Tak Hanya Isu Perempuan, IWD 2023 Tuntut Keadilan Semua Gender

Redaksi Suara Mahasiswa · 9 Maret 2023
4 menit

Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, berbagai elemen masyarakat mulai dari organisasi buruh, organisasi nonpemerintah, hingga mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Menggugat melaksanakan aksi pada Rabu lalu (8/3).

Foto: Massa Aksi/Credit: Irdina Ravi


Massa aksi berkumpul di Ikatan Restoran dan Taman Indonesia Monumen Nasional (IRTI Monas) untuk kemudian melakukan longmarch hingga ke depan Istana Negara. Sayangnya, massa aksi terpaksa harus berhenti di depan Patung Kuda akibat blokade yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Kendati telah dilakukan negosiasi, pihak kepolisian tetap kukuh menutup jalan dengan blokade beton dan kawat berduri, sehingga aksi yang semula direncanakan di depan Istana Negara harus berhenti di depan Patung Kuda. Satu tahun sejak Presiden Jokowi menjabat, demonstrasi tidak pernah bisa dilakukan di depan Istana lagi.

Foto: Blokade Kawat Berduri/Credit Irdina


Berbekal semangat, massa aksi berorasi dan melakukan aksi teatrikal di bawah cuaca ibu kota yang tidak pasti. Perwakilan dari berbagai organisasi menyampaikan orasinya yang berisi tuntutan-tuntutan mereka pada Hari Perempuan Internasional tahun ini. Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) misalnya, membawakan 16 tuntutan terkait hak-hak buruh. Kemudian Front Muda Revolusioner yang membawakan empat tuntutan: cabut Perppu Cipta Kerja, Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba), tolak Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, dan sahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).

Selain orasi, aksi ini juga diwarnai dengan persembahan teatrikal dari Konfederasi KASBI dengan tajuk “Perempuan di Lorong-Lorong Industri”. Aksi teatrikal ini membawa pesan bahwa perempuan menanggung beban ganda di dunia industri serta acapkali mengalami diskriminasi seperti kekerasan seksual.

Tuntut Keadilan untuk Perempuan di Segala Aspek

Situasi buruh yang semakin buruk mendorong Konfederasi KASBI turut turun ke jalan dalam memperingati Hari Perempuan Internasional. Hadiah awal tahun Presiden–Perppu Cipta Kerja–membuat para buruh geram akan kebijakan yang merugikan pihak buruh, termasuk buruh perempuan.

Praktek sistem kerja kontrak dan outsourcing serta biaya upah yang murah menjadikan buruh perempuan sengsara. Belum lagi buruh perempuan akan semakin mudah terkena Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) atau diputus kontrak apabila ia hamil atau melahirkan.

Salah satu buruh perempuan yang menyuarakan suaranya adalah Elsa Puspitadewi, anggota Konfederasi KASBI Garut. Ia memprotes PT Chang Shin Garut yang mempersulit cuti datang bulan bagi para buruh perempuan.

“Jadi kita harus mendapatkan surat sakit dari dokter,” keluh Elsa.

Selain itu, Elsa mengungkapkan bahwa para buruh di Garut mendapatkan tekanan dengan dilarang mengikuti aksi atau demonstrasi dengan ancaman akan dipindahkan tempat kerjanya apabila mereka ikut bersuara.

Eca Wa Ode, Sekretaris Umum dari Arus Pelangi juga ikut menyampaikan suaranya terkait KUHP baru serta beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang membuat komunitas LGBTQ+ rentan mendapat kriminalisasi. Tak hanya produk hukum, aparat penegak hukum pun dituturkan Eca kerap tak memenuhi rasa keadilan. Eca bercerita terkait pengalamannya serta transpuan lain yang laporannya tidak digubris oleh pihak kepolisian. Hal ini merupakan contoh komunitas LGBTQ+ sulit mendapatkan akses terhadap hukum.

“Bukannya diterima laporannya tapi ditanya 'kenapa bisa jadi waria? kenapa bisa punya payudara?' maksudku ini aparat negara yang seharusnya mengayomi dan menerima laporan masyarakat, justru dia mendiskriminasi teman-teman LGBT," ungkap Eca.

Eca juga menyoroti politik identitas jelang Pemilu dimana pada tahun politik ini komunitas LGBTQ+ kerap mendapatkan diskriminasi.

"Khususnya memasuki tahun politik itu akan adanya politik identitas yang akan digunakan oleh pejabat publik untuk menggiring opini (publik),” ujar Eca.

Pada aspek lingkungan Khalisa Khalid, aktivis Greenpeace Indonesia, menyoroti UU Minerba dan Perppu Cipta Kerja yang berdampak pada lingkungan dan juga perempuan yang rentan menjadi korbannya. Khalisa mengkritisi UU Minerba yang tujuannya untuk memfasilitasi investasi, sehingga dampak pada kerusakan lingkungan dikesampingkan.

Khalisa menuturkan dampak yang akan terasa pada perempuan akibat dari pencemaran lingkungan adalah terkait kesehatan reproduksi. Apabila air bersih mengalami krisis, maka kesehatan reproduksi perempuan juga terancam.

“Dari perempuan menstruasi, perempuan melahirkan, perempuan hamil, itu membutuhkan air bersih yang lebih banyak, dan ancaman pencemaran air akan berpengaruh kepada perempuan,” jelas Khalisa.

Selain itu, Khalisa pun menjelaskan dampak dari UU Minerba juga dirasakan oleh perempuan-perempuan adat yang banyak dikriminalisasi karena memperjuangkan ruang hidupnya dari ancaman industri tambang minerba. Karenanya, melalui aksi ini Khalisa mendesak agar pemerintah memenuhi hak asasi perempuan baik ekonomi, sosial, budaya, maupun hak sipil dan politik.

“Terkait hak sipil dan politik, memberikan ruang demokrasi dan partisipasi perempuan secara bermakna, dalam hal apapun. Serta mendesak mencabut UU yang justru akan meminggirkan dan memiskinkan perempuan seperti Perppu Cipta Kerja,” tutup Khalisa.

Elsa sebagai buruh perempuan pun ikut menyampaikan harapannya.

"Terkhusus perempuan-perempuan supaya tidak ada penindasan, kekerasan seksual, dan diberikan upah yang setara," harapnya.

Aksi diakhiri dengan kekecewaan massa karena tidak dapat melangsungkan aksi di depan Istana Negara. Meskipun begitu, aksi tetap berjalan dengan damai dan ditutup oleh pernyataan sikap dari aliansi.

Teks: M. Rifaldy Zelan
Kontributor: Intan Shabira
Foto: Irdina Fathiyah Rahvi
Editor: Dian Amalia Ariani

Pers Suara Mahasiswa UI 2023
Independen, Lugas, dan Berkualitas