The Boy Who Harnessed the Wind: Kegigihan dalam Keterbatasan

Redaksi Suara Mahasiswa · 23 Juli 2021
3 menit

Judul: The Boy Who Harnessed the Wind
Sutradara: Chiwetel Ejiofor
Produser: Andrea Calderwood, Gail Egan
Genre: Biografi, Drama, Sejarah
Tanggal rilis: 1 Maret 2019
Durasi: 113 menit
Pemain: Maxwell Simba, Chiwetel Ejiofor, Aïssa Maïga, Lily Banda

Anak sering kali dikatakan sebagai generasi penerus yang menggenggam kehidupan masa depan manusia. Oleh karena itu, pendidikan menjadi hal krusial yang seharusnya dinikmati oleh seluruh anak di dunia. Namun, keistimewaan kerap kali berkaitan dengan kesempatan dan kelangsungan pendidikan bagi seorang anak. Sumber daya yang dimiliki orangtua, keluarga, atau bahkan suatu wilayah terkadang sangat memengaruhi kesempatan bagi anak untuk mendapatkan hak pendidikannya. Permasalahan itulah yang kemudian digambarkan dalam film The Boy Who Harnessed the Wind.

The Boy Who Harnessed the Wind merupakan sebuah film yang diangkat dari kisah nyata William Kamkwamba, seorang anak jenius yang berasal dari Malawi yang berhasil membuat pompa air bertenaga angin untuk menyelamatkan keluarga dan desanya dari kekeringan dan gagal panen. Usaha Chiwetel Ejiofor dalam membuat film ini kemudian menuai berbagai penghargaan dan nominasi, seperti Black Reel Awards, British Independent Film Awards, Heartland Film, Image Awards (NAACP), International Film Festival and Forum on Human Rights, National Film Awards di Inggris, dan Sundance Film Festival.

William Kamkwamba dalam film ini digambarkan memiliki keluarga yang terdiri dari Trywell (Chiwetel Ejiofor) sebagai Ayah, Agnes (Aïssa Maïga) sebagai Ibu, Annie (Lily Banda) sebagai kakak dari William, dan William memiliki seorang adik yang masih bayi. Keluarga William digambarkan sebagai keluarga yang sederhana. Penghasilan keluarga tersebut sebagian besar bergantung pada hasil panen dari ladang pertanian yang dimilikinya, di mana Trywell merupakan petaninya dan William terkadang membantunya. Sementara itu, Agnes merupakan seorang ibu rumah tangga dan Annie membantunya di pasar untuk menjual hasil panennya.

William Kamkwamba dalam ceritanya memiliki kesulitan dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Ayah William berusaha untuk menyekolahkannya, namun ia memiliki kesulitan dalam finansial. William beberapa kali ditegur oleh gurunya perihal tunggakan bayaran sekolahnya sehingga tidak diizinkan untuk mengikuti kelas. Namun, ketertarikan William terhadap sains membuatnya berusaha untuk dapat mengikuti kelas secara diam-diam. Ia menggunakan perpustakaan untuk membaca buku yang diinginkannya. Hingga pada akhirnya, William dikeluarkan dari sekolah karena tidak sanggup membayar. Berdasarkan hal tersebut, film ini berhasil menggambarkan kekurangan dalam dunia pendidikan di daerah tersebut. Pendidikan yang tidak tersubsidi membuat anak-anak tidak mendapatkan hak pendidikannya secara gratis sehingga tidak semua anak dapat mengikuti pendidikan formal.

Kemudian, permasalahan dalam film ini tidak hanya menyoroti dunia pendidikan, tetapi juga politik dan bisnis. Dalam salah satu adegan di film tersebut, Trywell berkata, “Democracy is just like imported cassava, it rots quickly”. Hal tersebut telah menggambarkan ketidakpercayaannya terhadap pemerintah yang ada. Permasalahan politik yang ada juga digambarkan dalam adegan orasi kritik terhadap pemerintah yang dilakukan oleh kepala suku, yang kemudian dianiaya oleh aparat. Kemudian, permasalahan selanjutnya terdapat pada perusahaan tembakau swasta yang telah mencoba membeli lahan para petani untuk dapat menebang pohon-pohon tembakau. Akhirnya, hal tersebut menyebabkan banjir pada lahan sehingga petani tidak dapat bertanam dan tidak menghasilkan panen. Alhasil, krisis terjadi dan kemiskinan merajalela, penjarahan dan kekerasan pun tak terelakkan. Berbagai permasalahan berhasil dimuat dalam film ini dan mengaitkannya dengan cukup baik sehingga menjadi satu kesatuan cerita yang berkesinambungan.

Film ini memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan. Penokohan dalam film ini memiliki emosi yang cukup kuat. Kesedihan digambarkan dengan peristiwa-peristiwa yang menyayat hati sekaligus mengharukan. Kematian seseorang hingga seekor anjing menjadi salah satu faktor pendorong dari emosi yang coba dibentuknya. Tidak hanya itu, film ini juga berhasil menunjukkan bagaimana iklim politik yang tidak demokratis dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakatnya. Pertentangan antara perusahaan swasta dan petani lokal dalam alur cerita juga menggambarkan bagaimana alam dapat dirusak oleh pihak yang memiliki kekuatan lebih. Kemudian, hal tersebut berhasil menggambarkan sebab akibat dari kerusakan alam yang kemudian mempengaruhi kondisi masyarakatnya. Oleh karena itu, alur cerita dalam film ini dihiasi oleh banyaknya peristiwa yang sangat memengaruhi satu sama lain. Kompleksnya relasi kuasa dapat digambarkan dengan baik hingga dapat menghubungkannya dengan kondisi kemiskinan yang melanda Malawi pada saat itu. Walaupun alur cerita cenderung mudah untuk ditebak, film ini berhasil menggambarkan biografi dari William Kamkwamba dengan sangat baik.

The Boy Who Harnessed the Wind merupakan film yang cocok bagi semua kalangan. Bagi anak-anak, khususnya remaja, perjuangan William Kamkwamba dalam film ini dapat menjadi inspirasi. Selain itu, film ini dapat membuka wawasan mengenai bagaimana dunia bekerja sehingga dapat mengasah pemikiran agar dapat menjadi lebih kritis. Bagi orangtua atau orang dewasa, film ini dapat membuka pandangan mengenai pentingnya ilmu dan pendidikan bagi anak. Tidak hanya itu, film ini juga mencontohkan bagaimana pengorbanan orangtua terhadap anak dapat menjadi investasi ke depannya sehingga setiap pengorbanan tidak ada yang sia-sia.

Melalui film ini, penonton dapat mengambil pelajaran mengenai pentingnya ilmu dan pendidikan bagi anak, baik pendidikan secara formal maupun informal. Kegigihan William Kamkwamba juga dapat menjadi contoh yang sangat baik dalam memanfaatkan segala kesempatan yang ada, walaupun tidak memiliki keistimewaan seperti yang dimiliki orang lain. William Kamkwamba telah menunjukkan bahwa ia dapat berprestasi dengan keterbatasan yang dimilikinya. Keterbatasan tersebut tidak membatasinya dalam mencari ilmu, tetapi menjadi dorongan baginya untuk bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.

Teks: Muhammad Kuncahyo Duto Audito
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!