Tak Ada Kampus Merdeka tanpa Kebebasan Pers di Dunia Akademik

Redaksi Suara Mahasiswa · 2 November 2022
8 menit

Zaman berubah, pemimpin berganti namun kerentanan pers mahasiswa dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistiknya masih sama. Layaknya ritual tahunan, tahun ini giliran LPM Lintas dari IAIN Ambon yang mendapatkan intimidasi dan pembredelan dari pihak kampus usai menerbitkan berita tentang pelecehan seksual yang terjadi di kampusnya.

Tidak hanya dibredel, sejumlah awak redaksi Lintas juga dicutikan oleh IAIN Ambon. Berita tersebut hanya berusia tiga hari sebelum akhirnya Rektor IAIN Ambon dengan cepat membredel LPM tersebut melalui Surat Keputusan Rektor Nomor 95 tahun 2022.

Kejadian ini terus mengalami keberulangan karena hingga saat ini pers mahasiswa tidak memiliki payung hukum yang memadai selain hak atas kebebasan berekspresi, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dan hak atas keterbukaan informasi yang perlindungannya bersifat publik.

Kendati telah ada pengakuan dari Ketua Dewan Pers bahwa aktivitas jurnalistik mahasiswa harus dilindungi, namun pengakuan tersebut tentu tidak bersifat mengikat secara hukum. Pengakuan dewan pers tersebut belum bertaring terhadap otoritas, sementara kasus intimidasi terhadap pers mahasiswa tidak pernah absen terjadi setiap tahunnya.

“Punya senjata untuk menyerang, tapi tak memiliki perangkat pertahanan yang memadai. Satu-satunya perisai yang melindungi hanyalah Surat Keputusan (SK) dari Rektorat karena LPM cuma berstatus sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM),” tulis Ade Tegar Irsandy dari LPM Pendapa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) dalam Rubrik Bangku Belakang Remotivi.

Pers mahasiswa boleh jadi lebih rentan daripada pers media karena pers media memiliki badan hukum dan perangkat legalitasnya. Sementara pers mahasiswa, bukan hanya tidak berbadan hukum, pers mahasiswa memiliki dua otoritas yang dapat menekannya, yakni pemerintah dan rektorat. Terlebih pendanaan pers mahasiswa utamanya bersumber dari dana universitas. Kondisi-kondisi tersebut membuat posisi dan independensi LPM menjadi sangat rentan dibredel alih-alih ditanggapi dengan hak jawab.

“Berselang satu hari setelah berita terbit, saya bersama teman saya yang turun liputan dipanggil ke rektorat. Ya, apalagi kalau bukan untuk diberi wejangan dan ancaman beredel. Boro-boro membahas topik sensitif lainnya, cuma membahas fasilitas kampus saja gegernya bukan main,” ungkap Tegar.

Kerentanan tersebut nyata-nyata berimbas pada mental wartawan dan kualitas produk persma. Salah satu pengurus harian salah satu LPM di Yogyakarta yang enggan disebutkan identitasnya mengatakan bahwa ketiadaan perlindungan hukum bagi pers mahasiswa juga menjadi alasan utama mereka enggan meliput isu-isu sensitif khususnya tentang masalah kampus.

“Sebenarnya waktu kita masuk (universitas), ada masalah keuangan yang saya dengar dari alumni-alumni saya yang dirugikan. Saya sih mau-mau aja meliputnya, tapi saya udah semester akhir, masih pengen lulus juga. Kalau sudah berhubungan dengan Rektorat mah ngeri, apalagi kita swasta, ga ada perlindungan hukumnya,” ujar reporter salah satu LPM di Yogyakarta.

UU Pers yang ada selama ini tidak memberikan kepastian perlindungan hukum terhadap LPM. Hal ini karena dalam pasal 18 ayat 1 UU Pers, perlindungan yang disebutkan hanyalah diperuntukkan bagi perusahaan pers atau pers berbadan hukum. Dalam terminologi hukum, yaitu yayasan, koperasi, dan perusahaan, sehingga status kelembagaan pers mahasiswa sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) tidak termasuk dalam standar perusahaan pers yang ditetapkan UU Pers.

Sebagaimana yang terus diupayakan, UU Pers perlu lebih inklusif dalam memberikan perlindungan terhadap berbagai jenis pers, tidak hanya terbatas pada jurnalisme komersial saja, namun juga terhadap jurnalisme warga seperti pers mahasiswa. Kekosongan hukum ini masih diperjuangkan baik oleh LPM, LBH Pers maupun asosiasi pers yang peduli terhadap masa depan pers mahasiswa.

Rekam Jejak Kasus-Kasus Pembredelan Persma

Pada bulan Mei 2016, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) merilis laporan data kasus-kasus kekerasan terhadap persma dalam rentang tahun 2013–2016. Dalam 3 tahun saja, terdata sebanyak 47 dari 64 (73%) pers mahasiswa mengaku pernah mengalami kekerasan, baik berupa intimidasi, ancaman pembekuan, pembredelan, hingga kriminalisasi dan fitnah.

Ironisnya, pelaku kekerasan didominasi oleh pihak otoritas kampus atau rektorat. Kampus yang sejatinya menjaga kebebasan akademik dan kebebasan berpikir sivitas akademikanya, justru merupakan aktor yang paling sering melakukan represifitas berupa intimidasi, kekerasan fisik, ancaman DO hingga ancaman pembredelan terhadap pers mahasiswa.

Melansir data Tirto.id, dari segi pelaku, 48 represi dilakukan oleh pihak rektorat atau pihak otoritas kampus. Sementara itu,  sebanyak 16 LPM mengaku juga pernah yang mendapatkan represi dari sesama mahasiswa, 12 diantaranya mengaku pernah direpresi oleh organisasi-organisasi kampus yang notabenenya ‘progresif’ seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM). Tak tanggung-tanggung, ancaman juga datang dari luar kampus, delapan LPM mengaku pernah mendapatkan intimidasi oleh organisasi eksternal (ormek) kampus.

Di luar kampus, intimidasi mengintai pers mahasiswa, mulai dari aparat negara maupun pihak pemerintah langsung, Catatan dari Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa (FAA PPMI) sepanjang tahun 2013-2016 mengungkap fakta bahwa ada sebanyak 18 pejabat yang melakukan kekerasan terhadap pers mahasiswa.

Melansir dari Alinea.id, setidaknya ada empat kasus upaya pembungkaman terhadap pers mahasiswa selama kurun waktu tiga tahun terakhir. Sebut saja pada tahun 2014, buletin EXPEDISI milik Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta ditarik karena mengangkat topik edisi tentang kekerasan dalam ospek.

Hal serupa dialami pula oleh Majalah Lentera milik Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga pada tahun 2015 yang mengangkat peristiwa tahun 1965 di Salatiga. Tak berhenti sampai di situ, kasus pembredelan persma berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2016, LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan LPM Pendapa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa dibredel oleh pihak rektorat. LPM Poros terancam dibekukan karena kritikannya yang tajam terhadap pembangunan Fakultas Kedokteran. Lain halnya dengan LPM Pendapa yang justru telah dibekukan, karena enggan menandatangani pakta integritas perihal penerbitan buletin.

Tidak hanya pembekuan LPM, tahun 2019 terjadi pula pemecatan awak redaksi Suara Universitas Sumatera Utara (USU) oleh rektorat. Hal itu digadang-gadang sebagai akibat dari terbitnya cerita pendek berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya”. Karya cerpen tersebut dianggap melanggar visi dan misi kampus karena menghadirkan unsur lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Bahkan, diskusi-diskusi mengenai kedaerahan, seperti Papua, yang diadakan oleh LPM Teropong juga dibredel.

Kejadian-kejadian sensitif dan penuh kepentingan seringkali dianggap sebagai sesuatu yang perlu ditutupi dari publik, sehingga asas keterbukaan informasi menjadi sebatas slogan kosong saja.

Dalam riset terbarunya, PPMI juga menambahkan data-data represi terhadap persma dalam kurun waktu 2019–2021. Hasilnya, terdapat 81 LPM yang ditegur karena publikasi jurnalistiknya, pencabutan berita sepihak di 24 LPM, makian terhadap 23 LPM, ancaman dan intimidasi terhadap 20 LPM, penurunan dana dan paksaan untuk meminta maaf terjadi pada 11 LPM, hingga 3 LPM yang mengalami teror karena pemberitaannya. Tingginya angka-angka ini hanya secuil kasus yang naik ke permukaan, masih banyak kasus lainnya yang berada di bawah gunung es dan tidak terdata.

Contoh-contohnya terdapat pada peristiwa demo RUU Cipta Kerja pada akhir tahun 2020 lalu. Setelah demonstrasi, sejumlah awak persma bersama dengan sederet nama demonstran dinyatakan hilang dan ditahan oleh aparat kepolisian. Terlihat pula luka bekas aniaya paska penahanan tersebut. Kendati kartu identitas pers sudah dikenakan, namun pers mahasiswa dianggap bagian dari mahasiswa dan bukan bagian dari aktivitas jurnalisme.

Hal ini yang membuat penyetaraan pengakuan hukum antara pers mahasiswa dan pers konvensional menjadi penting. Dikotomi antar keduanya membuat deligitimasi terhadap produk pemberitaan persma.

“Ya di-deligitimasi produknya, mau sebagus apapun, selama tidak punya legal standing, ya kalian itu main-main aja gitu. Kayak publikasi di mading-mading aja,” terang Adil dari PPMI Jogja saat dimintai pendapat oleh Suara Mahasiswa UI.

Kekosongan hukum ini membuat jika pemberitaan persma dianggap bermasalah atau menyinggung beberapa kelompok,  mereka tidak menggunakan mekanisme persengketaan pers, seperti hak jawab, namun cenderung menggunakan langkah yang represif.

“Mereka asal panggil, asal minta takedown, dan sebagainya. Padahal secara fungsi, kita harusnya masuk ke dalam UU Pers. Bukan berarti kita mengemis ya, tapi itu hak kita, hak warga negara, hak persma untuk mendapat perlindungan,” lanjut Adil.

Seperti melanggengkan percikan-percikan sisa sistem Orde Baru. Awal mula deligitimasi persma melalui Peraturan Menteri Penerangan RI No. 01/Per/Menpen/1975, yang menggolongkan pers mahasiswa sebagai Penerbitan Khusus yang bersifat non-pers dan Surat Edaran Dikti No. 849/D/T/1989 mengenai Penerbitan Kampus di Perguruan Tinggi. Oleh sebab itu, peran persma dipandang sebelah mata, layaknya kumpulan anak-anak yang sedang belajar membuat tulisan dan majalah.

Mengapa Persma Harus Dilindungi?

Berbagai kekhawatiran akan kekerasan, pembredelan hingga ancaman drop out dari kampus menjadi ancaman yang terus membayangi pers mahasiswa. Hal tersebut dinilai menjadi sebuah ironi besar karena pers mahasiswa merupakan  investasi masa depan bagi dunia jurnalistik Indonesia. Meski dibedakan secara kategorial di mata hukum, pers mahasiswa pada dasarnya memiliki fungsi yang sama selayaknya pers umum, yaitu sebagai sarana pendidikan, hiburan, informasi dan kontrol sosial.

Ade Wahyudin, Direktur Eksekutif LBH Pers mengakui hal ini, “... kalau kita berbicara tentang kode etik harusnya semuanya sama. Kalau pun ada yang membedakan itu mungkin dasar orientasinya, jadi dari segi karyanya itu sama.”

Persma lahir bukan hanya dalam kerangka keingintahuan mahasiswa, melainkan juga tumbuh dari idealisme dalam menyajikan kepentingan publik. Hal ini kemudian berkembang menjadi momen pembentuk karakter dalam dunia jurnalisme yang sesungguhnya. “Saya beranggapan bahwa pers mahasiswa adalah sebuah investasi masa depan kita karena beberapa alumni pers mahasiswa setelah itu terjun dalam pers mainstream, mereka lebih aware dari segi kode etik, lebih cakap,” tutur Ade.

Idealisme tersebut lahir sebab pers mahasiswa terbebas dari kepentingan politik dan motif ekonomi dalam menyajikan informasi pada publik. Dasar tersebut yang juga menjaga prinsip independensi pers mahasiswa. Selain itu, nilai-nilai independen yang terbentuk dalam kegiatan jurnalisme pers mahasiswa itulah yang diharapkan menjadi investasi berkembangnya dunia jurnalisme di tingkat yang lebih tinggi. Untuk itu, tentu diperlukan adanya regulasi yang lebih serius dalam memberikan perlindungan terhadap pers di tingkat mahasiswa.

Kebebasan Pers Mahasiswa adalah Kebebasan Akademik, Saatnya Kemendikbud Turun Tangan

Diskusi lampau tentang pembentukan perlindungan hukum Pers Mahasiswa selalu dibenturkan dengan ketiadaan badan hukum. Namun, melihat kerentanan di lapangan, diskusi Dewan Pers dan Pemerintah seharusnya tidak lagi berputar pada masalah badan hukum. Menurut Wahyudin dari LBH Pers, terdapat banyak opsi kebijakan yang dapat diupayakan jika pemerintah memiliki kemauan yang tinggi dalam melindungi pers mahasiswa secara hukum.

“(persma tidak berbadan hukum-READ) itu alasan paling konvensional, selalu jadi dalih untuk ‘ngeles’ bahwa soal (perlindungan persma -READ) ini ga terlalu penting. Kalau saja Dewan Pers punya political will yang tinggi, dia seharusnya bisa mencari alternatif, misalnya membuat peraturan khusus, dapat pula melakukan MoU dengan Kemendikbud,” terang Wahyudin dalam wawancaranya dengan Suma UI.

Menurut Wahyudin, alasan terbesar mengapa pers mahasiswa belum memiliki payung hukum setelah bertahun-tahun advokasi digencarkan adalah karena hanya segelintir lembaga yang paham terkait pentingnya perlindungan pers mahasiswa. Terhadap pers mahasiswa, Dewan Pers sendiri cenderung reaksioner dan hanya merespon jika terdapat kasus-kasus intimidasi terhadap pers mahasiswa yang ramai menjadi perbincangan publik.

“...ya advokasinya juga dikit, paling yang dorong LBH Pers, AJI, tapi di asosiasi lain, kan sebenarnya banyak asosiasi-asosiasi pers lainnya, mereka belum melihat bahwa jaminan hukum bagi pers mahasiswa itu penting,” tutur Wahyudin.

Kendati perlu diakui pemberlakuan gradasi badan pers yang dilakukan dewan pers, dimana persma termasuk didalamnya merupakan kemajuan dalam isu regulasi perlindungan persma. Namun, pengakuan ini belum cukup formal untuk melindungi persma dari represifitas negara dan kampus, khususnya ancaman DO dan pembredelan. Oleh karena itu, LBH Pers menyarankan sejumlah strategi lain yang dapat dilakukan persma untuk mendapatkan perlindungan hukum, salah satunya adalah bergabung dengan asosiasi pers seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Namun, dengan adanya alternatif tersebut bukan berarti dewan pers dapat lepas tangan. Terdapat alternatif lain yang dapat didorong dan dilakukan dewan pers untuk melindungi persma, yaitu berkoordinasi dengan Kemendikbud terkait isu perlindungan kebebasan pers di kampus. Selama ini, salah satu peran yang luput dilibatkan dalam diskusi melindungi kebebasan pers mahasiswa adalah Kemendikbud.

Sebagai institusi pemerintahan yang bertugas menyelenggarakan pendidikan termasuk jenjang perguruan tinggi, Kemendikbud dapat ikut terlibat dalam menjaga kebebasan pers di lingkungan kampus. Hal ini karena karya jurnalistik termasuk karya ilmiah yang dapat diuji dengan metodologi akademis, sehingga pembatasan, penarikan, bahkan pembredelan terhadapnya merupakan pelanggaran kebebasan akademik yang seharusnya dijaga oleh perguruan tinggi dan yang penerapannya diawasi oleh Kemendikbud.

Kampus itu kan harus menjaga kebebasan akademik, kenapa engga menjaga kebebasan pers itu termasuk menjaga kebebasan akademik? Karena dia menggunakan metodologi yang akademik, kode etik juga bisa dipertanggungjawabkan dan diuji melalui mekanisme akademis,” tegas Wahyudin.

Hal senada juga disoroti oleh Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch ini menyoroti pentingnya memasukan isu kebebasan pers dalam agenda kampus merdeka. Menurutnya, Nadiem Makarim selaku Menteri perlu memberikan instruksi yang jelas dan tegas terhadap rektor-rektor agar tidak boleh ada pembredelan di kampus.

"Entah itu internet atau cetak atau majalah, tabloid, itu akan dibunuh, itu adalah pukulan serius kebebasan akademik di kampus atau kebebasan pers secara umumnya," ujar Andreas dalam diskusi YLBHI tahun 2020 lalu.

"Kalau ada kampus merdeka tapi pers mahasiswa dibredel, ya enggak merdeka," tegas Andreas.

Dalam hal ini, dewan pers dan kementerian dapat bekerja sama dalam merumuskan peraturan tingkat perguruan tinggi yang dapat melindungi kebebasan pers di kampus, baik berupa MoU, Peraturan Menteri (Permen), atau serendah-rendahnya Surat Edaran berisi perintah yang menghimbau larangan terhadap pembredelan pers mahasiswa.

“Kalau sudah ada Permen khusus terkait dengan kebebasan pers di kampus, setidaknya para petinggi kampus tidak bisa sewenang-wenang. Apalagi kalo kampus negeri, mereka pasti khawatir mendapatkan pandangan negatif dari Kementerian kalau ada yang melapor,” ujar Wahyudin.

Terakhir Wahyudin menyarankan agar LPM yang ada di setiap kampus mengonsolidasikan semangat dan sepakat untuk mendorong iklim kebebasan pers yang baik di kampus. Upaya tersebut dapat berupa pembentukan tim kajian, arsip masalah dan kasus, mengkampanyekan isu, yang dapat menjadi modal negosiasi kepada Dewan Pers dan Kementerian untuk mendorong terciptanya perlindungan hukum untuk pers mahasiswa.

“Bikin tim kajian, lalu audiensi ke Kemendikbud tentang inisiatif ini, dari situ kalau sudah ada respon langsung saja kolaborasi dengan pers media, asosiasi pers, LBH Pers. Hal-hal seperti ini kan positif dan ga ada yang dirugikan, kecuali jika memang kampusnya khawatir dengan kebebasan pers mahasiswa,” tutupnya sambil terkekeh.

Menuntut jaminan kebebasan pers di kampus adalah perjuangan jangka panjang, kebebasan pers mahasiswa tidak hanya penting bagi masa depan pers Indonesia, namun juga penting bagi masa depan kebebasan akademik dan masa depan demokrasi serta kebebasan berekspresi di Indonesia.

Teks: Aulia Maulida, Dian Amalia Ariani, Kamila Meilana
Editor: Syifa Nadia
Ilustrator: Brilian Kusumanegara

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!