Kamis (25/11) tengah berlangsung Aksi 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKtP) di depan Gedung DPR/MPR RI pada pukul 13.00. Aksi dimulai dengan long march sembari menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Para peserta aksi melakukan long march mulai dari Jembatan Semanggi hingga tiba di depan gedung DPR/MPR RI. Namun, saat para peserta aksi tiba, ternyata sedang berlangsung pula aksi oleh ormas Pemuda Pancasila (PP). Akibatnya, situasi sempat menegang dari dua belah pihak. Lokasi aksi pun berpindah pada pukul 15.30 WIB, dari Gedung DPR menuju Istana Negara dikarenakan bentrokan dengan PP. Para peserta aksi 16HAKTP pun bergabung dengan para peserta Aksi Kamisan. Meskipun banyak terjadi gangguan, aksi dapat kembali berjalan dengan damai dan selesai pada pukul 17.00 WIB.
Aksi 16HAKTP atau 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan merupakan aksi yang mendorong upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Dilansir dari laman Komnas Perempuan, kegiatan ini merupakan kegiatan tahunan dan berlangsung dari tanggal 25 November hingga tanggal 10 Desember yang bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Rentang waktu enam belas hari ini dipilih karena memiliki keterikatan simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, juga menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan juga merupakan bentuk pelanggaran HAM. Febi, wakil koordinator lapangan dari aksi 16HAKTP mengatakan bahwa aksi kemarin merupakan hasil gabungan dari banyak lembaga
Aksi 16 HAKTP tahun ini memiliki enam tuntutan yaitu: 1) Dukung dan implementasikan Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021; 2) Mengajak semua pihak untuk memusatkan fokus pada implementasi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS) dan upaya bersama untuk menjaga hak-hak kita, termasuk korban kekerasan seksual di lingkungan kampus sebagai warga negara yang berhak atas pendidikan tinggi yang aman, sehat dan nyaman; 3) Mempertahankan judul RUU saat ini, yakni RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS); 4) Menjaga dan mengamankan RUU TPKS agar tetap pada tujuan dan maksud disusunnya RUU ini, yaitu sebagai aturan khusus yang berfokus pada isu kekerasan seksual, dan bukan isu lain di luar konteks kekerasan seksual, seperti isu seks bebas atau isu asusila; 5) Menghindarkan potensi kriminalisasi terhadap korban dengan menutup upaya-upaya pihak tertentu yang berambisi mencampuradukkan isu zina dan sejenisnya dengan kekerasan seksual; 6) Tidak hanya menitikberatkan RUU ini pada pencegahan, tetapi juga menguatkan substansi RUU TPKS di semua aspeknya, khususnya pemidanaan, penanganan, dan layanan terpadu untuk pemulihan korban, sehingga RUU TPKS bisa diimplementasikan sesuai dengan harapan dan tujuan penyusunan. Enam tuntutan ini tentunya berfokus pada pengesahan RUU TPKS dan Permendikbud PPKS.
Rika, selaku koordinator lapangan dari aksi ini menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual masih merajalela pada segala sektor. “Contohnya pada kampusku. Ketika aku membuka wadah pengaduan, ada lebih dari 20 kasus yang mereka tidak berani untuk angkat. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, termasuk kepastian hukum dan keberadaan mereka yang rentan tanpa bukti yang menghasilkan ketakutan akan pelapor yang diputar menjadi terlapor,” ujar Rika. Selain itu, Rika juga mengelaborasikan bahwa fenomena kekerasan seksual di Indonesia bisa dikatakan sebagai fenomena yang luar biasa. “Aku bisa dengan cepat menjawab luar biasa karena kekerasan seksual betul-betul tidak memandang gender,” ucap Rika. “Semua orang bisa menjadi pelaku, bahkan orang orang yang tak pernah aku sangka sebelumnya” lanjutnya. Dilandasi dari masalah-masalah diatas, Rika terdorong untuk melakukan aksi dan menjadi koordinator lapangan pada aksi 16HAKTP pada 25 November 2021 kemarin.
Febi, selaku wakil koordinator lapangan menyatakan bahwa kurangnya intervensi dari pemerintah menyebabkan rasa takut dari korban untuk melaporkan kasus kekerasan seksual. “Ketika korban mendapatkan kekerasan seksual, kurang diperhatikan. Misal karena kurangnya bukti atau tidak adanya saksi, korban malah justru dapat disalahkan.” jelasnya. Hal senada diungkapkan oleh Cici selaku peserta aksi. Ia mengungkapkan bahwa kondisi terkait kekerasan seksual di Indonesia masih minim berempati dengan korban. Terlebih, dengan tidak adanya payung hukum yang jelas mengenai kekerasan seksual, negara dianggap masih gagap menangani isu kekerasan seksual. “Oleh karena itu, menurut gue permen PPKS ini sangat esensial, seperti cahaya bagi suara para korban. Gue sangat setuju dan mengawal terus untuk implementasinya ofc. Yang against tuh gue rasa kurang research nya, kurang maksimal dalam edukasinya, and somehow kurang empati juga” tambah Cici.
Aksi 16HAKTP kemarin pun menyimpan banyak cerita. Dimulai dengan adanya perdebatan mengenai tempat aksi antara PP dengan koordinator lapangan aksi 16HAKTP. Rika, Koordinator lapangan 16HAKTP berkata bahwa, mereka tidak mengetahui adanya aksi oleh Pemuda Pancasila di hari yang sama dan di tempat yang sama. Akhirnya, polisi memberikan jalan tengah dengan cara membagi dua lokasi aksi. Namun, hal ini juga membawa dampak pada Aksi 16HAKTP.
Meskipun aksi 16HAKTP ini membawa isu-isu mengenai anti kekerasan seksual, sangat disayangkan karena saat aksi sedang berlangsung, beberapa peserta aksi kerap kali mengalami tindakan pelecehan seksual berupa catcalling. Catcalling ini dilakukan oleh beberapa oknum Pemuda Pancasila (PP) yang berada di area aksi. Ada beberapa oknum yang berucap “Neng, neng, semok banget”, “Sayang, nengok dong”, dan ujaran-ujaran lainnya.
Suasana semakin tegang saat para oknum PP juga mengganggu jalannya aksi 16HAKTP dengan cara mencabut kabel micropohone yang dipegang oleh orator ketika para peserta sedang melakukan orasi (dapat dilihat pada live di kanal Instagram Suara Mahasiswa UI). Selain itu, para oknum PP pun mengelilingi para peserta Aksi 16HAKTP dan ikut menyeru-nyerukan seruan, tetapi dengan nada yang bercanda dan seolah-olah mengejek. Kemudian, ada seorang demonstran PP yang mengamuk pada tengah orasi sehingga harus ditahan oleh para demonstran lainnya. Kelakuan-kelakuan nyeleneh dari ormas Pemuda Pancasila mulai menyebabkan kerusuhan dan mengakibatkan para demonstran 16HAKTP tidak nyaman dengan kondisi pada saat itu (jumlah peserta aksi lebih sedikit bila dibandingkan dengan oknum PP). Pada akhirnya, diputuskan bahwa demonstran 16HAKTP berpindah tempat ke Istana Negara dan bergabung dengan Aksi Kamisan. Untungnya, tidak ada peserta aksi yang cedera ataupun terluka karena kericuhan tersebut.
Keterpaksaan untuk berpindah tempat, tidak melunturkan semangat dari para demonstran aksi 16HAKtP. Dengan penuh antusiasme, rombongan 16HAKtP berangkat menuju istana negara. Aksi berlangsung dan berakhir dengan damai pada pukul 17.00 WIB. Cici, seorang partisipan dari aksi 16HAKtP berharap bahwa aksi ini dapat mendorong pemerintah untuk menetapkan payung hukum yang kokoh atas isu kekerasan seksual untuk perlindungan korban. Selaras dengan Cici, Febi juga menginginkan keadilan terutama untuk para korban kekerasan seksual. Lebih dari itu, ia juga mendambakan masa depan dimana korban kekerasan seksual sudah tidak ada. Walaupun aksi 16HAKtP pada 25 November kemarin harus berakhir dengan relatif cepat, antusiasme membara dari para partisipan untuk melindungi korban dan menciptakan rasa nyaman pada Indonesia tentunya tak berhenti di sini.
Demikian, berbagai hal yang merintangi proses Aksi 16HAKtP pada hari tersebut, termasuk bukti nyata tindak pelecehan seksual langsung di tempat kejadian, membuktikan bahwa masih ada banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Perjuangan menciptakan ruang publik yang aman bagi perempuan adalah ihwal yang serius bagi semua pihak. Ada berbagai alasan di balik terjadinya kekerasan terhadap perempuan, tetapi salah satunya: budaya patriarki yang masih menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua di bawah laki-laki. Budaya yang mendiskreditkan perempuan seperti ini perlu didobrak sebab kesetaraan gender baru dapat tercapai apabila budaya masyarakat hingga struktur yang ada di dalamnya memberi perlindungan pada kelompok rentan diskriminasi dan kekerasan. Selamat memperingati 16HAKtP!
Teks: Humairah Dila, Magdalena Natasya, Fadhila Afrina
Foto: Aditya Nugraha
Editor: Syifa Nadia
Pers Suara Mahasiswa UI
Independen, Lugas, dan Berkualitas!