The Lady: Perjalanan Politik Aung San Suu-Kyi

Redaksi Suara Mahasiswa · 11 Juni 2021
4 menit

Judul: The Lady
Sutradara: Luc Besson
Produser: Virginie Besson-Silla, Andy Harries, Jean Todt
Genre: Historical Drama, Political Drama, Roman
Tanggal rilis: 5 April 2012
Durasi: 145 menit
Pemain: Michelle Yeoh, David Thewlis, Jonathan Woodhouse, Jonathan Raggett, Susan
Woolridge, Benedict Wong, dll.

When her father was killed, he became a great martyr. We can’t risk her becoming one too.

Meraih demokrasi bukanlah hal yang mudah dilakukan di Burma. Potongan dialog dalam film The Lady di atas menunjukkan kehati-hatian pihak militer atau Tatmadaw dalam mengambil langkah untuk memutus perjuangan demokrasi yang sudah setengah jalan dilakukan oleh Aung San Suu Kyi (Michelle Yeoh), putri jenderal Aung San agar tidak menimbulkan pergolakan politik yang lebih besar. Terinspirasi dari perjalanan hidup Aung San Suu Kyi, film The Lady yang disutradarai oleh Luc Besson menggambarkan perjalanan panjangnya untuk meraih demokrasi dan pemilu yang bebas di Myanmar.

Film ini dibuka dengan latar Burma akhir 1940-an dan Suu Kyi yang masih berusia 2 tahun duduk di taman bersama ayahnya. Alur film berlanjut pada pembunuhan Jenderal Aung San yang dilakukan pihak oposisi. Sejarah Burma tak bisa dilepaskan dari peran ayah Aung San Suu Kyi, Jenderal Aung San yang menjadi salah satu tokoh kemerdekaan dan pro demokrasi Burma. Ia juga mendirikan Tentara Nasional Burma dengan bantuan Jepang pada awal 1940-an. Namun, ia dan rekan-rekan politiknya dibunuh oleh pihak oposisi pada 1947, setahun sebelum kemerdekaan Myanmar.

Alur film kemudian berlanjut pada Aung San Suu Kyi dewasa yang melanjutkan pendidikan di Oxford kemudian menikah dengan Akademisi Inggris, Michael Aris (David Thewlis) dan memiliki dua putra. Perjalanannya dimulai saat Aung San Suu Kyi diminta kembali ke Burma ketika ibunya yang sudah lanjut usia sakit parah pada 1988 bertepatan dengan protes besar-besaran kepada pemerintahan Tatmadaw.

Tatmadaw di bawah Jenderal Ne Win menggulingkan pemerintah sipil melalui kudeta pertama kali pada 1962. Empat belas tahun setelah Burma merdeka dari pemerintahan kolonial Inggris, Ia memerintah dalam bentuk rezim otoriter terpusat yang menggabungkan unsur-unsur sosialisme dan nasionalisme. Kudeta tersebut dilatarbelakangi dari kekhawatiran bahwa pemerintah sipil gagal untuk menindak keras gerakan etnis minoritas dan sayap bersenjata. Rezim Ne Win melarang semua partai oposisi dan melakukan nasionalisasi industri serta bisnis utama negara tersebut. Ia juga memperkenalkan "Jalan Burma Menuju Sosialisme", sebuah ideologi yang nyaris mengisolasi Myanmar secara total dari komunitas internasional.

Tatmadaw juga bertindak keras dan menggunakan kekerasan terhadap pihak oposisi yang dianggap mengancam kekuasaannya. Sistem ekonomi sosialis dan terindikasi adanya bisnis militer yang dijalankan oleh pemerintahan Tatmadaw membuat perekonomian Myanmar memburuk dan angka kemiskinan serta pengangguran meningkat. Tak hanya itu, pemerintah melakukan demonetisasi (penghapusan mata uang yang sah) pada 1987. Jenderal Ne Win memutuskan untuk pensiun dari pucuk kepemimpinan pada Juli 1988, digantikan oleh Jenderal Sein Lwin. Sein Lwin dipandang sebagai tokoh yang selama ini kontra dan brutal terhadap gerakan pro demokrasi memicu demonstrasi besar-besaran di Myanmar pada 8 Agustus 1988 yang dikenal sebagai The Uprising of 8888.

Film The Lady dapat menggambarkan rakyat yang sudah muak dengan korupsi, arogansi Tatmadaw, dan kegagalan ekonomi. Mahasiswa sebagai perwakilan rakyat pun turun ke jalan untuk menuntut pemerintah Tatmadaw agar mundur dari jabatan. Mereka menyoroti kekacauan tata kelola ekonomi oleh Tatmadaw. Para mahasiswa juga menuntut adanya reformasi demokrasi. Menurut Robert Dahl, terdapat lima hal yang dapat digunakan untuk menjelaskan proses politik yang demokratis yaitu adanya partisipasi politik, persamaan dalam hak suara, pemahaman politik yang jelas, adanya pengawasan dan keterlibatan partisipan politik. Dalam hal ini, demokrasi dapat mencegah tumbuhnya pemerintahan otoriter seperti yang dilakukan oleh pemerintah Tatmadaw.

Suara tembakan senjata api, gas air mata dan suara ricuh menjadi latar mencekam mampu dihadirkan saat mahasiswa mendapat represi dari aparat. Pada saat itu, Suu Kyi yang digambarkan berada di rumah sakit melihat realita sikap otoriter pemerintahan Tatmadaw. Demonstrasi mahasiswa, ditekan dengan keras oleh polisi anti huru-hara. The Uprising of 8888 untuk menjatuhkan Sein Lwin yang mana ratusan orang ditembak oleh tentara pada 8-11 Agustus di Rangoon, Sagaing, dan kota-kota lain. Majalah Time melaporkan, diperkirakan 3.000 sampai 10.000 ribu korban tewas, meskipun pihak berwenang hanya mengklaim 350 orang meninggal.

Dalam momen pemberontakan 8888 ini, Aung San Suu Kyi muncul sebagai aktivis pro demokrasi yang mencuri perhatian. Alur film berlangsung dengan cepat dan masuk pada keputusan Suu Kyi untuk terlibat secara politik di negara tersebut. Sosoknya yang merupakan anak pahlawan nasional dan berpendidikan barat, menarik perhatian. Berbekal nama besar sang ayah, yang dipandang sebagai pahlawan nasional bagi masyarakat Burma, Suu Kyi memiliki legitimasi simbolik untuk mengambil alih kepemimpinan oposisi yang tidak stabil. Ia mulai membentuk barisan dan meminta agar pemerintahan Tatmadaw Burma untuk segera menggelar sebuah pemilihan umum untuk mempercepat proses reformasi pemerintahan di negara itu. Ia kemudian mendirikan partai National League of Democracy (NLD) pada 1988.

Yeoh berhasil menampilkan karakter Suu Kyi yang kuat dan anggun. Yeoh juga mampu dalam berpindah antara bahasa Inggris dan Burma. Peran suami, Michael Aris (David Thewlis) juga digambarkan cukup sentral dalam film ini. Ia gigih mengkampanyekan nasib Suu Kyi dan Myanmar di forum-forum internasional. Perjuangannya digambarkan dengan sentimentil dengan pulang pergi London-Rangoon, melobi Komite Nobel agar memberikan penghargaan kepada Suu Kyi yang secara tidak langsung melindungi Suu Kyi secara politik, dan mengurus dua anak laki-laki mereka. Thewlis, memberikan chemistry yang kuat dan menguatkan karakter suami yang mengimbangi kekuatan yang dimunculkan oleh karakter Suu Kyi.

Kritik yang umumnya dilayangkan kepada film-film biografi politik adalah seringnya konten biografis tokoh menutupi konteks sosial politik yang lebih luas dan kompleks. Hal ini juga dapat menjadi kritikan bagi film The Lady karena pergolakan politik dalam negara kurang digambarkan dan seolah-olah hanya berfokus pada Tatmadaw menghalangi pertemuan Suu Kyi dengan Michael Aris.

Suu Kyi dijadikan tahanan rumah hingga tahun 2010 saat militer sudah mulai turun dari takhta kekuasaan. The Lady cukup berhasil menggambarkan perjalanan politik Aung San Suu Kyi. Ketika Suu Kyi memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada 1991, ia membuka mata dunia untuk sadar akan perjuangan politik yang terjadi di Burma. Film ditutup dengan termasuk pembebasan Suu Kyi dari penangkapan, pembubaran junta yang berkuasa, dan keberhasilan partainya dalam memenangkan 40 dari 45 kursi parlemen pada 2012.

Teks: Faizah Diena Hanifa
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!