Judul Buku: Laut Bercerita
Pengarang: Leila S. Chudori
Jumlah Halaman: 379 halaman
Penerbit: Kepustakan Populer Gramedia
Tahun Terbit: 2017
Novel Laut Bercerita adalah salah satu karya emas Leila S. Chudori. Cerita yang diangkat dalam novel ini terinspirasi dari maraknya penghilangan paksa serta kekerasan yang diterima para aktivis pada masa Orde Baru. Pada 2020 lalu, novel ini mendapat anugerah penghargaan bergengsi Sastra Asia Tenggara atau yang lebih populer dengan nama S.E.A. Write Award. Novel yang diterbitkan pertama kali pada 2017 ini telah diadaptasi menjadi sebuah film pendek yang saat ini hanya bisa dinikmati secara terbatas.
Novel Laut Bercerita membawakan kisah sekelompok aktivis mahasiswa yang bergerak menuntut perbaikan pada Indonesia yang selama ini dianggap tidak demokratis serta melupakan hak-hak rakyatnya. Sekelompok aktivis mahasiswa tersebut tergabung dalam suatu wadah pergerakan bernama “Winatra”. Pemilihan nama tersebut adalah sebuah doa tulus dari mereka agar rakyat di negeri ini mendapatkan keadilan yang merata. Nyawa Winatra sebagai sebuah gerakan progresif dihidupkan oleh Kinan, Sunu, Laut, Alex, Daniel, Naratama, Bram, dan beberapa mahasiswa lain.
Pembentukan Winatra yang didasari oleh cita-cita membawa Indonesia menjadi negeri yang lebih baik dibuktikan dengan sederet langkah para anggotanya yang kerap kali mengadakan berbagai diskusi buku-buku yang di dalamnya terdapat unsur perlawanan hingga gerakan mendampingi para petani dan buruh kota untuk memperjuangkan haknya. Pergerakan Winatra tidak dianggap sepele oleh negara. Oknum pemerintah merasa bahwa Winatra harus “ditertibkan” karena dianggap akan membahayakan pemerintahan yang berkuasa kala itu.
“Tataran” pertama yang diterima oleh sebagian anggota Winatra usai melakukan aksi di Blangguan tidak membuat mereka mundur, justru makin memasifkan pergerakan Winatra. Sejak aksi mereka di Blangguan, gerak-gerik setiap anggota Winatra menjadi objek serius yang diamati oleh intel setiap detiknya. Pada puncaknya, menjelang Presiden Soeharto lengser, semua anggota Winatra harus merasakan pil pahit penghilangan paksa yang tentunya disertai kekerasan di dalamnya. Upaya mereka bergerilya dari satu persembunyian ke persembunyian lainnya berakhir gagal. Jika pada “tataran” pertama luka mereka hanya sebatas di raga saja, pada “tataran” kali ini, psikis pun ikut terluka karena harus merasakan pedihnya pengkhianatan serta ketidakpastian hidup.
Orang tua, adik, kakak, sahabat, istri, kekasih dari mereka yang hilang, berada dalam kekhawatiran yang membuat mental sangat tertekan. Sudah jelas ini bukan perkara kekhawatiran karena si sulung belum pulang hingga dini hari sejak izin main bersama teman sore tadi. Kali ini kekhawatiran akan kabar orang terkasih mereka ditemani oleh satu mimpi buruk, yaitu ketidakpastian apakah mereka masih dapat ditemui dalam balutan denyut nadi atau sudah dalam keadaan mati? Lebih dari itu, sekalipun sudah mati, apakah jasad mereka yang hilang masih dapat ditemui atau justru hilang bak ditelan bumi?
Ketidakpastian keberadaan mereka yang hilang membuat keluarga serta kerabat terdekat hidup dalam dunia penyangkalan. Mereka bersembunyi dan hidup dalam kepompong yang berisikan kenangan. Ada ibu yang tetap menghidupkan roh sang anak dalam setiap masakannya. Kemudian, ada pula bapak yang selalu menyiapkan satu piring kosong di meja makan dengan harapan si anak akan kembali pulang dan ikut duduk makan malam bersama. Ibu, bapak, adik, kakak, istri, serta kekasih dari mereka yang mengalami penghilangan paksa setiap harinya dipaksa untuk belajar menerima kepergian dengan hati yang lapang. Jiwa-jiwa mereka sesungguhnya lelah, tetapi tetap mengupayakan tabah. Di samping ketidakpastian yang menjadi sahabat sejati, melepaskan kepergian dengan hati yang lapang juga merupakan desakan hati yang harus dipenuhi.
Laut Bercerita dengan latar belakang kisah sebuah pergerakan mahasiswa yang berujung pada penghilangan paksa tidak lantas membuat penggunaan gaya bahasa dalam novel ini menjadi kaku. Leila S. Chudori berhasil menuliskan setiap bagian cerita dengan sangat apik menggunakan gaya bahasa yang sarat akan majas di dalamnya. Penggunaan majas dalam hampir setiap kalimat seolah mengajak pembaca berimajinasi untuk menginterpretasikan majas tersebut menjadi makna sesungguhnya.
Novel Laut Bercerita memiliki sedikit kekurangan, di antaranya banyaknya potongan adegan kekerasan serta beberapa adegan sensual di dalamnya yang membuat novel ini tidak direkomendasikan untuk dibaca oleh anak di bawah umur. Selain itu, terdapat beberapa dialog dalam bahasa daerah serta istilah-istilah tertentu yang tidak disertai catatan kaki akan membuat beberapa pembaca akan bingung karena tidak memahami arti dialog atau istilah tersebut.
Terlepas dari kekurangan yang terdapat di dalamnya, novel ini membawa pesan kepada siapa pun yang sedang memiliki mimpi untuk tidak menyerah meskipun terdapat badai besar yang bertubi-tubi menghantam. Perjuangan para anggota Winatra yang tidak mudah untuk mengubah Indonesia tidak lantas membuat mereka menyerah begitu saja, justru mereka rela bertaruh nyawa demi tercapainya tujuan besar yang mereka impikan. Novel setebal 379 halaman ini memiliki pesan tersirat lainnya untuk mengikhlaskan sesuatu yang telah pergi dan mungkin tidak akan pernah kembali. Perjalanan panjang untuk mengikhlaskan sesuatu yang telah merenggut separuh kebahagiaan keluarga serta kerabat para anggota Winatra yang dihilangkan secara paksa akhirnya membuahkan kelegaan ketika mereka mampu keluar dari jagat raya penyangkalan serta kesedihan dan beranjak menerima realita yang tersaji di depan mata.
Teks: Putri Shaebrina Ariyanto (FIB UI)
Foto: ebooks.gramedia.com
Editor: Ruth Margaretha M.
Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!