Soegija : Menyelami Eksistensi Kemanusiaan dalam Perang Kemerdekaan

Redaksi Suara Mahasiswa · 26 Agustus 2022
4 menit

Judul Film : Soegija
Sutradara : Garin Nugroho
Produser : Djaduk Ferianto, Murti Hadi Wijayanto, Tri Giovanni
Genre : Drama, Sejarah, Biografi
Tanggal Rilis : 7 Juni 2012
Durasi : 115 menit
Pemain : Nirwan Dewanto, Annisa Hertami, Wouter Zweers, Wouter Braaf, Nobuyuki Suzuki, Olga Lydia, Margono, Hengky Soelaiman, Andrea Reva, Rukman Rosadi, Eko Balung, Andriano Fidelis, Butet Kartaredjasa

Kemanusiaan itu satu. Bangsa manusia itu satu. Kendati berbeda merupakan satu keluarga besar

Perang selalu erat kaitannya dengan malapetaka kemanusiaan. Pembunuhan, penganiayaan, kekejian, dan kesedihan bukanlah hal yang asing untuk disaksikan. Kekejaman perang seolah-olah menjadi gambaran terenggutnya sisi humanis dari dalam diri seorang manusia, tetapi tidak dapat dipungkiri situasi pelik tersebut seringkali didorong oleh tekanan atau kondisi yang memaksa. Walaupun begitu, Secercah rasa kemanusiaan ternyata masih tumbuh dan hidup dalam diri setiap insan baik penjajah maupun yang terjajah. Hal inilah yang diilustrasikan dalam film Soegija.

Film besutan Garin Nugroho tersebut mencoba memvisualisasikan kisah-kisah perjuangan kemanusiaan pada perang kemerdekaan yang berlatar pada tahun 1940 hingga 1949 dari sudut pandang seorang uskup pribumi pertama, yaitu Mgr Albertus Soegijapranata atau akrab dipanggil dengan Romo Soegija. Film ini menyajikan bagaimana persepsi Soegijo mengenai peperangan dan penjajahan di Indonesia yang dituangkan dalam catatan hariannya. Catatan tersebut berisi pandangan Soegija yang mempunyai makna kehidupan yang mendalam serta menggambarkan bagaimana keterkaitan kisah kehidupan masyarakat Indonesia, Belanda, Jepang, dan Tionghoa di Indonesia di saat perang terjadi.

Alur Cerita

Berawal dari Romo Soegija (Nirwan Dewanto) yang diangkat menjadi seorang Uskup Danaba sekaligus uskup pribumi pertama di Indonesia yang berkedudukan di Semarang pada tahun 1940 dimana jabatan tersebut dinilai cukup sulit didapatkan oleh kaum pribumi pada masa tersebut. Dalam kesehariannya, Romo Soegija dikelilingi oleh beberapa tokoh seperti Toegimin (Butet Kartaredjasa), asisten pribadinya, Mariyem (Annisa Hertami), perawat yang kehilangan kakaknya (Muhammad Abe), Ling Ling (Andrea Revan), gadis Tionghoa yang harus terpisah dengan ibunya (Lydia Olga) akibat perang, dan Lantip (Rukman Rosadi), Pemimpin Barisan Pemuda Semarang. Romo Soegija dikenal sebagai sosok pemimpin agama yang patriotik, bersahaja, sederhana, bijaksana, dan merakyat dalam kesehariannya. Romo Soegija memang tidak terjun langsung dalam perang yang terjadi, tetapi ia mempunyai peran penting dalam memberikan dukungan diplomasi, materiil, dan morrill bagi bangsa Indonesia.

Hal ini terbukti ketika masa penjajahan Jepang berlangsung di Semarang, Ia memerintahkan penyaluran makan terlebih dahulu untuk masyarakat yang kelaparan dibandingkan dengan para Imam. Di sisi lain, Mariyem harus terpisah dengan kakaknya dan Ling Ling harus terpisah dengan Ibunya karena ditawan oleh tentara Jepang, begitupun dengan para jemaat gereja Romo Soegija. Kisah berlanjut saat Jepang mengalami kekalahan pada Perang Pasifik dan Indonesia mulai memasuki masa Revolusi Nasional, Semarang dipenuhi dengan kekacauan akibat perang antara rakyat Semarang dengan tentara Jepang yang tersisa membuat banyak rakyat kelaparan dan terluka. Melihat situasi itu, Romo Soegija membuka gereja untuk masyarakat yang membutuhkan tempat bernaung dan juga mengirimkan surat permintaan untuk Pemerintah Pusat agar segera mengirimkan seseorang untuk menuntaskan perang dan kerusuhan yang terjadi di Semarang

Perjuangan Romo Soegija berlanjut di Ibukota Yogyakarta, Ia telah berhasil melakukan silent diplomacy atau diplomasi diam-diam dengan Negara Vatikan untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan Indonesia. Selama agresi militer dan serangan sekutu di Yogyakarta dilancarkan, Romo Soegija juga membuka gereja sebagai tempat bernaung yang aman bagi masyarakat yang terluka dan terlantar dari perang yang terjadi. Kontribusi kemanusiaan Romo Soegija terus berlanjut hingga Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan Belanda. Semua kisah perjuangan Romo Soegija dituangkan dalam catatan harian miliknya.

Antara Kemanusiaan dan Perang

Film Soegija tidak hanya dibangun dari satu cerita, tetapi juga mempunyai berbagai penggalan cerita menarik dari beberapa tokoh. Cerita tersebut menampilkan sisi humanis yang mungkin jarang kita saksikan dalam peperangan, seperti cerita Nobuzuki (Nobuyuki Suzuki), seorang komandan tentara Jepang yang tidak pernah tega untuk menyakiti anak-anak karena ia juga mempunyai keluarga yang selalu dirindukannya di Jepang atau Robert (Wouter Zweers), seorang tentara Belanda yang selalu menganggap dirinya sebagai mesin perang, tetapi hatinya tersentuh setelah ia menemukan bayi seorang pejuang kemerdekaan di tengah medan perang dan ia pun selalu merindukan pulang ke Belanda untuk menemui Ibunya bukan semata-mata karena kecintaannya terhadap negara atau Hendrick (Wouter Braafs) seorang fotografer Belanda yang selalu sabar, tenang, dan berempati pada penderitaan rakyat Indonesia meski seringkali dicemooh karena identitasnya yang selalu dikaitkan dengan penjajah. Ia juga jatuh cinta kepada Mariyem walaupun cintanya harus kandas karena situasi perang yang terjadi. Beberapa contoh di atas merupakan segelintir kisah yang menyiratkan bahwa seorang penjajah pun tetap mempunyai sisi kemanusiaan di dalam dirinya, mereka juga manusia yang mempunyai keluarga dan rasa kasih sayang terhadap sesamanya meskipun rasa itu tertutupi akibat situasi perang yang memaksa dan menekan mereka untuk melakukan tindakan yang tidak seharusnya.

Rasa kemanusiaan yang palin menonjol ditampilkan oleh Romo Soegija itu sendiri, mulai dari menyalurkan bantuan makanan dan obat-obatan bagi masyarakat yang membutuhkan, membuka gereja sebagai tempat bernaung yang aman, mengunjungi dan menyapa para lansia dan pengungsi, dan selalu menggunakan pendekatan humanis dan diplomatis dalam menyelesaikan konflik yang terjadi antara penjajah dengan rakyat Indonesia. Romo Soegija  selalu mengedepankan kepentingan banyak orang dibandingkan dengan dirinya sendiri, dari Beliau kita belajar bagaimana cara memanusiakan manusia terlepas dari asal usul dan latar belakangnya.

Kelebihan dan Kekurangan

Film Soegija berhasil menghadirkan sinematografi yang realistis dan sesuai dengan latar dan keadaan pada tahun 1940-1949, mulai dari kostum, musik, properti, hingga tempat yang digunakan sehingga penonton dapat lebih merasakan secara langsung bagaimana suasana di masa-masa Romo Soegija berjuang. Pemeran yang digunakan dalam film ini pun tergolong cukup banyak, beragam, dan multietnis, baik itu pengungsi, tentara, masyarakat umum, dan orang asing dengan jumlah mencapai 2775 orang yang juga menggunakan berbagai macam bahasa dalam dialognya seperti Jawa, Indonesia, Inggris, Belanda, Jepang, dan Latin sehingga gambaran suasana perang kemerdekaan saat itu terekonstruksi dengan apik. Tidak heran, film ini berhasil memecahkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan kategori film dengan bahasa dan pemain terbanyak. Selain itu, film ini lebih mengangkat aspek kemanusiaan yang universal dibandingkan dengan aspek keagamaan sehingga penonton dari berbagai latar belakang dapat lebih merasakan makna perjuangan dari Romo Soegija. Kata-kata inspiratif Romo Soegija di sepanjang film juga menciptakan kesan yang kuat akan aspek kemanusiaan dan menjadi nilai tambah tersendiri bagi orang yang menontonnya.

Hal yang cukup disayangkan dari film ini adalah penggambaran sosok Romo Soegija yang tidak dijelaskan secara gamblang sehingga sosoknya tidak melekat kuat, Perjuangan humanis dan diplomatis yang dilakukannya tidak digambarkan secara utuh dan hanya divisualisasikan dalam adegan-adegan pendek. Berbagai kisah dari tokoh-tokoh lain membuat cerita dalam film ini tidak mempunyai kisah yang mendominasi di alur cerita.

Kesimpulan

Terlepas dari kekurangannya, Film Soegija mampu menyegarkan kembali pemikiran tentang apa itu kemanusiaan. Aspek kemanusiaan bukan sesuatu yang dapat memudar terlepas dari situasi apapun. Film ini cocok untuk penonton yang memiliki ketertarikan akan sejarah dan isu-isu kemanusiaan. Penonton dapat mengambil berbagai pesan moral yang dapat dimanifestasikan dalam kehidupan. Romo Soegija yang terkenal dengan tagline 100% Katolik, 100% Indonesia menyadarkan kita bahwa untuk menjadi Bangsa Indonesia tidak harus memiliki latar belakang tertentu. Semua orang dapat menjadi Bangsa Indonesia bila memiliki rasa nasionalisme, kemanusiaan, dan toleransi dalam dirinya. Perbedaan bukanlah suatu penghalang untuk mewujudkan Indonesia merdeka yang seutuhnya.

Teks: Muhammad Rafli Gebrena
Editor: Dimas Rama S. W.
Foto: Istimewa

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!