Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) kembali menggelar diskusi Sospolnet sebagai forum tahunan di selasar Pusgiwa pada hari Senin (22/08). Sospolnet terbuka tahun ini mengangkat tajuk #PRUIMasihBanyak dengan membawa empat isu sentral yang dianggap genting, di antaranya mengenai keberlanjutan kasus Akseyna, polemik revisi Statuta UI, darurat kekerasan seksual, dan kenaikan BOP.
Tujuan utama diadakannya kegiatan ini adalah diharapkan dapat memberi gambaran pada setiap mahasiswa/i sehingga dapat mempersatukan pandangan sekaligus keresahan karena isu-isu yang dibawa dinilai sangat mendesak untuk digerakkan bersama. Hal yang membedakan dengan Sospolnet sebelumnya, kali ini acara dibalut dengan diskusi publik bertajuk “Swara Samsara” di awal dengan melibatkan empat narasumber yang memiliki perhatian di masing-masing isu sentral, yakni Arfilla Ahad Dori, Dra. Reni Suwarso , Zeni Tri Lestari, hingga Fauzan Al Rasyid.
Walaupun sempat tersendat dengan perizinan PLK UI yang khawatir dengan masifnya jumlah mahasiswa/i yang akan datang, diskusi terbuka yang melibatkan lebih dari 100 mahasiswa/i ini dimulai dengan kondusif. Meskipun demikian, sebelumnya, moderator, Andri Dwihadi, Ketua Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM UI 2022, terlihat sempat kesulitan untuk mengatur setiap mahasiswa/i.
Mencolek Keikutsertaan Partisipasi setiap Elemen dalam Pergerakan Organisasi Formal
Di awal diskusi, para mahasiswa tampak menyuarakan pendapatnya, mulai mengenai bentuk pencerdasan yang dianggap masih terlalu “abu-abu” hingga bentuk pergerakan yang dinilai kurang partisipatif. Akan tetapi hingga akhir sesi, partisipan masih yang menyatakan pendapatnya tergolong minim. Walaupun begitu, perlu diapresiasi terdapat salah satu mahasiswi baru angkatan 2022 yang berani menyuarakan aspirasinya terkait bentuk “pencerdasan” yang dinilai terlalu banyak sehingga sulit untuk diolah secara komprehensif.
“Kita belum pada tahu, seperti 1000 hari pelantikan Ari Kuncoro, jadi kita belum diinformasikan begitu. Kalaupun kita cari banyak banget informasi—kalau dilihat di Instagram itu di BEM ada banyak di sini (selain BEM) ada banyak, jadi mungkin bisa di-highlight lagi isu-isu yang sedang dibawa,” ujar mahasiswi Psikologi angkatan 2022.
Selanjutnya pun alur diskusi masih mengarah pada dua hal, bentuk “pencerdasan” dan bentuk pergerakan terhadap isu-isu ini. Tidak sedikit mahasiswa menuntut kolaborasi antara organisasi formal (BEM) dengan non formal, seperti SEMAR UI hingga aliansi, seperti AKOMA UI (Aliansi Kolektif Mahasiswa) segera dilaksanakan. Keterlibatan media pers, seperti Suma UI, juga diharapkan tergabung untuk menyorot sekaligus mewadahi pergerakan yang ada. Bahkan, salah satu mahasiswa perwakilan dari SEMAR UI, menyarankan agar pergerakan dapat mengikutsertakan elemen di luar mahasiswa ranah UI.
“UI bukan cuma terdiri dari mahasiswa, UI juga ada elemen dosennya, UI juga ada elemen-elemen pekerjanya juga–mungkin kita bisa bisa mengajak PLK buat ikut kita bersama karena sejatinya kita ingin memperingatkan pada rektor yang engga memberikan keadilan, malah justru membiarkan kita sengsara,” ucap Fawwaz sebagai perwakilan SEMAR UI.
BEM FISIP pun menyatakan siap untuk berkolaborasi bersama, tetapi tidak menyangkal bahwa masih ada batasan struktural untuk dapat melakukannya. Hal ini dianggap untuk mencegah konsekuensi yang menyerang balik pada BEM. Hambatan birokrasi juga menjadi alasan tambahan terkait bentuk kolaborasi yang terlalu terbuka. Propaganda lepas pun menjadi salah satu solusi terkait kolaborasi antarelemen mahasiswa.
Menyimpulkan Keseluruhan Isi Diskusi Terbuka
Diskusi yang terus berkutat pada bentuk pergerakan di satu sisi menciptakan suasana yang kurang kondusif karena fokus mahasiswa/i yang mulai teralihkan dari diskusi. Selain itu, tidak banyak singgungan mengenai isu-isu yang sebelumnya terelaborasi dalam satu tagar #PRUIMasihBanyak. Namun, ada salah satu pernyataan yang menarik perhatian mengenai kekerasan seksual yang disampaikan dalam diskusi. Menurut salah satu mahasiswa, introspeksi beserta evaluasi pada masing-masing organ juga perlu diperhatikan agar dapat mencegah adanya pelaku kekerasan seksual yang malah mengadvokasi korban.
Waktu pelaksanaan pergerakan pun sempat menjadi perdebatan. Hal ini disebabkan oleh rencana pemecahan Rekor MURI dalam rangkaian KAMABA di hari Kamis besok (25/22), sehingga beberapa mahasiswa berpendapat bahwa hal tersebut merupakan momentum yang tepat untuk melakukan suatu pergerakan sekaligus mencoreng nama baik UI. Salah satu perwakilan BEM FH, Timothy, menyarankan untuk menitikberatkan pada pengoptimalan pergerakan, dibandingkan melakukannya dalam kadar yang kurang maksimal. Selain itu, waktu yang terlalu singkat juga dianggap dapat memengaruhi jumlah massa yang akan hadir dalam aksi, jika dilakukan pada hari tersebut.
Hari Selasa esok (30/08/22) pun dianggap menjadi hari yang strategis dan tepat untuk menyelenggarakan aksi, mengingat hari itu bertepatan dengan perayaan 1000 hari Pelantikan Ari Kuncoro. Jika melihat salah satu unggahan pada kanal media Instagram @bemui_official saat ini (24/22), hari Selasa tersebut ditetapkan sebagai hari untuk menyerukan “Aksi Selamatkan UI” dari gedung Gerbatama UI hingga Rektorat. Kali ini, seruan aksi yang dicanangkan tidak menyertakan kalimat Aliansi BEM Se-UI, melainkan menyertakan ajakan semua sivitas akademika untuk berkoalisi.
“Selepas hari ini, semua organ di UI yang memiliki perhatian yang sama dengan keempat isu yang dibawa dalam Sospolnet Terbuka dapat bergerak bersama,” tutur Melki Sedek Huang, selaku Koordinator Sosial Politik BEM UI 2022.
Teks: Intan Shabira
Kontributor: Dyaning Pramesti
Editor: Kamila Meilina
Foto: Dyaning Pramesti
Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!