Tidak hanya warga, LBH yang mendampingi, jurnalis yang meliput juga sering mendapatkan kekerasan saat proses penggusuran berlangsung. Ke depannya pemerintah perlu mengedepankan prinsip pembangunan yang berkeadilan. Pemerintah hendaknya lebih memprioritaskan perlindungan hak asasi manusia dalam hal penataan ruang, karena penggusuran bukanlah langkah utama, melainkan opsi terakhir. Penggusuran juga akan lebih manusiawi jika negara tidak hanya mengumbar janji,  tetapi benar-benar memberi kompensasi, relokasi, dan pembicaraan yang tulus di dalamnya.

“Untuk Pemprov DKI Jakarta, cabut peraturan-peraturan yang melegalkan penggusuran paksa (Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2017 Tahun 2016 -red). Ini bukan lagi tugas Pemprov DKI, namun tugas pengadilan setelah mengalami proses hukum dan Pemprov DKI harus punya standar-standar penggusuran, jangan lagi penggusuran paksa. Penggusuran bisa, tapi jangan lagi dengan cara yang persuasif. Penggusuran boleh dilakukan jika negara memberi kompensasi, relokasi tapi kemudian ada pembicaraan yang tulus di dalamnya,” tutup Nelson.

Penulis: Aldi Safitra, Bunga Dewi Maharani, dan Dian Amalia Ariani

Editor: Ninda Maghfira

Ilustrasi: Amalia Ananda

Pers Suara Mahasiswa UI 2022

Independen, Lugas, dan Berkualitas!