Kebebasan berpendapat di Indonesia kembali diuji. Sehabis menulis opini “Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?” yang dimuat di media detikNews pada (22/5), mahasiswa Universitas Indonesia mendapatkan intimidasi dari Orang Tak Dikenal (OTK). Akibatnya, tulisan tersebut ditarik dari situs atas permintaan penulis, meski Dewan Pers belum mengeluarkan rekomendasi.
Merespons situasi ini, pihak TNI membantah keras terhadap adanya ancaman dan teror yang ada. “TNI tidak pernah dan tidak akan lakukan tindakan-tindakan intimidatif terhadap warga yang menjalankan hak konstitusionalnya dalam menyampaikan pendapat," ujar TNI Mayjen Kristomei Sianturi, Kepala Pusat Penerangan TNI, dikutip dari Kompas (26/5).
“TNI memegang teguh prinsip netralitas dan tidak akan pernah terlibat dalam upaya membungkam suara publik," tambah Kristomei.
Swasensor Penulis, Mengapa demikian?
Dalam keterangannya, penulis mengungkapkan bahwa di hari yang sama saat pemuatannya opininya, ia mengalami dua kali kekerasan fisik dari OTK. Pertama, diserempet motor oleh dua orang berhelm tertutup setelah mengantar anaknya ke sekolah. Tak lama, insiden serupa terjadi lagi, kali ini hingga membuat korban terjatuh.
Rentetan kejadian ini membuat penulis menduga adanya teror yang berkaitan dengan isi opininya. Akhirnya, ia meminta redaksi detikNews untuk menghapus tulisannya. Namun, dikutip dari Tempo, permintaan ini sempat ditolak oleh redaksi Detik karena belum ada rekomendasi dari Dewan Pers. Penulis pun disarankan untuk melaporkan kejadian yang dialaminya terlebih dahulu ke Dewan Pers.
Meski laporan telah disampaikan, hingga saat ini Dewan Pers belum mengeluarkan rekomendasi atau surat resmi bahkan setelah korban menyampaikan keluhannya.
Setelah pencabutan, detikNews sempat mempertahankan judul asli opini tersebut. Namun tak lama kemudian, judul itu diganti menjadi “Tulisan ini Dicabut”, dengan isi artikel yang tetap dihapus seluruhnya dan hanya menyisakan pernyataan pencabutan dari redaksi. Bahkan sejak kemarin (26/5), detikNews juga menghapus nama penulis dari artikel tersebut.
Permintaan penghapusan opini ini menunjukkan bentuk swasensor yang menguat, sekaligus menegaskan semakin menyempitnya ruang kebebasan berekspresi di Indonesia. Nani Afrida, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, menilai situasi ini sebagai ancaman serius bagi kebebasan pers, hak publik atas informasi, serta keberlangsungan demokrasi.
“Pola ini menunjukkan adanya upaya sistematis untuk menciptakan efek gentar (chilling effect), agar masyarakat takut menyampaikan pendapat dan media enggan membuka ruang bagi suara-suara kritis,” tutur Nany.
Erick Tanjung, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia menegaskan bahwa ketidaksetujuan terhadap sebuah opini seharusnya direspons dengan cara yang beradab, bukan melalui teror atau kekerasan.
“Kalau ada yang tidak setuju dengan opini atau tulisan kritis, balaslah dengan opini juga. Silakan berdebat. Kalau itu karya jurnalistik, sudah ada mekanismenya. Gunakan hak jawab, atau adukan ke Dewan Pers,” ujar Erick dalam wawancaranya dengan Pers Suara Mahasiswa UI (27/5).
Meski kini korban dalam kondisi aman, menurut Erick, trauma akibat kekerasan fisik yang dialami masih membekas. “Kondisinya sekarang lebih aman, tapi masih ada trauma dan kekhawatiran pasca-teror,” jelasnya.
Habis Intimidasi, Terbitlah “Dukungan”
Gelombang respons atas dihapusnya opini itu terus meluas, tak hanya dari publik, melainkan juga dari pemerintah pusat. Dalam konferensi pers (26/5), Juru Bicara Presiden, Hasan Nasbi, menyatakan dukungannya agar tulisan yang sempat dicabut tersebut diterbitkan kembali.
“Kalau perlu, tulisannya dinaikkan lagi. Tidak apa-apa, pasang saja lagi tulisannya,” ujarnya, dikutip dari Katadata. Menurutnya sikap ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam menjamin kebebasan berekspresi sekaligus penegakan hak asasi manusia yang tercantum dalam delapan misi atau Astacita Presiden Prabowo.
Menanggapi dorongan pemerintah agar tulisan itu diterbitkan kembali, Erick menegaskan bahwa keputusan publikasi ulang sepenuhnya berada di tangan penulis.
“Ya, gimana mau menaikkan artikelnya? Itu tergantung penulisnya. Kalau penulisnya tidak mau, kita juga nggak bisa memaksa. [Apalagi jika] korbannya merasa terancam, baik keselamatan dirinya maupun keluarganya,” kata Erick.
Ia menambahkan bahwa seharusnya bentuk kehadiran pemerintah dalam menjamin kebebasan berekspresi harus dimulai dengan meniadakan bentuk impunitas atau kekosongan penegakan hukum.
“Tanggung jawab negara harus dengan menuntaskan seluruh kasus, terutama yang mandek di kepolisian. Tidak boleh ada impunitas di Republik ini, baik terhadap pelaku kekerasan pada jurnalis, media, aktivis, seniman, maupun masyarakat yang menyuarakan pendapatnya. Setiap pelanggaran atas kebebasan sipil harus diusut tuntas dan tidak boleh dibiarkan begitu saja,” kata Erick.
Dilansir dari Tempo, artikel yang dicabut tersebut sebenarnya berisi kritik terhadap pengangkatan Letnan Jenderal (Purnawirawan) Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea Cukai. Penulis menilai keputusan itu mencederai prinsip meritokrasi dalam pengisian jabatan aparatur sipil negara.
Meski telah resmi pensiun dari TNI per 14 Mei, Djaka tidak memiliki rekam jejak di bidang ekonomi. Penunjukannya sebagai Dirjen Bea Cukai menuai sorotan karena latar belakangnya sebagai eks anggota Tim Mawar yang merupakan bagian dari Satuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) untuk mengamankan mereka yang dianggap membahayakan pemerintah pada 1997-1998.
Teks: Intan Shabira
Editor: Dela Srilestari
Foto: detikNews
Desain: Hanif Ridhwan Nuruddin
Pers Suara Mahasiswa UI
Lugas, Independen, Berkualitas