Sexual Consent: Penting Ga Sih?

Redaksi Suara Mahasiswa · 16 April 2020
3 menit

By Giovanni Alvita

Sebuah istilah yang sering muncul dalam pembahasan kasus kekerasan seksual akhir-akhir ini adalah consent. Saat berbicara mengenai aktivitas seksual, syarat utama yang mesti dipenuhi adalah adanya consent, atau persetujuan dari kedua belah pihak. Persetujuan ini mesti disadari tanpa adanya paksaan sama sekali. Legal Service Commission of South Australia merilis Consent Fact Sheet yang di dalamnya tercantum bahwa syarat sexual consent adalah ketiadaan manipulasi, ancaman dan paksaan untuk berhubungan badan, atau upaya menghilangkan kesadaran satu pihak.

Dengan demikian, aktivitas seksual apapun yang tidak disertai persetujuan dari kedua belah pihak dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan seksual. Ini berarti, hanya karena seseorang tidak melawan ketika dilecehkan, bukan berarti ia menyetujui tindakan seksual tersebut. Hal ini berlaku untuk setiap individu, yang mana mereka berhak untuk menyetujui atau menolak aktivitas seksual.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Tim Litbang Suara Mahasiswa UI terhadap 209 orang mahasiswa/mahasiswi UI, sebanyak 73.7% responden menyatakan paham mengenai sexual consent, disusul dengan yang menyatakan “mungkin”, yaitu sebanyak 19.6%. Persentase yang tidak mengetahui justru menempati yang paling sedikit, yakni hanya sebanyak 6.7%. Dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden  memahami sexual consent.

Di kalangan mahasiswa UI sendiri, rata-rata mengatakan sexual consent adalah kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melakukan kegiatan seksual. Sama halnya dengan responden di luar civitas UI, mereka juga mengatakan definisi yang sama mengenai sexual consent.

Definisi ini senada dengan yang diungkapkan Justitia Avila Veda selaku Manajer Kampanye Interim Amnesty International, “Consent sexual itu persetujuan yang dari kedua belah pihak dalam keadaan mereka berakal sehat artinya tidak sedang mabuk atau di bawah pengaruh obat-obatan atau alkohol, dan bukan orang dengan gangguan jiwa. Jadi, dengan akal sehatnya memberikan persetujuan dan harus sejelas mungkin bahwa dia mau berpartisipasi dalam kegiatan seksual. Persetujuan itu harus diberikan tanpa adanya paksaan dan tanpa ancaman pihak lain. Dari dirinya sepenuhnya (dengan-red) kesadarannya dia mau melakukannya tanpa paksaan atau (tidak dalam-red) kondisi yang terdesak”

Namun, saat ini masih banyak terjadi tindakan seksual yang ternyata tidak didasari consent dari salah satu pihak. Hal ini merupakan bentuk dari kekerasan seksual, sekalipun sudah ada consent di awal. Sexual consent juga harus dijabarkan secara spesifik, seperti meminta izin terlebih dahulu kepada pasangan ketika sedang melakukan aktivitas seksual, atau ketika hendak melepaskan alat kontrasepsi di tengah aktivitas seksual. Bila seseorang melepas kontrasepsi tanpa izin dan tanpa sepengetahuan pasangannya (stealthing) hal ini merupakan tindakan kekerasan seksual karena bersifat manipulatif atau menipu pasangan.

Dalam pandangan masyarakat, sexual consent ini masih dianggap tabu karena adanya pengaruh dari stigma dalam masyarakat. Stigma-stigma dalam masyarakat tersebut membuat individu menjadi terobjektifikasi dan kehilangan kuasa atas dirinya sendiri atau kehilangan agensi. Dengan alasan agama dan adat istiadat, masih banyak masyarakat yang cenderung mengambil peran untuk mengatur seseorang hingga individu tersebut kehilangan agensinya.

Stigma-stigma itu semakin rawan, terutama terhadap orang yang berada dalam suatu hubungan, baik menikah maupun pacaran. Banyak masyarakat masih menganggap bila kedua belah pihak sudah dalam suatu hubungan, maka sexual consent sudah tidak diperlukan karena dianggap berdasarkan suka sama suka. Pemahaman masyarakat dalam hubungan pernikahan pun sering kali berlandaskan ideologi patriarkal, di mana suami dianggap sebagai pemimpin dan perempuan harus mengikuti laki-laki dan memenuhi perannya sebagai seorang istri.

Hal ini menyebabkan pemahaman mengenai sexual consent dalam hubungan pernikahan tidak diindahkan. Bahkan beberapa orang mengatakan bahwa syarat utama melakukan tindakan seksual bukanlah consent, namun pernikahan. Ini yang menyebabkan sering terjadinya kekerasan seksual dalam pernikahan.

Cara termudah untuk memahami pentingnya peran sexual consent adalah melalui edukasi seksual. Edukasi seksual seharusnya menjadi hal yang krusial dan harus menjadi perhatian pemerintah. Hal ini dapat mengubah cara pandang masyarakat terhadap sexual consent. Edukasi seksual dapat melalui berbagai macam cara seperti pembelajaran dalam kurikulum sekolah, seminar-seminar mengenai pendidikan seksual, film, bahkan dalam bentuk propaganda pendidikan seksual melalui poster.

Pendidikan seksual juga memberikan kemandirian seksual pada individu. “Pendidikan seksual itu harusnya jadi kurikulum resmi dari pemerintah. Itu harusnya semenjak SD, SMP, SMA diajarin bahwa  ini kan ngomongin kegiatan seksual, nggak cuma seksual penetrasi, ini juga tentang kemandirian tubuh, jadi kayak ketika pantatmu dipegang orang, itu boleh gak? Nah itu edukasi dari sesimpel itu sampai serumit consent dalam berhubungan seksual itu harus diajarkan secara resmi menurutku dan diajarkan dari keluarga sendiri,” ungkap Justitia Avila Veda. Dengan adanya edukasi seksual, diharapkan pemahaman dan literasi masyarakat mengenai consent semakin meningkat sehingga meminimalisir terjadinya kekerasan seksual dalam masyarakat.


Teks: Giovanni Alvita
Ilustrasi: Istimewa
Editor: Faizah Diena

Pers Suara Mahasiswa UI 2020
Independen, Lugas, dan Berkualitas!