Sudahkah Kampus Menciptakan Lingkungan Yang Setara Bagi Perempuan?

Redaksi Suara Mahasiswa · 31 Maret 2021
3 menit

Komunitas UI Kampus Ramah Perempuan (UI KRP) mengadakan sesi talkshow yang bertajuk “Women Empowerment at Campus” pada Sabtu (27/3). Acara ini merupakan wadah untuk membicarakan isu-isu kesetaraan gender di lingkungan kampus, diskusi, sharing dan berbagi cerita bagaimana untuk mengurangi diskriminasi terhadap wanita di lingkungan kampus.

Diskusi dipantik dengan ditayangkannya sebuah video singkat mengenai isu eksistensi perempuan di lingkungan kampus sebagai ruang publik. Melalui kasus yang diangkat dalam video tersebut, peserta segera dibawa untuk mengingat ramainya kasus ketidakadilan gender yang melibatkan nama organisasi pada sebuah universitas di Jakarta. Dalam video ini, ditunjukkan akun Instagram Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) fakultas sebuah universitas dimana foto anggota Badan Pengurus Harian (BPH) perempuan sengaja disensor dengan cara diturunkan opacity-nya. Dalih yang digunakan atas aksi ini adalah ‘menjaga kehormatan perempuan’, sedangkan foto anggota laki-laki dibiarkan tetap terlihat jelas. Hal serupa juga terjadi pada akun Instagram BEM fakultas lain di universitas yang sama. Masih dengan dalih yang sama, foto anggota perempuan diubah menjadi anime perempuan muslimah. Unggahan ini mendapat berbagai kecaman dari publik. Namun, pihak dari organisasi terkait berkilah bahwa sudah ada kesepakatan bersama sebelum foto-foto tersebut diunggah. Fenomena ini menyiratkan bahwa eksistensi perempuan di ruang publik, seperti lingkungan kampus, masih sangat dibatasi.

Bentuk pengekangan ekspresi perempuan di ruang publik tidak hanya berhenti sampai di situ. Pada lingkungan kampus, perempuan masih saja harus menanggung pedihnya berbagai ketidakadilan gender. Aprilia Resdini selaku Koordinator SPACE UNJ, menyebutkan beberapa bentuk ketidakadilan gender, yaitu marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, dan beban ganda. Contoh marginalisasi dan subordinasi adalah ketika mahasiswa atau dosen memilih laki-laki sebagai ketua, baik ketua kelas maupun ketua organisasi.

Aprilia juga menyayangkan peran kampus yang masih sangat kurang untuk mengadvokasi isu kesetaraan gender. “Kampus sebagai institusi pendidikan, seharusnya mampu menciptakan ruang aman yang inklusif dan kondusif, bebas dari kekerasan, diskriminasi,” ujar Aprilia. Aprilia berpendapat lebih lanjut bahwa kampus seharusnya memberikan kesempatan dan hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki, tidak hanya dalam hal pendidikan, tetapi juga keorganisasian.

Kampus juga seharusnya dapat mengedukasi civitas dan masyarakatnya mengenai hal ini. Apalagi, masih banyak miskonsepsi yang beredar mengenai isu kesetaraan gender. Menurut Ikhaputri Widiantini, M.Si, dosen Filsafat Universitas Indonesia, kesetaraan gender adalah situasi setara bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh kesempatan serta hak yang sama di berbagai bidang, baik politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan sebagainya. Sayangnya, pola pikir mengenai inferioritas perempuan, budaya patriarki dan konservatisme yang masih kental di Indonesia juga menghambat tercapainya kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki.

Perempuan sering dianggap lebih rendah daripada laki-laki dalam ranah publik. Dalam ranah akademik, hal ini juga dapat terjadi kepada dosen, “Dosen perempuan di tempat kerja saya tidak sampai lima orang, dan kami harus struggling bertahan di antara para dosen laki-laki. Lucunya, setiap kali ada isu yang terkait dengan sensitivitas, seni, konseling kepada mahasiswa selalu diberikan kepada dosen perempuan. Sementara kalau isunya prestige seperti politik negara dan problem logika, pasti dosen laki-laki yang muncul,” ujar Ikha.

Dari perspektif feminisme sosialis, keluarga adalah institusi peran gender pertama. Athalla Hardian, None Jakarta 2018, mahasiswa Psikologi Universitas Indonesia 2017, membagikan pengalamannya mengenai ketidaksetaraan gender secara langsung dan tidak langsung dalam talkshow ini. Sebagai anak bungsu perempuan, orang tua Athalla selalu mendampingi Athalla kemanapun ia pergi hingga ia berusia 18 tahun. Athalla merasa ruang geraknya sangat dibatasi, dan ia akhirnya menyadari bahwa dunia adalah tempat yang berbahaya terutama bagi perempuan saat ia masih harus didampingi ketika menyetir kendaraan. Untuk membuktikan bahwa ia bisa mandiri, Athalla mengikuti berbagai kepanitiaan selama masa kuliahnya. Pada tahun 2018, Athalla mengikuti perlombaan Abang None Jakarta, dimana ia berhasil meraih titel None Jakarta Selatan dan maju ke tingkat provinsi DKI Jakarta. Namun, pada saat latihan menari, Athalla ditegur dan dipermalukan oleh koreografernya. “Aku gara-gara salah koreo, aku lagi nari, salah, music-nya dicut, langsung disuruh ditengah-tengah sendirian, ‘Dasar perempuan bodoh, gitu aja gak bisa ngikutin!’,” ujar Athalla.

Menurut Aprilia, upaya yang dapat kita lakukan untuk mencapai kesetaraan gender adalah dengan menyadari privilege kita serta mengedukasi diri agar kedepannya bisa berpartisipasi aktif dalam aktivisme kesetaraan gender. Aktivisme ini juga penting untuk laki-laki, karena laki-laki bisa menjadi sekutu maupun suporter gerakan ini. Aprilia menekankan bahwa jangan sampai laki-laki menjadi speaker, karena jika laki-laki menjadi perempuan nantinya ruang yang seharusnya untuk perempuan akan terambil oleh laki-laki. Akan tetapi, Ikha menyanggah bahwa laki-laki tidak bisa menjadi speaker, karena dalam feminisme gelombang ketiga dapat ditemukan juga laki-laki yang menjadi korban isu kesetaraan gender akibat patriarki. Acara talkshow ini ditutup dengan sesi foto bersama yang dilanjutkan dengan games berhadiah.

Teks: Fitri Hasanah

Editor: Syifa Nadia R.

Foto: Huffpost

Pers Suara Mahasiswa UI

Independen, Lugas, dan Berkualitas!