The East : Maskulinitas Militer dan Dilema Seorang Prajurit

Redaksi Suara Mahasiswa · 11 Februari 2022
5 menit

Judul             : The East
Sutradara      : Jim Taihuttu
Produser       : Sander Verdonk, Julius Ponten, Shanty Harmayn
Genre            : Perang, thriller
Tanggal Rilis: 10 September 2020
Durasi           : 137 Menit
Pemain          : Martijn Lakemeier, Marwan Kenzari, Jonas Smulders, Lukman Sardi, Putri Ayudya

“Hanya ada dua jenis manusia di bumi: pemburu dan mangsa. Perang memaksa orang untuk memilih, itulah kekuatannya”

Dalam perang, segalanya adalah abu-abu. Kebenaran dan kesalahan adalah dua hal yang tidak dapat Anda lihat dengan jelas. Anda menyaksikan kekejaman, pembunuhan, penganiayaan dimana-mana. Di sisi lain, Anda dihadapkan pada situasi yang pelik ketika tidak bisa menyebut itu sebagai kejahatan karena dipaksa oleh keadaan. Lalu, Anda dipaksa terbiasa hidup dengan cara-cara kekerasan. Itulah perang, selalu abu-abu, tidak pernah hitam dan putih.

Alur Cerita

The East merupakan film karya seorang DJ Belanda keturunan Maluku, Jim Taihuttu. Film ini baru meraih satu penghargaan dalam Golden Calf untuk musik terbaik beserta 4 nominasi lain. Meskipun belum mencatatkan sejumlah penghargaan, film ini sebetulnya tidak buruk. Bahkan, lebih dari layak untuk mendapatkan penghargaan.

Film ini diangkat dari peristiwa nyata yang menceritakan sosok Johan de Vries (Martijn Lakemeier) yang merupakan serdadu Belanda yang ditugaskan negaranya untuk kembali menduduki Indonesia yang baru merdeka pada waktu itu. Adegan pertama memperlihatkan sekelompok tentara Belanda di atas kapal yang dilempari cat oleh korban kekejaman Nazi. Johan kemudian mendarat di salah satu pelabuhan di Jawa lalu berkenalan dengan Mattias Cohen (Jonas Smulders) yang sama-sama merupakan serdadu Belanda.

Di pelabuhan, ia mendapatkan perintah untuk segera bergegas ke Semarang, tepatnya di Kamp Macan Liar. Di sini ia mulai berselisih dengan Eddy Coolen (Coen Bril) yang mengetahui rekam jejak keluarga Johan yang merupakan simpatisan Nazi. Bahkan, selepas perang, ayah Johan dipenjara sebagai tahanan politik karena pengkhianatannya kepada negara.

Seiring waktu berlalu, sebuah insiden mempertemukan dia dengan Raymond “Si Turki” Westerling. Seorang perwira militer yang dikenal bertangan dingin. Johan begitu terkesan dengan Westerling karena ia menganggap bahwa Westerling memiliki tujuan yang mulia untuk mengembalikan perdamaian ke Hindia, koloni Belanda yang pada waktu itu mengalami kekacauan karena semua pihak ingin berkuasa. Westerling dianggap warga lokal sebagai “Ratu Adil”, yaitu mitos yang meramalkan bahwa akan ada kedatangan seseorang dari Timur yang akan membawa perdamaian dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Di Semarang, Johan juga berkenalan dan jatuh hati dengan Gita (Putri Ayudya), pelacur yang ia temui di rumah bordil. Bahkan, Johan beberapa kali memberi Gita hadiah dan uang. Sayangnya, Johan dikhianati Gita karena ternyata ia sudah mempunyai tunangan. Johan mengetahuinya setelah ia menemukan tunangan Gita di rumahnya.

Westerling dan Johan pergi ke sebuah pesta dan bertemu perwira-perwira tinggi Belanda. Di pesta itu, Westerling diberikan mandat untuk memimpin sekelompok pasukan yang disebut Korps Speciale Troepen (KST) dan diberikan kewenangan yang tak terbatas. Setelah itu, Johan dan Mattias bergabung dengan KST dan ditugaskan bersama Westerling ke Sulawesi Selatan.

Di Sulawesi Selatan, pasukan ini menyisir ke desa-desa dan membantai warga sipil yang dituduh mengganggu keamanan. Satu per satu nama yang dipanggil ditembak di tempat dan dimakamkan secara massal. Tidak hanya itu, pasukan ini juga membakar desa-desa tersebut. Menurut catatan sejarah, sekitar 3000 warga Sulawesi dibantai dalam tragedi tersebut.

Adanya pembantaian ini mengganggu moral dari Johan. Ia gelisah dan mulai mempertanyakan kepada Westerling apakah yang dibunuh itu memang orang yang bersalah atau hanya korban salah sasaran. Namun, Westerling selalu menolak dan berdalih bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kebenaran. Pada akhirnya, di sebuah desa, Johan mencoba menghalangi penembakan seorang korban dan hal itu pula yang membuat dirinya dicap sebagai pengkhianat. Lalu, Johan diberikan kesempatan untuk kabur ke hutan dan dikejar beberapa menit kemudian.

Kelebihan dan Kekurangan Film

Film ini memiliki latar tempat yang sangat apik, seperti kondisi Indonesia pada pertengahan 1940-an yang didominasi oleh pedesaan, hutan, dan persawahan. Selain itu, orang-orang pribumi dalam film ini juga memiliki visualisasi fisik dan karakter yang akurat. Ditambah penamaan tokoh yang juga sangat pribumi sekali seperti Puan Siajang, Sulaeman Siajang, dan lain-lain yang merupakan nama khas Bugis.

Kelebihan lainnya dari film ini adalah memiliki kedetailan dan keakuratan sejarah. Menjadikan film ini cocok dengan istilah “banyak fakta, sedikit fiksi”. Di antara contoh-contohnya adalah:

1. Maskulinitas dalam Budaya Militer

Mungkin banyak dari kita sudah mengetahui, bahwa di seluruh dunia, militer selalu punya budaya maskulin yang mengakar kuat. Fakta ini coba dimasukkan juga ke dalam film-film bertema perang, begitu pun The East. Hal ini dibuktikan dengan banyak percakapan-percakapan dalam film yang menonjolkan maskulinitas seperti pemburu dan mangsa yang menganalogikan hidup adalah menang dan kalah. Konsep menang dan kalah sendiri merupakan perwujudan maskulinitas yang tertanam kuat dalam kepribadian seorang laki-laki.

2. Rasisme

Seringkali, kita mendengar bahwa dulu orang-orang Belanda menganggap rendah orang-orang pribumi dengan menyebut mereka dengan nama-nama binatang. Unsur ini juga dimasukkan ke dalam The East dan menambah realitas sejarah yang terjadi pada waktu itu. Tentu saja, hal ini tidak bertujuan buruk, tetapi lebih menekankan ke fakta sejarah yang sangat berharga sebagai pembelajaran untuk penonton.

3. Tentara Belanda Pribumi

Bagi masyarakat yang tidak terlalu mengenal sejarah, seringkali mereka menganggap kolonialisme adalah hitam versus putih atau bangsa Indonesia melawan bangsa Belanda. Padahal, banyak pula pribumi yang memihak kepada Belanda, misalkan ada yang bergabung dengan tentara Belanda. Jim Taihuttu sangat cerdas memasukkan unsur ini pada The East, dan sekali lagi, film ini sangat berhasil dalam kedetailan sejarah.

Bumbu romansa antara Johan dan Gita adalah poin plus yang menambah warna film ini. Selain itu, Marwan Kenzari sangat berhasil dalam memerankan Westerling yang misterius, kejam, dan bertangan dingin. Sebaliknya, Martijn Lakemeier juga sukses dalam memerankan Johan sebagai anak muda dengan segala keluguannya, diganggu dengan keresahan-keresahan yang mengusik hati nuraninya sebagai manusia.

Namun demikian, film ini juga meninggalkan catatan-catatan kekurangan, seperti penggunaan bahasa Indonesia oleh pribumi yang terlalu kaku dan bahasa Jawa yang diminimalisasi. Seperti dalam adegan Johan dan Mattias sedang berjalan-jalan di pasar, penjual mengatakan “Cobalah, ini akan membuatmu kuat” dan adegan ketika penduduk melaporkan adanya penyanderaan. Penulis merasa hal ini sangat kaku, latar tempat yang berada di Jawa Tengah seharusnya juga sinkron dengan bahasa Jawa sebagai kata pengantar untuk penduduk pribumi.

Kekurangan lainnya adalah plot yang selalu menjadi kekurangan film-film bertemakan sejarah, yaitu alur dan jalan cerita film sangat mudah ditebak. Di sisi lain, The East sebenarnya kaya akan konflik dan warna cerita yang menjadi kekuatan dalam film ini. Namun, Jim Taihuttu mencoba untuk menggunakan kelebihan itu untuk menutupi fakta bahwa ending film ini memang sudah diketahui oleh penonton.

Terlepas dari kekurangannya, film ini sangat layak ditonton untuk penonton yang menyukai film-film bertemakan sejarah, ditambah kedetailan visual dalam film ini yang sangat memukau. Sebagai catatan, film ini banyak adegan kekerasan dan berdarah. Oleh karena itu, tidak disarankan ditonton oleh anak yang masih di bawah umur.

Kesimpulan

The East menyajikan konflik batin yang dialami oleh Johan, ketika ia dihadapkan pada pilihan: mencegah orang-orang yang belum tentu bersalah dibunuh, atau tetap setia pada tugas yang diberikan negaranya. Tentunya, hal ini sangat menarik apabila kita mengkajinya dari perspektif psikologis. Dilema antara prinsip-prinsip moral dan kewajiban untuk membela negara seringkali bertolak belakang. Namun, pada akhirnya, kita semua akan tahu, bahwa kebenaran yang hakiki datang dari hati yang paling dalam.

Teks: Mukhlishul Amal Fasha
Foto: Istimewa
Editor: Dimas Rama S.W.

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!