Berdirinya Serikat Pekerja Kampus: Langkah Menuju Kesejahteraan dan Kebebasan Akademik

Redaksi Suara Mahasiswa · 18 Agustus 2023
2 menit

Pada Kamis, tanggal 17 Agustus kemarin, Komite Pendirian Serikat Pekerja Kampus (SPK) mengadakan kongres perdana sebagai puncak dari serangkaian pembentukan SPK secara nasional. Kongres yang berlangsung secara hybrid di Gedung Rektorat Universitas Indonesia Kampus Salemba tersebut dihadiri oleh dosen, pekerja kampus, perwakilan serikat buruh, dan organisasi-organisasi progresif lainnya.

Kongres SPK merupakan momentum kolektif para pekerja kampus di lebih dari 100 perguruan tinggi di Indonesia untuk mengadvokasikan keresahan yang sama terkait dengan kesejahteraan para pekerja di lingkungan kampus di Indonesia.

Dalam acara kongres tersebut, panitia bersama para pekerja dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia telah merumuskan manifesto serikat, menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), serta memilih pengurus inti pusat SPK. Estu Putri Wilujeg, Dosen Sosiologi UI yang merupakan Ketua Panitia Kongres Pendirian SPK membuka acara dengan memaparkan situasi sulit dan lemahnya daya tawar para pekerja kampus di hadapan para pemegang kebijakan pendidikan selama ini sebagai latar belakang dilaksanakannya kongres ini.

Herdiansyah Hamzah, seorang dosen dari Mulawarman menegaskan bahwa masalah-masalah terkait kesejahteraan dan kelayakan kerja inilah yang mendorong seluruh entitas kampus, termasuk dosen, tenaga pendidikan (tendik), keamanan dan tenaga kebersihan, asisten dosen, dan pekerja magang harus bersolidaritas untuk menyuarakan hak-hak mereka melalui Serikat Pekerja Kampus. Dengan dukungan kolektif dari serikat, pekerja memiliki lebih banyak pengaruh dalam memperjuangkan upah yang adil, kondisi kerja yang aman, serta hak-hak lainnya.

“Kami menyadari kalau marah saja tidak cukup, mengupat dan memaki tidak mempan, dan geram tidak akan mengubah keadaan. Oleh karena itu, posisi tawar pekerja kampus harus dinaikkan, kekuatan mesti dilipatgandakan, dan perlawanan harus diorganisir. Posisi tawar yang kuat serta kekuatannya berlipat ganda itu hanya bisa kita peroleh melalui serikat pekerja,” kata Herdiansyah.

Hal senada juga dikatakan Kanti, Dosen Manajemen UI yang pernah terlibat dalam riset kesejahteraan dosen di Indonesia mengatakan bahwa berdirinya serikat pekerja kampus dapat menjadi langkah yang efektif untuk mendukung dan memperjuangkan aspirasi para pekerja kampus.

“Kongres ini merupakan langkah awal aksi kolektif para pekerja kampus untuk mencapai tujuan bersama. Kami berharap semua pekerja kampus dapat berkolaborasi, saling membantu dan urun rembuk untuk menghadapi segala macam tantangan para pekerja kampus,” kata Kanti.

Usai membuka Kongres, acara dilanjutkan dengan penetapan AD/ART, manifesto serikat, pengucapan ikrar, serta pemilihan pengurus inti melalui musyawarah mufakat. Dalam pemilihan pengurus inti, Dhia Al-Uyun, Dosen Universitas Brawijaya terpilih menjadi Ketua SPK dengan Hariati Sinaga, Dosen Universitas Indonesia terpilih sebagai Sekretaris Jenderal SPK.

Kerja-Kerja Para Pekerja Kampus Masih Belum Layak

Isu-isu yang menjadi perhatian utama SPK mencakup permasalahan kesejahteraan, beban kerja akademik dan nonakademik, diskriminasi dalam sistem kerja, tidak adanya kesetaraan dan kebebasan akademik, serta terabaikannya hak-hak pekerja kampus.

Misalnya, terkait dengan kesejahteraan dosen, berbagai kajian telah menggambarkan bagaimana banyak dosen di Indonesia bergaji rendah, dibebani tugas-tugas administratif yang berat, hingga terbelenggu kompleksnya birokrasi perguruan tinggi.

“Semua yang diurus Kemendikbud itu dipermukaan, ngga pernah sampai ngurus, misalnya berapa banyak universitas BLU yang menerapkan remunerasi ke dosennya? Kita nggak pernah tahu itu. Temen kita dari Unram remun-nya 300 ribu, apa-apaan itu,” ujar Bayu, Dosen PNS Universitas Singaper Bangsa, Karawang.

Selain itu, masalah kebebasan akademik juga menjadi keresahan tersendiri bagi para serikat kerja kampus, khususnya dosen dan akademisi yang kerap melakukan riset dan penelitian yang terkadang dianggap bertentangan dengan kepentingan pemerintah.

“Kebebasan akademik menghadapi ancaman di berbagai tempat di dunia. Akademisi dan mahasiswa menghadapi ancaman persekusi dan hukuman disiplin karena menyebarkan gagasan dan mengajukan pertanyaan. Pemerintah menarik pendanaan pendidikan untuk alasan politis dan semakin sulit bagi akademisi untuk mempertahankan pekerjaan tetap. Kami melihat ini di mana-mana: Afghanistan, Brazil, China, Hungaria, Nikaragua, Amerika Serikat, Venezuela,” ungkap Daniel Munir dari Scholars at Risk, sebuah jejaring internasional yang mengadvokasi kebebasan akademik di seluruh dunia.

Teks: Dian Amalia Ariani
Editor: Kamila Meilina
Foto: Dian Amalia Ariani

Pers Suara Mahasiswa UI 2023
Independen, Lugas, Berkualitas!