
Pada Rabu (22/10), Rektor Universitas Indonesia (UI) Heri Hermansyah meresmikan Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan (SPPB) atau Graduate School of Sustainable Development (GSSD) UI. Sekolah baru ini merupakan penggabungan dari dua jurusan, yaitu Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL) dan Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG).
Menurut Heri, proses penggabungan SIL dan SKSG telah melalui proses yang sesuai dengan regulasi dan tata cara akademik yang ada di UI. Proses tersebut melibatkan empat organ UI, yakni Senat Akademik, Dewan Guru Besar (DGB), Majelis Wali Amanat (MWA), dan Rektorat UI. Ia juga mengungkapkan bahwa penggabungan ini didasarkan pada studi perkembangan keilmuan secara global, yang hasilnya dapat mencakup kajian strategik, kajian global, dan ilmu lingkungan.
Direktur SPPB UI, Supriatna, menambahkan bahwa pendirian SPPB UI juga mencontoh sekolah-sekolah pembangunan berkelanjutan di luar negeri, yang bersifat multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin. Namun, penyatuan ini menimbulkan dugaan adanya sangkutan dengan kasus disertasi mahasiswa doktoral SKSG UI yang sempat menjadi polemik. Menanggapi hal itu, Heri justru berharap perubahan sekolah ini tidak akan membuat SPPB UI terbebani lagi oleh masalah yang lalu.
Mahasiswa SIL Desak Penundaan SPPB
Di balik peresmian tersebut, muncul gelombang penolakan dari mahasiswa dan sivitas akademika SIL. Salah satunya dari Aldi Agus Setiawan, Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Ilmu Lingkungan (Himpasiling). Ia menyatakan kekecewaannya atas proses penggabungan yang tidak transparan dan minim partisipasi.
“Sepanjang prosesnya berlangsung, sampai tadi pagi, [diubah] namanya dan diresmikan, tidak ada sosialisasi dan pelibatan mahasiswa, alumni ataupun dosen sekalipun. Adapun dosen yang dilibatkan tidak dapat mempengaruhi proses secara signifikan. Acara peresmian tidak diberitahukan kepada mahasiswa dan tidak semua mahasiswa diundang, sehingga menimbulkan kesan eksklusif,” ungkap Aldi saat diwawancarai Suara Mahasiswa UI pada (22/10).
Kekhawatiran terbesar yang muncul adalah potensi dampak negatif terhadap administrasi, keharusan akreditasi ulang yang memakan waktu, dan ketidakselarasan beberapa disiplin ilmu di SKSG, seperti kajian terorisme, kajian kepolisian, dan kajian gender, dengan fokus pembangunan berkelanjutan. Bahkan, mereka merasa SIL UI dikorbankan untuk menutupi dosa masa lalu SKSG, yaitu pelanggaran etik Bahlil Lahadalia.
Tak hanya itu, Aldi dan kawan-kawannya turut menyayangkan bahwa nomenklatur SPPB berlaku surut. Artinya mahasiswa SIL dan SKSG yang diterima sebelum SPPB terbentuk akan diwisuda sebagai mahasiswa SPPB. “[Nomenklatur SPPB bagi mahasiswa] sudah diberlakukan. Yang kita inginkan adalah diberlakukan di mahasiswa baru nanti, tapi ternyata tidak. Semuanya diberlakukan sekarang, termasuk ijazah, nomenklaturnya. Saat lulus nanti, kita adalah lulusan SPPB, Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan, bukan sebagai lulusan Sekolah Ilmu Lingkungan,” jelasnya.
Sebagai bentuk penolakan, mahasiswa SIL UI meluncurkan petisi daring di Change.org bertajuk “Batalkan perubahan nama dan penggabungan SIL-SKSG Universitas Indonesia!”. Dalam petisi tersebut, mereka menilai Rektor UI bertindak sewenang-wenang karena perubahan dan penggabungan dilakukan tanpa kajian akademik mendalam dan tanpa melibatkan sivitas akademika. Mereka secara tegas menyatakan penolakan terhadap perubahan nama dan penggabungan antara SIL dan SKSG. Hal itu merujuk terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No. 75 Tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia yang mengedepankan prinsip akuntabilitas, transparansi, akses berkeadilan, dan partisipatif.
Oleh karena itu, sampai saat ini para mahasiswa SIL UI menuntut Rektorat UI untuk melakukan evaluasi menyeluruh dengan membatalkan Surat Keputusan (SK) peresmian SPPB UI. Selain itu, mereka juga menuntut agar diselenggarakannya dialog publik terbuka yang melibatkan seluruh unsur civitas akademika, serta menolak segala bentuk perubahan nama tanpa kajian mendalam dan pelibatan mahasiswa secara penuh.
“Selama ini [Kampus] Salemba terkesan dianaktirikan, terlepas dari Fakultas Kedokteran. Kami ingin agar isu ini dieskalasi sampai pada tingkat universitas di Depok. Isu ini bukan isu fakultatif lagi melainkan isu universitas, mengingat bahwa aktor utamanya adalah Bapak Rektor. Kami berharap agar informasi ini bisa disebarluaskan,” harap Aldi.
Teks: Jeromi Mikhael Asido
Editor: Dela Srilestari
Foto: Istimewa
Desain: Kania Puri A. Hermawan
Pers Mahasiswa UI 2025
Independen, Lugas, dan Berkualitas!