Kondisi dunia selama empat tahun ini tidak baik-baik saja, bahkan sebelum pandemi Covid-19 datang. Bermula pada 2018, kekhawatiran akan krisis ekonomi dunia muncul ketika Turki mengalami krisis moneter akibat terjunnya nilai Lira yang membawa dampak ke pasar internasional. Selain dari sisi ekonomi, terdapat isu ekosistem seperti kebakaran hutan besar Australia pada 2018 hingga 2019. Dari sisi demokrasi, muncul protes Hongkong pada 2019–2020, krisis antarras di Amerika dengan meningkatnya pergerakan Black Lives Matter (BLM) mulai dari 2018, dan seterusnya.
Di Indonesia sendiri, sebelum pandemi terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, tetapi diiringi oleh konflik sosial yang meningkat, ditandai dengan ramainya aksi mahasiswa dari demonstrasi solidaritas untuk Papua, isu pelemahan KPK, dan omnibus law. Akhirnya, ketika awal pandemi Covid-19, terlihat inkompetensi mengatur pandemi dari pihak pemerintah dan ketidakteraturan pada masyarakat Indonesia. Hal ini berujung pada Juli, yang mana Indonesia dinyatakan sebagai pusat baru dari pandemi Covid-19 di dunia. Dengan semua masalah ini, jelas Indonesia sedang mengalami kondisi yang tidak begitu baik.
Jika dilihat secara historis, terdapat pola krisis 20 tahunan yang terjadi semenjak era kemerdekaan. Pertama adalah runtuhnya orde lama, sampai yang terbaru krisis moneter yang meruntuhkan rezim Orde Baru dan munculnya era reformasi. Sekarang sudah 20 tahun lebih reformasi. Yang menjadi pertanyaan, apakah krisis 20 tahunan ini sudah terlewati atau sekadar tertunda saja?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kami mencoba melakukan analisis historis krisis 20 tahunan Indonesia menggunakan beberapa framework seperti Secular Cycle, Panarchy Cycle, dan siklus ekonomi. Setiap kerangka kerja ini berperan untuk menitik periode krisis dari sudut pandang konflik sosial yang ditandai dengan aktifnya gerakan mahasiswa, siklus panarki yang ditandai dengan transisi rezim atau sistem pemerintahan dan siklus ekonomi yang ditandai dengan krisis ekonomi.
Teori Secular Cycle yang diajukan oleh Turchin dan Nefedov pada 2009 menyatakan siklus Malthusian dengan memperhatikan siklus perubahan populasi dua kelas, yaitu kelas pekerja (petani, buruh) dan kelas eliet (aristokrasi, oligarki, dan sebagainya). Terdapat empat fase pada siklus ini, yaitu ekspansi, stagflasi, krisis, dan depresi (Turchin, 2009: 33-34). Pada siklus ini, krisis ditandai dengan ketidakmampuan sistem untuk menyerap surplus populasi, serta kesenjangan sosial dan ekonomi yang memuncak dan munculnya kekacauan sosial.
Panarki adalah kerangka konseptual yang menjelaskan tentang bagaimana sistem kompleks bekerja secara adaptif. Aplikasi dari teori ini menyebar dari bidang ekologis hingga ilmu sosial. Untuk kasus riset, teori panarki akan menjadi lensa untuk menganalisis sistem pemerintahan. Terdapat empat tahap dalam siklus ini, yaitu tahap rilis, reorganisasi, pertumbuhan, dan konservasi (C.R. Allen et al, 2014: 2). Pada pemerintahan, siklus transisi antara konservasi dan rilis ditandai dengan runtuhnya rezim/sistem pemerintahan lama ditandai dengan aktifnya agen-agen perubahan (salah satunya mahasiswa dan stakeholder lain), lalu diakhiri dengan perubahan baru yang dapat berupa perubahan rezim atau perubahan sistem pemerintahan.
Dalam teori siklus ekonomi, terdapat periode ekspansi (pertumbuhan) dan kontraksi (resesi) yang sumber siklusnya dapat diklasifikan menjadi dua, yaitu eksogen dan endogen. Eksogen berasal dari luar sistem ekonomi seperti sumber daya alam dan perubahan iklim, perubahan demografi, peperangan, dan inovasi. Sementara itu, endogen berasal dari dalam bekerjanya ekonomi, umumnya dari suplai, permintaan, dan kebijakan pemerintah. Ketika terjadi kontraksi secara ekstrem, krisis dapat terjadi (Isaic et al, 2019: 2). Sebuah tahapan krisis umumnya ditandai dengan nilai indikator yang awalnya stagnan, lalu turun drastis menghasilkan kekacauan ekonomi.
Sistem Demokrasi Liberal merupakan sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Soekarno pada tahun 1950–1959. Menggunakan perdana menteri dan presiden sebagai instrumen pengelola negara, sistem Demokrasi Liberal memiliki kabinet-kabinet dalam tujuh masa kepemimpinan perdana menteri. Dalam pelaksanaannya, terdapat banyak dinamika yang dialami oleh sistem Demokrasi Liberal yang terlihat jelas dari banyaknya pergantian kabinet secara singkat. Bahkan, pemberlakuan sistem Demokrasi Liberal juga menjadi salah satu penyebab retaknya hubungan Soekarno dan Hatta.
Pada masa awal kekuasaan Soekarno, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan sebanyak empat hingga lima persen dalam setahun. Hal ini diperoleh dengan cara berdamai dengan pihak Belanda sembari mengadakan reintegrasi ekonomi Indonesia dengan ekonomi dunia (Tifada, 2020). Namun, kehadiran sistem Demokrasi Liberal dan penggantian kebijakan ekonomi yang dilakukan Soekarno pada 1957 menyebabkan terjadinya banyak permasalahan. Gagalnya pergantian kebijakan baru dan keadaan politik yang tidak stabil pada akhirnya membuat Soekarno berusaha memperbaiki keadaan dengan mengganti sistem pemerintahan dengan sistem Demokrasi Terpimpin pada 1959 (Prinada, 2021).
Sayangnya, upaya Soekarno dalam menyelamatkan ekonomi malah berujung pada merosotnya nilai rupiah hingga menyebabkan krisis pada awal dekade 1960-an. Adanya krisis ini tak lain juga disebabkan oleh kebijakan Soekarno yang menempatkan sektor ekonomi di bawah strategi politik umum pada akhir tahun 1950-an. Kebijakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan pemberian kebebasan kepada Bank Indonesia untuk mencetak uang sebanyak-banyaknya mengacaukan peredaran uang di masyarakat. Repelita yang tadinya didambakan oleh Soekarno untuk membiayai berbagai keperluan negara malah berbalik menyerang pemerintah dan mengorbankan rakyat Indonesia (Hanggoro, 2020).
Pertumbuhan ekonomi sebanyak empat hingga lima persen pada masa awal kekuasaan Soekarno menandai adanya ekspansi jika dilihat dari teori siklus ekonomi yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, adanya kesalahan dalam langkah yang dilakukan oleh Soekarno lambat laun segera membawa perekonomian Indonesia menuju tahap kontraksi. Kontraksi kemudian semakin diperparah dengan adanya inflasi yang disebabkan oleh pencetakan uang secara massal tanpa adanya pertimbangan terlebih dahulu.
Komplikasi semakin rumit ketika terjadinya peristiwa Gerakan Tiga Puluh September 1965 yang kemudian berujung pada demonstrasi Tiga Tuntutan Rakyat atau yang lebih dikenal dengan peristiwa Tritura. Dalam tuntutan tersebut, rakyat yang didominasi oleh kalangan mahasiswa menuntut Soekarno untuk melakukan penurunan harga, pembubaran kabinet 100 menteri, dan pembubaran PKI. Merespons tuntutan tersebut, Soekarno mengatakan bahwa pergerakan mahasiswa dibawahi oleh neokolonialisme imperialisme untuk menjatuhkan dirinya. Respons tersebut kemudian memperkeruh keadaan dan membuat mahasiswa berupaya menggagalkan sidang Kabinet Dwikora pada tanggal 11 Maret 1966 dengan memblokir jalan sambil meneriakkan Tritura sehingga menyebabkan Soekarno untuk mengungsi dari amarah rakyat. Melihat hal tersebut, Soeharto menawarkan ‘bantuan’ untuk meredam situasi yang kemudian disetujui dengan ditandatanganinya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) sekaligus menandai jatuhnya Soekarno dari takhta kekuasaannya (Erlina, 2020).
Ditinjau dari sudut pandang panarki, pergantian sistem pemerintahan dari Demokrasi Liberal menjadi demokrasi terpimpin termasuk sebagai tahap reorganisasi yang ditandai dengan upaya Soekarno menjaga kesejahteraan rakyat pada saat itu. Hal ini disebabkan karena belum adanya peran oposisi dalam menggulingkan pemerintahan. Namun, tahap reorganisasi ini dengan cepat berganti ke dalam tahap pertumbuhan dan konservasi hingga akhirnya mengulang awal siklus ke dalam tahap rilis kembali. Tahap inilah yang kemudian membangkitkan agen-agen perubahan dari unsur mahasiswa yang dilahirkan melalui peristiwa Tritura dan diakhiri dengan adanya pergantian rezim dari Orde Lama menjadi Orde Baru.
Melalui perspektif teori secular cycle, perubahan populasi dua kelas pada rezim Orde Lama tidak dapat dilihat secara signifikan mengingat adanya pemusatan kekuasaan dan belum menjamurnya kelas elit pada saat itu. Pemikiran masyarakat yang pada saat itu masih berorientasi pada pertumbuhan negara Indonesia juga menjadi salah satu faktor yang mereduksi adanya perubahan populasi secara jelas. Namun, pergantian sistem pemerintahan Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin menandai adanya masa krisis yang berujung pada depresi sehingga menyebabkan kekacauan sosial. Kekacauan ini ditandai dengan upaya masyarakat menggagalkan sidang Dwikora dengan melakukan demo besar-besaran pada 11 Maret 1966.
Bangkitnya rezim Soeharto sebagai orde baru pemerintahan Indonesia berhasil membawa perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui bahwa pergantian pemerintahan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai lima persen pada tahun 1966–1968. Selain itu, pengadaan Repelita yang lebih terarah dan pertumbuhan usaha bahan tambang berhasil membuat pertumbuhan ekonomi meningkat tajam pada tahun 1969–1973 dengan rata-rata pertumbuhan di atas tujuh persen. Pertumbuhan ekonomi masih terus berjalan baik meski dengan rata-rata pertumbuhan yang lebih rendah, yakni sebanyak 6,66 persen pada tahun 1974–1983 (Badan Pusat Statistik, 2015).
Meskipun mengalami pertumbuhan yang cenderung stabil, laju inflasi sebesar 25,7 persen yang terjadi pada 1972 masih terus berlanjut hingga tahun-tahun selanjutnya. Bahkan, kenaikan inflasi terus meningkat tinggi pada 1974. Nasution (1983), dalam studinya menemukan bahwa terdapat tiga faktor yang menyebabkan terjadinya inflasi tersebut, yaitu terjadinya musim kemarau panjang dan peningkatan harga barang ekspor nonminyak, adanya peningkatan pinjaman swasta dari luar negeri, dan peningkatan harga minyak pasar dunia yang menyebabkan banyaknya penerimaan minyak.
Kenaikan harga beras yang memainkan peran besar dalam pembentukan inflasi akibat musim kemarau panjang pada saat itu kemudian dapat dikendalikan berkat panen raya 1973/1974. Tak hanya sampai di situ, Indonesia kembali mendapatkan keuntungan tidak terduga dengan adanya peristiwa Oil Boom I yang menyebabkan kenaikan harga minyak secara tajam pada 1974. Revolusi Iran yang terjadi pada 1979/1980 kemudian membuat harga minyak kembali melonjak naik (Oil Boom II) sehingga negara memiliki cukup dana untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat (Pramisti, 2020).
Kendati demikian, ekspansi besar-besaran Pertamina pada 1974 untuk memperoleh lebih banyak minyak malah berbalik menyerang kondisi ekonomi Indonesia. Kurangnya perhitungan dan banyaknya utang yang dilakukan oleh Pertamina membuat perusahaan tersebut tidak dapat membayar utang yang telah dipinjamkan. Terlebih lagi, kehadiran Krakatau Steel sebagai anak usaha Pertamina pada saat itu juga sedang dalam kondisi terlilit utang sehingga tidak mampu memenuhi perjanjian yang telah diberikan kepada para kontraktor pembangunan. Selain itu, buruknya pengelolaan ekonomi pada 1974–1981 juga memunculkan inflasi sebesar 18% per tahun. Hal ini membuat peristiwa Oil Boom II yang ditandai dengan Revolusi Iran menjadi sia-sia. (Pramisti, 2020).
Mengacu pada indikator teori siklus ekonomi, pengadaan Repelita dan terjadinya peristiwa Oil Boom menandai adanya periode ekspansi pada era Orde Baru. Meskipun sempat terjadi kontraksi minor berupa inflasi akibat musim kemarau panjang, tetapi hal tersebut dapat dikendalikan dengan adanya panen raya yang terjadi setelahnya. Namun, ekspansi yang terjadi pada era Orde Baru kemudian harus terbuang sia-sia akibat kekacauan pengelolaan utang Pertamina dan anak usahanya. Kontraksi juga diperparah dengan kacaunya pengelolaan ekonomi yang meningkatkan inflasi ke angka 18% per tahun.
Belum sempat menyelesaikan permasalahan ekonomi dan internal pemerintahan, rezim Orde Baru juga harus mengalami gempuran konflik mahasiswa pada tanggal 15 Januari 1974 atau yang lebih dikenal sebagai peristiwa Malari. Kekecewaan mahasiswa dan rakyat terhadap pemerintah melahirkan banyak aksi demonstrasi yang menuai kericuhan. Menurut Prof. Ichlasul Amal, sebagaimana tertulis dalam Husin (2014), konflik Malari terjadi akibat tiga hal: (1) refleksi dari revolusi mahasiswa Thailand pada 1973, refleksi konflik Kubu Islamis dengan Kubu Kebatinan, dan (3) rivalitas militer antara Jenderal Soemitro yang berpihak pada kapitalis Jepang dengan Ali Moertopo yang berpihak pada kubu Sosialis-Demokrat. Peristiwa ini kemudian menimbulkan banyak korban dengan rincian korban tewas mencapai sebelas orang dan 128 orang mengalami luka-luka (Shalihah, 2021).
Setelah peristiwa Malari 1974, pergerakan mahasiswa mulai kembali menampakkan taringnya pada awal 1977. Kemunculan pergerakan tersebut dilatarbelakangi oleh mencuatnya isu politik yang berdekatan dengan pemilu 1977. Berbagai pernyataan dilontarkan oleh golongan mahasiswa seperti penolakan pencalonan Soeharto sebagai presiden oleh Dewan Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (Dema ITB) pada 15 Januari 1978 dan publikasi alternatif pemilihan presiden di koran kampus Salemba Universitas Indonesia (Sitompul, 2018). Soeharto yang mulanya senang berdialog dan bernegosiasi lambat laun mulai memperlihatkan sifat aslinya dengan melakukan penangkapan mahasiswa dan pengiriman militer ke dalam kampus-kampus. Lebih lanjut, Soeharto berusaha untuk membubarkan Dema universitas di seluruh Indonesia dengan dikeluarkannya sistem Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef (Husin, 2014).
Lahirnya sistem NKK/BKK membuat pemerintah bersikap represif terhadap pergerakan mahasiswa. Represifitas dan tekanan pemerintah benar-benar berdampak pada pergerakan mahasiswa pada tahun 1979–1981. Dengan dibubarkannya Dema dalam kampus-kampus, para mahasiswa kemudian membentuk persekutuan melalui jalur organisasi ekstrakampus seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Terbentuknya GMNI dan HMI sekaligus menjadi kutub kubu pergerakan mahasiswa pada saat itu (Husin, 2014).
Melalui sudut pandang teori secular cycle, kekacauan sosial pada era Orde Baru ditandai dengan adanya peristiwa Malari 1974 ketika mahasiswa menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden. Soeharto berhasil menahan laju siklus pada tahap stagflasi dengan merepresi kebebasan berpendapat melalui sistem NKK/BKK dan pembubaran organisasi-organisasi kampus. Namun, upaya yang dilakukan oleh Soeharto hanya semakin mengumpulkan amarah mahasiswa yang nantinya menggulingkan Soeharto dari tampuk kekuasaan negara.
Kesenjangan ekonomi pada era Orde Baru juga tampaknya masih belum terlalu dirasa signifikan. Peristiwa Oil Boom yang terjadi berhasil mencukupi dana pembangunan negara dan kesejahteraan rakyat. Selain itu, Winters (2011) mengatakan bahwa kepemimpinan Soeharto pada era Orde Baru berhasil meredam para elit dan oligark dengan sistem oligarki sultanistiknya. Dengan kata lain, Soeharto menjadi oligark terbesar selama masa kepemimpinannya. Namun, kesejahteraan rakyat yang cukup terjamin pada saat itu tidak menghadirkan adanya kesenjangan ekonomi yang cukup signifikan.
Menggunakan indikator yang terdapat pada teori panarki, sistem pemerintahan pada masa tersebut masih tetap berada pada tahap pertumbuhan dan konservasi. Hal ini ditandai dengan adanya kestabilan pertumbuhan ekonomi dan upaya Soeharto dalam mempertahankan kekuasaannya dengan menggunakan berbagai cara. Namun, agen-agen perubahan dari kalangan mahasiswa pada saat itu sudah mulai bangkit menunjukkan taringnya sebelum akhirnya diberantas oleh kebijakan NKK/BKK milik Soeharto.
Kekacauan yang terjadi pada 1998 menandai titik balik reformasi kenegaraan Indonesia. Terjadinya krisis moneter yang terjadi di Asia dan kekecewaan rakyat terhadap pemerintah harus membuat Soeharto mundur dari jabatannya setelah berkuasa selama 32 tahun. Banyaknya peristiwa yang terjadi pada 1998 hingga saat ini masih membekas dan memberikan warna tersendiri pada kehidupan negara Indonesia.
Setelah sebelumnya merasakan puncak perekonomian pada tahun 1996, Indonesia harus menelan pil pahit yang diakibatkan oleh krisis moneter yang terjadi pada 1998. Melonjaknya inflasi pada saat itu membawa nilai tukar rupiah hingga angka Rp16.650,00, walaupun pemerintah sebelumnya telah berusaha untuk mempertahankan nilai angka rupiah pada kisaran Rp2.000,00–Rp2.500,00. Pembengkakan utang luar negeri Indonesia kemudian memperparah situasi perekonomian akibat ketidakmampuan pemerintah untuk membayar utang dari pihak swasta luar negeri sebesar 72,5 miliar dolar AS dari 138 miliar dolar AS yang jatuh tempo pembayarannya terjadi pada tahun itu. Tak cukup sampai di situ, hilangnya kepercayaan masyarakat dan kekacauan politik yang diperbuat oleh Soeharto membuat banyak investor asing mengurungkan niat untuk memberikan bantuannya terhadap Indonesia (Muhid, 2021).
Ditinjau dari sudut pandang teori siklus ekonomi, puncak perekonomian pada 1966 menandai transisi dari periode ekspansi menuju periode kontraksi. Kontraksi kemudian mencapai puncaknya pada 1998 ketika terjadi krisis moneter dan hiperinflasi. Pembengkakan utang dan hilangnya investor dalam memberikan bantuan dana terhadap Indonesia menyebabkan ekonomi terus terperosok lebih dalam sehingga melahirkan krisis baru.
Amarah rakyat semakin meradang ketika Soeharto menyatakan bersedia dan terpilih kembali sebagai presiden periode 1998–2003. Bagaimana tidak? Akumulasi penyalahgunaan wewenang, represifitas militer, hingga puncak krisis moneter yang terjadi pada 1998 membuat publik tak habis pikir dengan jalan pikiran Soeharto. Namun demikian, pemerintah Indonesia tidak mempedulikan hal tersebut dan tetap mengesahkan Soeharto sebagai presiden Indonesia, tepatnya pada tanggal 11 Maret 1998. Mengetahui hal tersebut, Masyarakat yang mengetahui hal tersebut melakukan demonstrasi di depan gedung MPR sembari menyerukan penolakan terhadap keputusan tersebut (Pratama, 2019).
Melihat adanya gelombang demonstrasi yang semakin membesar, Soeharto kembali mengerahkan personel kepolisian dan militer untuk memukul mundur para demonstran yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa. Represi yang dilakukan Soeharto kemudian menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Sebanyak empat orang mahasiswa Universitas Trisakti harus meregang nyawa pada peristiwa Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 (Universitas Trisakti, n.d.).
Keesokan harinya, kerusuhan semakin meluas tak terkendali di lingkungan masyarakat sipil. Peristiwa pembakaran dan penjarahan mewarnai penjuru Kota Jakarta selama tiga hari berturut-turut, tepatnya pada 13–15 Mei 1998. Tak berhenti sampai di situ, para penduduk perempuan yang beretnis Tionghoa menjadi sasaran kekerasan seksual dan perkosaan massal. Dari temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) diketahui pada peristiwa tersebut terdapat lebih dari 1.000 orang meninggal dunia dan korban perkosaan mencapai lebih dari 50 orang (Aryono, 2018).
Peristiwa kemudian dilanjutkan dengan desakan Harmoko selaku Ketua DPR/MPR kepada Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri dan keberhasilan mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR pada 18 Mei 1998. Adanya serangkaian peristiwa yang menghantam perekonomian dan perpolitikan Indonesia pada saat itu kemudian membuahkan hasil. Keadaan Soeharto yang semakin tidak berdaya memaksanya untuk mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Kejatuhan Soeharto membuat posisi presiden pada saat itu digantikan oleh B.J. Habibie sekaligus menandai runtuhnya Orde Baru dan bangkitnya reformasi di Indonesia.
Mengacu pada teori secular cycle, kesenjangan ekonomi dan sosial terjadi akibat adanya krisis yang mempersulit masyarakat. Kerusuhan dan penjarahan yang terjadi di penjuru Kota Jakarta menandai manifestasi dari kesulitan yang dialami pada tahun tersebut. Selain itu, kekacauan sosial juga diperparah dengan adanya aksi perkosaan massal terhadap etnis Tionghoa yang menjadi bentuk lain kesenjangan sosial antara etnis pribumi dengan etnis Tionghoa. Peristiwa-peristiwa tersebut menjadi indikator besar yang menyatakan bahwa Indonesia sudah berada pada tahap depresi.
Dalam kaitannya terhadap panarki, tahun 1998 menjadi penanda transisi tahap konservasi menjadi tahap rilis. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kebangkitan mahasiswa dan masyarakat yang berhasil mendesak Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai presiden. Serangkaian peristiwa yang terjadi pada Mei 1998 berhasil mengakhiri rezim Orde Baru dan mengulang kembali siklus ke dalam tahap rilis dengan adanya reformasi pemerintahan di Indonesia.
Dua puluh tahun telah berlalu semenjak peristiwa Reformasi 1998. Berbagai krisis dan permasalahan yang dialami oleh Indonesia mungkin masih akan terus bergulir selama negara masih berdiri. Setelah melihat tapak tilas siklus dan krisis yang kembali terulang setiap hampir dua puluh tahun sekali, akankah Indonesia kembali mengalami hal yang sama seperti siklus-siklus sebelumnya?
Penetapan pasangan calon presiden pada paruh kedua tahun 2018 menjadi angin segar politik Indonesia. Banyaknya aspirasi dan ekspektasi rakyat menjadi tak terbendung ketika mereka mengetahui bahwa akan terdapat awal baru dalam kursi kepresidenan Indonesia. Persaingan antara pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dengan Joko Widodo-Ma’ruf Amin tak dapat dihindarkan. Keduanya beradu untuk memperoleh suara rakyat yang akan mengantarkan salah satu dari kedua pasangan calon presiden menuju kursi kekuasaan Indonesia.
Dari persaingan tersebut, kemenangan akhirnya berhasil diraih oleh pasangan calon Joko Widodo-Ma’ruf Amin sesuai dengan rekapitulasi perhitungan suara pemilu yang diumumkan pada 21 Mei 2019 lalu. Tak terima dengan hasil tersebut, pasangan calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menuding adanya kecurangan dalam pelaksanaan pilpres tersebut. Berbagai cara mulai dari pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi hingga timbulnya kerusuhan massa yang terjadi pada 21–22 Mei 2019 dilancarkan sebagai bentuk ketidakpuasan pasangan calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno bersama dengan para pendukungnya (CNN Indonesia, 2020).
Terlepas dari segala upaya yang dilakukan, pada akhirnya kemenangan tetap diperoleh oleh pasangan calon Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Kemenangan ini menandai periode kedua Joko Widodo di tampuk pemerintahan setelah sebelumnya memimpin sebagai presiden periode 2014–2019 bersama dengan Jusuf Kalla sebagai wakil presidennya. Pada periode keduanya, Joko Widodo berusaha menjalankan kepemimpinan sesuai dengan janji yang diucapkannya pada masa kampanye Pilpres 2019. Janji tersebut meliputi poin-poin seperti pembangunan struktur ekonomi, penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, perlindungan warga, hingga pengelolaan pemerintahan yang bersih (Hasibuan, 2019).
Namun begitu, selang satu bulan sebelum pelantikannya, tepatnya pada 17 September 2019, rakyat yang sebagian besar terdiri dari unsur mahasiswa melakukan aksi demo besar-besaran. Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap Revisi UU KPK. Massa berpendapat bahwa revisi undang-undang tersebut dapat mengakibatkan pelemahan terhadap wewenang dan independensi KPK (Putsanra, 2019). Tak berhenti sampai di situ, amarah massa kembali muncul ketika mengetahui terdapat pembahasan mengenai UU Cipta Kerja yang akan disahkan oleh DPR RI. Merespons hal tersebut, masyarakat dari kalangan buruh dan pemuda menggelar aksi demonstrasi di tengah pandemi Covid-19 pada 10 November 2020 lalu (CNN Indonesia, 2020).
Banyaknya polemik yang disebabkan oleh pemerintah perlahan-lahan mulai membangkitkan amarah masyarakat khususnya dari kalangan buruh dan mahasiswa. Aksi-aksi unjuk rasa mewarnai dinamika perpolitikan di Indonesia akibat banyaknya kebijakan yang dinilai tidak sejalan dengan janji Presiden Joko Widodo dan tidak berpihak kepada rakyat. Meskipun demikian, apabila dilihat dari perspektif panarki, kondisi Indonesia saat ini masih berada pada tahap konservasi dan sudah melewati hampir tiga tahun dari siklus dua puluh tahunan yang seharusnya terjadi pada 2018 lalu. Banyaknya kritik dan aksi yang ditujukan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo hingga saat ini masih belum dapat menimbulkan pemerintahan baru dengan cara meruntuhkan pemerintahan yang lama.
Adanya pandemi Covid-19 juga memberikan permasalahan baru bagi pemerintah dan perekonomian Indonesia. Ketidakseriusan pemerintah dalam menangani pandemi terlihat jelas ketika pemerintah malah menggelontorkan dana sebesar Rp 72 miliar kepada para influencer untuk mempromosikan pariwisata Indonesia di tengah gempuran pandemi Covid-19. Anggaran tersebut diharapkan dapat mengundang para wisatawan asing untuk masuk ke Indonesia (Putri, 2020). Hal itu jelas berbanding terbalik dengan negara-negara di dunia yang pada saat itu menutup akses ke negara mereka akibat adanya pandemi Covid-19.
Keteledoran pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 juga dapat dilihat dengan ketiadaan jaminan bagi para tenaga kesehatan di Indonesia. Pencairan insentif bagi para tenaga kesehatan diberikan secara terlambat dan belum menyeluruh. Padahal, para personil medis tersebut merupakan orang-orang yang menjadi garda terdepan dalam penanganan pandemi Covid-19 (Fauzia, 2021).
Tak berhenti sampai di situ, permasalahan ekonomi juga dialami oleh banyak masyarakat Indonesia di tengah terjangan pandemi Covid-19. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat Jawa-Bali yang tidak dibarengi dengan adanya pemberian bantuan secara memadai dan menyeluruh membuat banyak masyarakat merasa kesulitan menghidupi diri mereka di tengah pandemi. Pada tingkat negara, perpanjangan PPKM diprediksi akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi di kuartal III ke kisaran 4–5,4 persen (Pratama A. M., 2021).
Secara secular cycle, Indonesia saat ini masih berada di antara tahap stagflasi dan krisis. Hal ini ditandai dengan adanya kesenjangan ekonomi dan sosial antarwarga di Indonesia. Pembangunan infrastruktur yang masih cenderung terpusat di Pulau Jawa (khususnya DKI Jakarta) menimbulkan kesenjangan bagi warga lainnya. Sedangkan, secara sosial terdapat kesenjangan antara kaum buruh dengan pihak elit yang memegang alat produksi yang ditandai dengan adanya aksi Mayday setiap tanggal 1 Mei. Namun demikian, berbagai permasalahan tersebut hingga saat ini masih belum menimbulkan kekacauan sosial secara masif sehingga belum dapat dikategorikan ke dalam tahap depresi.
Dalam kaitannya terhadap teori siklus ekonomi, perekonomian Indonesia memang mengalami kenaikan dan penurunan. Namun, kondisi perekonomian masih dapat dikatakan stabil. Hal ini terbukti dari belum adanya resesi signifikan yang berdampak tinggi pada ekonomi masyarakat dan negara. Penurunan laju pertumbuhan ekonomi yang terjadi merupakan dampak dari adanya pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 inilah yang kemudian menghambat aktivitas perekonomian di masyarakat mengingat adanya kebijakan PPKM yang ditetapkan oleh pemerintah.
Secara historis, dapat terlihat adanya pola krisis setiap dua puluh tahun di Indonesia. Dimulai dari tahun 1950–1959, yang mana terjadi penggantian kebijakan ekonomi akibat sistem Demokrasi Liberal yang dipimpin Soekarno, berujung pada berakhirnya masa kepemimpinan Soekarno yang disebut sebagai awal bangkitnya Orde Baru. Pola krisis kembali terjadi untuk yang kedua kalinya, yaitu pada 1974–1981, saat pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Adanya inflasi yang tinggi karena kegagalan manajemen Pertamina mengakibatkan munculnya banyak pergerakan mahasiswa atau dikenal sebagai NKK/BK. Kemudian, untuk yang ketiga kalinya, pola krisis kembali terjadi pada 1998 yang diakibatkan oleh krisis moneter dan kembali diangkatnya Soeharto sebagai presiden.
Jika mengacu pada garis waktu, pola krisis 20 tahunan seharusnya akan terjadi untuk yang keempat kalinya di tahun 2018–2025. Menurut teori secular cycle, adanya kesenjangan sosial dan ekonomi yang diiringi munculnya kekacauan sosial dapat menjadi indikator terjadinya krisis. Hal ini terjadi pada 2019, di mana rakyat yang didominasi oleh mahasiswa melakukan aksi demo sebagai bentuk penolakan terhadap Revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja. Keteledoran pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 pada 2019 hingga saat ini juga mengakibatkan permasalahan ekonomi yang serius. Menurut teori panarki, keadaan Indonesia saat ini barulah mencapai tahap rilis. Hal ini dikarenakan belum adanya pergantian sistem pemerintahan lama melainkan baru aktifnya agen-agen perubahan salah satunya adalah mahasiswa. Masih mengacu pada teori panarki, akan ada tiga tahap selanjutnya yaitu tahap reorganisasi, pertumbuhan, dan konservasi yang ditandai dari adanya perubahan implementasi kebijakan ataupun pemegang kekuasaan. Karena belum adanya perubahan masif tersebut, yang kemudian akan diteruskan dengan pertumbuhan serta stabilitas sebelum memasuki tahap krisis berikutnya, maka dapat dikatakan bahwa krisis 20 tahunan di Indonesia saat ini sedang tertunda.
Teks: Alifya, Cyndi, Hamardikan, dan Dimas
Ilustrasi: Rizal Taufiqurrafi
Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!
Allen, Craig R.; Angeler, David G.; Garmestani, Ahjond S.; Gunderson, Lance H.; Holling, C. S. (2014). Panarchy: Theory and Application. Ecosystems, 17(4), 578–589. doi:10.1007/s10021-013-9744-2
Aryono. (2018, Mei 18). Kesaksian Kerusuhan Mei 1998. Diakses dari Historia.id: https://historia.id/politik/articles/kesaksian-kerusuhan-mei-1998-DBKzr/page/4
Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik 70 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
CNN Indonesia. (2020, Mei 22). 22 Mei Setahun yang Lalu, Jakarta Membara di Masa Pemilu. Diakses dari Cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200522051704-20-505747/22-mei-setahun-yang-lalu-jakarta-membara-di-masa-pemilu
CNN Indonesia. (2020, November 10). Buruh dan Mahasiswa Bergerak Kepung Istana, Demo Omnibus Law. Diakses dari Cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201110063732-20-567867/buruh-dan-mahasiswa-bergerak-kepung-istana-demo-omnibus-law
Erlina, T. (2020, Agustus). Peranan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Dan Kesatuan Aksi Pelajar. Jurnal Wahana Pendidikan, 7(2), 95-102.
Fauzia, M. (2021, Juli 3). Pencairan Insentif Nakes Sempat Terlambat, Ini Penjelasan Sri Mulyani. Diakses dari Kompas.com: https://money.kompas.com/read/2021/07/03/055000226/pencairan-insentif-nakes-sempat-terlambat-ini-penjelasan-sri-mulyani
Hanggoro, H. T. (2020, April 9). Krisis Ekonomi Masa Sukarno. Diakses dari Historia.id: https://historia.id/ekonomi/articles/krisis-ekonomi-masa-sukarno-vYe18/page/1
Hasibuan, L. (2019, Oktober 20). Menolak Lupa! Mau Dilantik, Ini Janji Kampanye Jokowi-Amin. Diakses dari Cnbcindonesia.com: https://www.cnbcindonesia.com/news/20191020094552-4-108397/menolak-lupa-mau-dilantik-ini-janji-kampanye-jokowi-amin
Husin, L. H. (2014). Gerakan Mahasiswa Sebagai Kelompok Penekan: Studi Kasus Keluarga Mahasiswa UGM dari Masa Orde Lama hingga Pasca-Reformasi. Yogyakarta: PolGov.
Isaic, Radu & Smirna, Tudor & Cristian, Paun. (2019). A critical view on the mainstream theory of economic cycles. Management & Marketing. Challenges for the Knowledge Society. 14. 48-58. 10.2478/mmcks-2019-0004.
Muhid, H. K. (2021, Mei 12). 23 Tahun Reformasi: 4 Penyebab Utama Krisis Moneter 1998, Nilai Mata Uang Anjlok. Diakses dari Tempo.co: https://bisnis.tempo.co/read/1461833/23-tahun-reformasi-4-penyebab-utama-krisis-moneter-1998-nilai-mata-uang-anjlok/full&view=ok
Nasution, A. (1983). Financial Institution and Policies in Indonesia. Singapore: Institute of South East Asian Studies.
Pramisti, N. Q. (2020, Oktober 21). Indonesia 1970an: Kaya Minyak tapi Nyaris Pailit karena Pertamina. Diakses dari Tirto.id: https://tirto.id/indonesia-1970an-kaya-minyak-tapi-nyaris-pailit-karena-pertamina-f5qX
Pratama, A. M. (2021, Juli 13). Ini Dampak Ekonomi jika PPKM Darurat Diperpanjang hingga 6 Minggu. Diakses dari Kompas.com: https://money.kompas.com/read/2021/07/13/111500426/ini-dampak-ekonomi-jika-ppkm-darurat-diperpanjang-hingga-6-minggu
Pratama, A. N. (2019, Maret 8). 8 Maret 1998, Saat Soeharto Bersedia Menjadi Presiden (Lagi). Diakses dari Kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2019/03/08/17352211/8-maret-1998-saat-soeharto-bersedia-menjadi-presiden-lagi?page=all
Prinada, Y. (2021, April 1). Sejarah Masa Demokrasi Parlementer atau Liberal di Indonesia. Diakses dari Tirto.id: https://tirto.id/sejarah-masa-demokrasi-parlementer-atau-liberal-di-indonesia-gbDP
Putri, R. D. (2020, Februari 27). Dana Rp72 Miliar buat Influencer, Pemerintah Gagap Tangani Covid-19. Diakses dari Tirto.id: https://tirto.id/dana-rp72-miliar-buat-influencer-pemerintah-gagap-tangani-covid-19-eBrD
Putsanra, D. V. (2019, September 25). 26 Masalah Revisi UU KPK, Jadi Tuntutan Demo Mahasiswa Jakarta. Diakses dari Tirto.id: https://tirto.id/26-masalah-revisi-uu-kpk-jadi-tuntutan-demo-mahasiswa-jakarta-eiGl
Shalihah, N. F. (2021, Januari 15). Mengenang Peristiwa Malari 1974 yang Menewaskan 11 Orang. Diakses dari Kompas.com: https://www.kompas.com/tren/read/2021/01/15/131400865/mengenang-peristiwa-malari-1974-yang-menewaskan-11-orang-?page=all
Sitompul, M. (2018, Mei 13). Mahasiswa Ingin Ganti Presiden, Tentara Duduki Kampus. Diakses dari Historia.id: https://historia.id/politik/articles/mahasiswa-ingin-ganti-presiden-tentara-duduki-kampus-P94Qq/page/1
Tifada, D. A. (2020, Agustus 2019). Belajar dari Resesi Pertama yang Dialami Republik Indonesia. Diakses dari Voi.id: https://voi.id/memori/11671/belajar-dari-resesi-pertama-yang-dialami-republik-indonesia
Turchin, P., & Nefedov, S. (2009). Secular Cycles. PRINCETON; OXFORD: Princeton University Press.
Ucu, K. R. (2017, Agustus 19). Menguak Alasan di Balik Pecahnya Dwitunggal Soekarno-Hatta. Diakses dari Republika.co.id: https://www.republika.co.id/berita/selarung/suluh/17/08/19/ouu4yw282-menguak-alasan-di-balik-pecahnya-dwitunggal-soekarnohatta
Universitas Trisakti. (n.d.). Sejarah 12 Mei 1998 (Sejarah Reformasi). Diakses dari Trisakti.ac.id: http://humas.trisakti.ac.id/museum-tragedi-12-mei-1998/sejarah
Winters, J. (2011). Oligarki. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.