The Fear Street Trilogy: Miskonsepsi pada Legenda

Redaksi Suara Mahasiswa · 30 Juli 2021
3 menit

Judul: Fear Street
Sutradara: Leigh Janiak
Genre: Horor, misteri
Tahun rilis: 2021
Pemain: Kiana Madeira, Ashley Zukerman, Gillian Jacobs, Olivia Welch, Ryan Simpkins, Ted Sutherland, dan Maya Hawke

Berdasarkan seri novel horor dewasa oleh RL Stine, Trilogi Fear Street memetakan sejarah kelam dan penuh kekerasan dari sebuah kota Shadyside, Ohio, yang dikutuk untuk menghidupkan kembali tragedi dan horor. Trilogi ini menggunakan tiga latar waktu yang berbeda. Diawali dengan bagian pertama pada 1994, bagian kedua dan ketiga justru mundur pada 1978 dan 1666. Singkatnya, trilogi ini membahas mengenai dendam penyihir yang menghantui pembunuhan di kota tersebut.

Berdampingan dengan kota Sunnyvale yang makmur dan maju, nasib Shadyside justru bertolak belakang. Shadyside bernuansa penuh kesedihan dan teriakan. Selain warganya yang harus bekerja keras dengan upah yang sedikit, kota ini juga menjadi saksi pembunuhan massal oleh penduduk yang tampaknya normal pada beberapa dekade. Legenda mengatakan bahwa Sarah Fier, seorang penyihir yang digantung di pusat kota tahun 1666, sangat haus akan darah warga Shadyside dari luar kubur, kemudian merasuki warga untuk melakukan pembunuhan.

Kisah dimulai dengan Fear Street Part One: 1994. Deena (Kiana Madeira) putus asa atas perpisahan baru-baru ini dengan pacarnya Sam (Olivia Scott Welch). Situasi tersebut diperburuk dengan dipindahkannya Sam ke Sunnyvale oleh ibunya. Setelah kecelakaan mobil menyebabkan Sam berdarah di tanah pemakaman rahasia Sarah Fier, beberapa mantan pembunuh Shadyside bangkit dari kematian untuk memburunya. Masih memiliki perasaan yang besar pada Sam, Deena bersama adik laki-lakinya yang terobsesi dengan Sarah Fier, Josh (Benjamin Flores Jr.), dan dua sahabatnya, Kate (Julia Rehwald) serta Simon (Fred Hechinger), berusaha menyelamatkan Sam.

Ini membawa mereka ke C. Berman (Gillian Jacobs), salah satu dari sedikit yang selamat dari kasus Sarah Fier yaitu Pembantaian Camp Nightwing pada 1978. Fear Street Part Two: 1978 menceritakan kisah malam pembunuhan massal yang menghantui kamp musim panas tersebut. Film ini berpusat pada Cindy (Emily Rudd) seorang instruktur, dan saudara perempuannya, Ziggy (Sadie Sink) yang berada di tahun terakhirnya sebagai seorang peserta. Ziggy adalah seorang pemberontak, selalu berselisih dengan Sunnyvalers, sementara Cindy sangat ingin menyesuaikan diri dan percaya bahwa dia dapat mengubah nasib apabila disiplin pada regulasi yang berlaku. Cindy dan teman-temannya menemukan gua yang digunakan Sarah Fier untuk berkomunikasi dengan setan, bersama dengan tangan yang tidak berwujud dan buku harian mengenai perincian legenda tersebut. Ketika salah satu instruktur mulai membinasakan orang-orang dengan kapak, Cindy dan Ziggy perlu menyatukan kembali tangan Sarah dengan seluruh tubuhnya untuk mengakhiri kutukan.

Ternyata lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, dan pekerjaan itu akhirnya jatuh ke pundak Deena enam belas tahun kemudian. Ketika dia meletakkan tangan di kuburan Sarah, pikirannya dibawa kembali ke masa lalu pada 1666. Deena masuk ke dalam tubuh Sarah Fier yang hidup pada tahun tersebut dan mempelajari kebenaran mengenai pemukiman asli nenek moyang dari penduduk Sunnyvale dan Shadyside. Akhirnya, Fear Street Part Three: 1666 menjadi jawaban Deena atas kutukan yang tak berujung.

Trilogi Fear Street adalah pencapaian luar biasa dari pembuatan film horor. Ketiga film ini jelas memperlihatkan perkembangan karakter dari para pemain yang masih remaja. Leigh Janiak, sang sutradara, berhasil mendeskripsikan emosi rasional khas remaja saat menghadapi masalah. Mereka pintar, tetapi tidak berpengetahuan di mana itu menjadi pendorong kekacauan lainnya. Mereka dikalahkan berkali-kali, bahkan terluka parah, yang menunjukkan rasionalitas dan humanisme. Film ini juga mengadopsi ciri khas film horor lawas di mana mayoritas adegan berfokus ke teror pembunuh kepada sang protagonis. Hal ini akan membuat para penonton tidak merasa terlalu ketakutan karena jumpscare yang mudah ditebak. Kekhawatiran penonton justru berfokus pada nasib para pemainnya, bukan pada sosok menyeramkan di film tersebut.

Penggambaran akan kutukan yang mengambang pada awal trilogi mampu memikat perhatian untuk melanjutkan film kedua secepatnya. Ketika memasuki gerbang tahun 1666, kegelapan lebih terasa nyata. Akan tetapi, bagian ketiga ini harus dibopong oleh film pertama dan kedua. Jika para penonton telah melihat film pertama dan kedua, bukan menjadi masalah ketika menonton film ketiga. Hal ini disebabkan bagian ketiga memiliki pengisahan yang lemah karena tidak ada perkembangan konflik. Karakter pun tidak dapat membawa penonton merasakan emosi. Meski begitu, Janiak mampu menghadirkan garis akhir dari trilogi Fear Street dengan timeline yang rapi dan ritme yang kuat.

Fear Street adalah bentuk modernisasi seri horor yang diadaptasi dari novel lawas. Mungkin awalnya terasa sangat membingungkan dengan pecahan teka-teki yang menggiring opini pribadi mengenai akhir dari cerita tersebut. Meski tidak menghadirkan nuansa horor yang sedang tenar khas James Wan dengan jumpscare secara tetiba, Fear Street sangat mengesankan dalam menutupi kekurangannya. Plot yang tersusun apik serta pemilihan pemain yang tepat dapat menutupi aura horor yang tidak terlalu mencekam. Jarang ada sekuel yang melampaui pendahulunya, dan terlebih lagi untuk bagian ketiga yang menyatukan semuanya. Bahkan, dengan kekurangannya, Fear Street adalah horor yang patut untuk diacungi jempol.

Teks: Karina Putri P.
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!