Logo Suma

The Good Place: Apa yang Harus Dilakukan untuk Menjadi Baik?

Redaksi Suara Mahasiswa · 22 Januari 2021
4 menit

By Nada Salsabila

Judul: The Good Place
Genre: Drama/Komedi
Pencipta: Michael Schur
Pemeran: Kristen Bell, William Jackson Harper, Jameela Jamil, D'Arcy Carden, Manny Jacinto, Ted Danson
Tahun rilis: 2016–2020
Jumlah episode: 53

Sepanjang sejarah, manusia telah berkali-kali mencoba menafsirkan apa yang akan terjadi setelah mereka mati. Mulai dari kitab suci hingga film-film fiksi, seluruhnya menjadi pengejawantahan dari upaya manusia untuk mengetahui apa yang berada di luar kuasanya. Sama seperti serial televisi The Good Place yang mengangkat premis simpel: di mana kita setelah kita mati?

Serial yang tayang di NBC tersebut keluar pada tahun 2016 dan memiliki empat musim. Menggambarkan realitas—atau kehidupan—setelah kematian yang jauh dari prediksi manusia, The Good Place menghadirkan pengalaman menonton yang menggelitik. Alkisah, dalam serial arahan Michael Schur ini, digambarkan manusia akan menuju dua tempat setelah mereka mati; Good Place (tempat yang baik, penuh dengan kesenangan, apresiasi, serta kebahagiaan) serta Bad Place (tempat yang buruk, berisi kebencian, siksaan, hingga hinaan. Tersebutlah Eleanor Shellstrop (Kristen Bell), seorang karyawan terbaik di perusahaan penjual obat palsu (yang semasa hidupnya merupakan orang yang sangat buruk), tiba-tiba terbangun di Good Place setelah kematiannya yang mengenaskan. Kontan ia bingung tak kepalang, karena tampaknya terjadi kesalahan pada sistem penghitungan kebaikan milik Good Place, sehingga ia dapat menjadi penduduk di tempat serupa surga tersebut.

Guna menutupi hal tersebut, ia berusaha berperilaku baik agar dapat pantas tinggal di Good Place. Namun, pada kenyataannya ia tetap tidak bisa menutupi jati dirinya yang kerap berkata kotor (yang selalu diplesetkan menjadi rancu, karena di Good Place tidak boleh ada perkataan kotor), menipu, dan membenci orang lain. Di Good Place, Eleanor hidup berdampingan dengan tetangga-tetangganya: Chidi Anagonye (William Jackson Harper) seorang profesor filsafat moral dan etika—yang sepanjang hidupnya selalu menyusahkan orang lain karena tidak mampu membuat keputusan, Tahani al-Jamil (Jameela Jamil) seorang filantropis berlogat Inggris—yang hidupnya dipenuhi rasa iri dan keinginan untuk selalu menjadi pusat perhatian, dan Jason Mendoza (Manny Jacinto) seorang pengangguran polos—yang bodoh, di mana kebodohannya mendorongnya untuk melakukan serangkaian tindak kriminal. Mereka semua tidak seharusnya berada di Good Place, tapi hanya Eleanor dan Jason yang menyadari kesalahan tersebut.

Michael (Ted Danson), seorang “arsitek” yang seharusnya memenuhi kebutuhan mereka, ternyata adalah karyawan Bad Place, alias iblis. Bersama dengan Janet (D'Arcy Carden), seorang—tidak, sebuah sistem kecerdasan mahatahu—ia bertujuan menciptakan neraka bagi empat orang ini. Konsepnya mirip dengan neraka dalam drama No Exit karya Jean-Paul Sartre; Hell is the other people. Keberadaan mereka berempat saling menyiksa, karena sifat, keinginan, dan dorongan yang saling berlawanan.

Chidi, yang dikatakan sebagai belahan jiwanya, pun mengetahui kebenaran di balik hadirnya Eleanor di Good Place. Pada akhirnya, Chidi setuju membantu Eleanor untuk menjadi orang yang lebih baik, dengan cara mengajarkan filsafat moral dan etika padanya. Di sinilah titik berangkat The Good Place menjadi sebuah serial yang menarik: ia menggunakan filsafat moral dan etika sebagai basis pembangunan cerita.

Serial ini melihat kebaikan, yang merupakan modal untuk menjadi bagian dari Good Place, dengan paradigma deontologi ala Immanuel Kant sebagai paradigma kebaikan yang utama. Maksudnya, kebaikan menjadi kebaikan hanya bila memenuhi prasyarat kebaikan, seperti tidak memiliki intensi untuk dipandang baik, tidak menggunakan cara yang salah, tidak merugikan siapapun, dan sebagainya. Permasalahannya, bagaimana menjadi baik di dunia yang sudah terlalu kompleks ini? Sedikit bocoran, pada musim ketiga, diketahui bahwa sebenarnya tidak ada manusia modern yang terkualifikasi ke dalam golongan orang-orang baik, karena seluruh tindakan mereka, bahkan sebatas membeli tomat di pedagang, memiliki implikasi panjang—di serial ini, dijelaskan bahwa bila seseorang membeli tomat, secara tidak langsung ia mendukung perbudakan terhadap pekerja migran! Suatu efek yang tidak disangka-sangka, bagian dari konsekuensi moral di dunia yang terlalu rumit.

The Good Place menghadirkan konsep akhirat dengan sangat menarik. Akhirat menjadi suatu tempat yang absurd, terlepas dari penggambaran akhirat dalam keyakinan manapun. Kebaikan dan keburukan dihitung melalui sistem yang mekanis nan matematis. Sekecil apa pun tindakan manusia tidak akan luput dari sistem tersebut, meski sebatas buang angin di tempat umum. Malaikat dan iblis diperlihatkan sebagai pegawai akhirat, bukan makhluk selestial tak bercela, yang bekerja di kantor layaknya pekerja korporat.

Konsep-konsep filosofis dari moral dan etika digambarkan dengan menyenangkan dan—secara mengejutkan—sangat ringan. Sungguh menyegarkan melihat bagaimana Michael Schur membuat adegan di mana Chidi yang sebelumnya memuja hukum imperatif-kategoris Kant, berubah menjadi seorang nihilis layaknya Nietzsche yang kesiangan—yang sejujurnya, bukan merupakan pengandaian yang tepat atas nihilisme; dengan tindakan bodo amat, pakaian sembrono, dan kata-kata menyakitkan. Ia memulai kelas dengan memasak marshmallow dengan saus cabai serta menutupnya dengan kalimat, “The world is empty! There is no point of anything, and you’re just gonna die. So, do whatever!

Pembangunan cerita terasa santai, tapi memiliki alur yang pasti. Tema yang terlihat serius bisa dikemas ke dalam punchline yang memancing tawa. Terutama, apabila pemirsa adalah orang yang sedikit-banyak tahu mengenai filsafat moral dan etika. Serial ini dapat membumikan pemikiran para tokoh etika yang terlihat membosankan dan rumit bagi masyarakat awam. Pun begitu, pada musim kedua dan ketiga, terdapat sedikit penurunan tensi dari beberapa episode. Pembangunan cerita terasa sedikit membosankan. Namun, hal tersebut tidak menutupi fakta bahwa serial ini tetaplah serial yang dibuat secara rapi; mulai dari alur dan konflik hingga perkembangan karakter.

The Good Place adalah tontonan yang menyegarkan. Siapa pun dapat mengikuti serialnya, baik bagi pemirsa yang paham maupun belum memahami filsafat moral dan etika. Pun dengan pertanyaan mendasarnya—“Bagaimana cara untuk menjadi orang baik?”—dapat menuntun pemirsa pada perenungan panjang. Apakah kita menjadi baik dengan mengubah tujuan hidup? Apakah dengan menilik konsekuensi pada setiap tindakan? Mungkinkah dengan melakukan segala hal sesuai dengan aturan yang ada? Atau, lebih baik jadi seorang nihilis saja? Semua berada dalam otoritas Anda, untuk menjadi baik melalui cara atau tindakan apa. Pemirsa dapat menonton serial ini secara legal di Netflix—tentunya, jangan sampai menontonnya secara ilegal karena dapat membuat anda terdampar di Bad Place!

Teks: Nada Salsabila
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!