September Hitam: Sampai Kapan Negara Akan Diam?

Redaksi Suara Mahasiswa · 20 September 2021
4 menit

Bulan September adalah bulan yang kelam dalam sejarah penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Sejumlah peristiwa yang telah terjadi bahkan sampai saat ini tidak kunjung terlihat titik terangnya. Mulai dari Tragedi 1965-1966, Pembunuhan Munir, Tragedi Tanjung Priok, Tragedi Semanggi, dan sampai yang baru terjadi adalah Reformasi Dikorupsi. Semua peristiwa ini masih nyata dalam ingatan rakyat, namun entah mengapa pemerintah seperti amnesia akan eksistensi kasus-kasus pelanggaran HAM ini. Lalu, sampai kapan negara akan diam?

Memperjuangkan HAM melalui Aksi di Jalan

Tak sekali dua kali kita mendengar berbagai aksi massa yang menuntut ditegakkannya kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Namun, jarang sekali kita dengar angin positif dari tuntutan tersebut. Bahkan, meja hijau pun agaknya sudah tak lagi bisa diharapkan. Robertus Robet, Dosen Sosiologi UNJ mengungkapkan kekhawatirannya mengingat semakin lama satu demi satu deretan nama korban terus menumpuk, lebih cepat dibandingkan dengan kekuatan untuk menghentikannya. “Ini jadi kenapa bisa kenapa orang sebut Black September, karena disitu ada aspek keberulangannya yang terus menerus, ada aspek keberulangan yang menunjukkan adanya yang disebut diskrepansi antara dimensi normatif dari hak asasi manusia dengan politik HAM konkritnya itu,” jelasnya.

Berbicara mengenai aksi, tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan yang namanya Aksi Kamisan. Aksi ini merupakan lanjutan dari keberadaan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) dalam menuntut keadilan terhadap keluarga korban yang dirampas hak asasinya. Aksi yang sudah berjalan selama 12 tahun dan masih terus berjalan ini menjadi bukti bahwa hingga kini banyak korban kasus pelanggaran HAM di Indonesia masih belum mendapat keadilannya. “Hal itu menyangkut dengan kemanusiaan, pelanggaran prinsip utama dari hak asasi manusia tuh hak untuk hidup. Makanya bentuk aksinya kan aksi diam ya. Maksudnya itu simbolisasi dari pembungkaman gitu bahwa teriak teriak udah nggak sanggup gitu, kan,” ungkap Syahrul Ramadhan, mahasiswa FISIP UI 2018 yang turut aktif dalam Aksi Kamisan.

Aksi Kamisan bukan hanya sebagai wujud pembungkaman korban, tetapi juga menjadi pengingat bahwa perjuangan dan pergerakan terhadap HAM itu tak akan ada matinya. Semboyan “kami akan terus ada dan berlipat ganda” memaknai bahwa terlepas dari efektif atau tidak gerakannya tapi perlawanan dan perjuangan terhadap hak asasi manusia akan selalu ada.

Ryan Sebastian, mahasiswa FIB UI 2019, yang turut aktif dalam Aksi Kamisan, berharap ke depannya akan semakin banyak aksi maupun diskusi mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM, karena banyak masyarakat yang mulai lupa bahwa kasus-kasus seperti tragedi '65 dan yang lainnya itu ada dan pernah terjadi. “Gue percaya aksi turun di jalan dalam skala besar, skala kecil, individu, masuk ke gang-gang masuk ke ruang yang lebih besar atau mungkin juga sekadar di rumah lo melakukan diskusi bersama keluarga buat gue itu perlu dan efektif karena apa itu hanya caranya gitu lo,” tambahnya.


Negara dan Sistemnya yang Kacau

Menjadi sebuah pertanyaan besar untuk kita semua jika melihat bagaimana kasus-kasus ini tidak kunjung mendapatkan penyelesaian yang semestinya. Aktor-aktor masyarakat sipil yang selalu menyuarakan keadilan dengan gempar-gemparnya, negara yang sudah memiliki konstitusi untuk mengatur masalah HAM, serta adanya institusi yang memayungi HAM, yaitu Komnas HAM. Lalu, mengapa sampai detik ini tidak ada kemajuan dalam kasus-kasus ini?

Menurut Robet, Indonesia sudah menjadi lebih baik dalam segi normatif, namun negara belum tiba pada kemajuan yang diharapkan dalam merekognisi hak-hak korban atau memberi nama pada peristiwa besar pelanggaran HAM itu. Ia juga mengatakan bagaimana pemerintah memiliki komitmen yang masih rendah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM baik di masa lalu maupun di masa kini. Oleh karena itu, menurutnya kekuatan civil society memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan arah dari adanya kemajuan dalam kasus-kasus ini, karena dengan civil society yang kuat niscaya akan memperkuat tekanan kepada pemerintah untuk segera membereskan kasus-kasus ini.

Zaky Yamani, Campaigner Amnesty International Indonesia, juga memiliki pendapat yang serupa. Komunitas masyarakat sipil dan LSM yang bergerak di bidang penegakkan HAM masih kuat dan masih terus menekan negara untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, juga Komnas HAM, yang sampai saat ini sudah cukup konsisten dalam melaksanakan tugasnya. Menurutnya, jika negara memang memiliki keinginan untuk menyelesaikan kasus-kasus ini seharusnya cukup mudah, alat-alat negara hanya tinggal mengerjakan tugas masing-masing sesuai dengan undang-undang, tapi hal ini tidak dilakukan yang berarti terdapat hambatan-hambatan di dalam aktor-aktor negara.

“Ada apa dengan negara ini? Begitu sulitnya, padahal fakta-fakta sudah terungkap dengan terlihat jelas. Korbannya ada, keluarga korban yang menggugat ada, bukti-bukti saya pikir juga banyak yang bisa kita temukan, saksi-saksi juga bisa banyak memberikan kesaksian,” ujarnya. Namun masalahnya, negara begitu bebal, negara tidak mau mengakui kesaksian-kesaksian itu. Padahal, yang disasar oleh kawan-kawan LSM dan pejuang HAM adalah para pelaku pelanggaran.

“Padahal yang kita sasar adalah para pelaku dan juga negara sebagai sebuah entitas hukum dan politik yang maksudnya kita tidak melihat ini secara personal, tetapi ini ada sebuah kesalahan yang sistemik, sebuah keengganan yang sistemik juga untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu,” ujar Zaky

Titik Terang yang Tak Kunjung Terlihat

Penekanan oleh masyarakat selama beberapa tahun tidak cukup untuk membuat negara membuka suara mengenai kasus-kasus ini. Bahkan hanya untuk memberi titik terang sedikit saja juga tidak. Keluarga korban yang tak kunjung lelah mencari keadilan yang seharusnya ada untuk korban, masyarakat yang juga tak hentinya berusaha agar kasus ini tetap nyata di ingatan rakyat, tapi kembali lagi semuanya terhenti di satu titik. Negara sudah tidak memberi titik terang, bahkan memberi sense of relief kepada masyarakat, terutama keluarga korban saja tidak.

“Nah, bagaimana kita bisa merasakan sense of relief terutama bagi keluarga korban ya, ketika negaranya berlaku seperti tembok besar menghadang proses ini. Kita mau bicara apa lagi ketika semua berkas sudah diserahkan kepada negara dan negaranya tidak menunjukkan keinginan sedikit pun,” ujar Zaky. “Sistemnya kan sudah ada, prosedur ada juga, dan prosedur-prosedur itu sudah kami tempuh bersama. Tapi aktor-aktor negaranya kan tidak menunjukkan keinginan itu, seakan-akan menunjukkan ada yang ingin disembunyikan dari perkara-perkara ini.”

Teks: Afifa Ayu, Allya Shafira
Foto: Giovanni Alvita
Editor: Giovanni Alvita

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkulitas!