Tinjauan Kritis di Balik Patung Buddha yang Artsy: Seni atau Apropriasi?

Redaksi Suara Mahasiswa · 23 Agustus 2021
6 menit

Topik yang akan saya angkat dalam tulisan ini adalah pengalaman estetik dalam persoalan agama, budaya, dan seni. Agama dan budaya, dua hal yang sangat krusial yang bisa mengendalikan pola pikir suatu negara. Sore itu ketika saya sedang membuka aplikasi Tiktok, saya cukup tertegun dengan konten yang berisi penggiringan opini bahwa membeli patung Buddha adalah bentuk dari penghinaan agama, juga sajadah yang dijual pada sebuah online marketplace bernama “Karpet Fringe Trim Greek” menuai banyak kecaman yang dipadankan dengan apropriasi budaya.

Terlintas banyak pertanyaan dalam benak saya, seperti:
Apakah benar ini adalah seni?;
Apakah ini hanyalah soal kapitalisme yang mengiming-imingi bahwa ini seni padahal tujuannya untuk menarik keuntungan semata?; dan
Ataukah ini salah sudut pandang orang yang mempersoalkan bahwa ini adalah penghinaan mencerminkan pola pikirnya seperti zaman Dark Ages?

Dewasa ini, industri modern berskala besar dengan produksi masif mulai melirik potensi patung Buddha. Bentuk yang terkesan unik, antik, dan memiliki rupa menarik kini diminati oleh para pencinta/kolektor patung sampai orang awam. Hal tersebut dapat menjadi peluang bagi pengrajin patung untuk berlomba-lomba dalam skala besar pada era revolusi industri saat ini, seperti membuat inovasi patung Buddha dalam bentuk dan warna yang beragam untuk dijadikan sebagai dekorasi rumah yang artsy. Hal serupa juga terjadi pada sajadah yang dibuat dengan nama “Karpet Fringe Trim Greek Feet” yang muncul dari produsen Tiongkok, yaitu Shein. Fenomena ini cukup menarik perhatian bagi pemerhati budaya dan agama hingga  kalangan awam. Mereka mempersoalkan bahwa patung dan sajadah di sini dianggap sebagai penghinaan agama dan juga apropriasi budaya, serta sama sekali tidak ada unsur seninya. Jika demikian, apakah benar ini merupakan apropriasi budaya juga penghinaan agama? Bukankan dua hal ini termasuk ke dalam himpunan seni?

Apa itu Apropriasi Budaya?

Pertama, saya akan membahas tentang apropriasi budaya terlebih dahulu. Menurut Cambridge Language Dictionary, apropriasi budaya secara luas didefinisikan sebagai "tindakan memperoleh atau menggunakan sesuatu dari budaya yang bukan miliknya, terutama tindakan gagal menunjukkan bahwa (pelaku) memahami atau menghargai budaya itu. Hal-hal dalam hal ini termasuk tetapi tidak terbatas pada pakaian, gaya rambut, adat istiadat, bahan, ideologi dan gaya musik".

Apropriasi budaya adalah istilah umum untuk eksploitasi budaya. Eksploitasi budaya, terutama jika korbannya adalah minoritas budaya, adalah tidak bermoral. Dalam situasi yang sama, anggota budaya etnis minoritas akan dihukum karena mengekspresikan identitas mereka, sementara anggota budaya arus utama tidak, dan bahkan dapat menggunakan pernyataan palsu mereka. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan dinamis antara kekuasaan dan identitas budaya.

Namun, beberapa orang percaya bahwa apropriasi budaya diperlukan untuk mengembangkan budaya dalam skala global. Kata "mencuri" dan "meminjam" menjadi fokus pembahasan, yang memberikan kesempatan (mengemukakan hipotesis) dan sebenarnya membahas asimilasi budaya. Dari perspektif global, istilah atau nama mungkin bukan hal yang paling penting ketika membahas pentingnya komunikasi budaya.

Lantas, Apakah Benar Ini Adalah Bagian dari Seni?

Fenomena yang terjadi pada patung Buddha dan karpet yang serupa dengan sajadah dari kacamata Postmodern juga bisa disebut dengan Kitsch. Istilah Kitsch berasal dari bahasa Jerman, Verkitschen (murah) dan Kitschen, yang secara harfiah berarti "memungut sampah dari jalan". Dalam The Concise Oxford Dictionary of Literary Term diartikan sebagai “segala jenis seni palsu (pseudo-art) yang murahan dan tanpa selera” sering ditafsirkan sebagai sampah artistik atau selera rendahan (bad taste).

Kenyataan saat ini sejalan dengan teori di atas, bahwa patung Buddha menjadi tren di kalangan masyarakat. Para pengrajin besar biasanya mengadopsi bentuk patung yang unik dan membuat salinan digital (soft copy), lalu memahatnya menjadi sebuah mahakarya patung. Sesuai dengan definisi Kitsch tersebut, Kitsch menyiratkan miskinnya orisinalitas, autentisitas, kreativitas, dan kriteria estetik Kitsch. Selain itu, warna yang digunakan pun sangat beragam. Dari bentuknya pun terlihat sangat presisi.

Dijelaskan bahwa Kitsch sangat bergantung pada keberadaan gaya dalam seni bernilai tinggi. Kitsch juga dikenal sebagai bentuk pernyataan palsu. Produksi Kitsch lebih didasarkan pada semangat replikasi, adaptasi, dan simulasi. Membuat produksi Kitsch sejalan dengan semangat pemasaran seni elegan, dan membawa seni elegan menara gading kepada publik melalui produksi massal. Kitsch mengadaptasi satu media ke media lain atau satu jenis seni ke jenis lainnya. Hal inilah yang terjadi pada patung Buddha dan karpet yang serupa sajadah. Pengadopsian bentuk patung Buddha dilakukan ke metode pemahatan membuat patung Buddha yang merupakan seni bernilai tinggi berubah menjadi seni yang murahan. Adopsi ini tidak didasarkan pada kreativitas, tetapi murni untuk mengejar nilai ekonomi. Oleh karena itu pula, saya bisa simpulkan Kitsch sebagai satu bentuk penyimpangan dari medium yang sebenarnya. Fenomena ini semakin menjelaskan bahwa Kitsch merupakan kebalikan dari seni bernilai tinggi, mengutamakan nilai kebaruan, inovasi dan kreativitas.

Nilai-nilai budaya dan tradisi menjadi salah satu hal yang sangat disayangkan terkena dampak revolusi industri 4.0 saat ini. Di era ini, batas antara tradisi dan teknologi hampir tidak terlihat. Ciri khas yang membuat patung Buddha memiliki nilai estetis terlihat pada bentuk yang unik dan warna yang beragam. Perpaduan antara sistem pengetahuan dan teknologi yang digunakan membawa kehidupan manusia pada jenjang evolusi seperti apa yang terjadi hingga saat ini. Hal itulah yang membuat patung Buddha dan karpet yang berbentuk sajadah mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam dunia mode. Patung Buddha yang mulanya hanya ada di dalam wihara yang dikerjakan dengan telaten, memahat dengan hati-hati, kini menjadi patung dekorasi rumah yang artsy, bahkan sudah terkenal hingga ke mancanegara. Jika dilihat melalui sudut pandang kreativitas saat ini dalam bidang seni, semua dituntut menggunakan kemajuan teknologi. Perkembangan teknologi yang begitu masif membawa efisiensi dalam memudahkan manusia saat bekerja sehingga dapat menghemat tenaga dan waktu, termasuk produksi patung Buddha. Hal tersebut tentu juga akan memberikan konsekuensi pada nilai orisinalitas suatu karya seni tradisional. Tidak dapat dimungkiri bahwa pengaruh era Postmodern memberikan dampak yg cukup signifikan bagi orisinalitas dan nilai autentik pada patung Buddha, selain dampak positif mengenai efisiensi pengerjaan. Nilai autentik dan orisinalitas patung Buddha pada masa lampau memang sangat tinggi, tetapi karena pengaruh era Postmodern nilai tersebut sedikit bergeser dan dapat dikatakan sebagai Kitsch. Mengacu pada produksi massal patung Buddha berdasarkan istilah Kitsch, maka dapat disimpulkan bahwa karya patung Buddha era Postmodern memang dapat dikualifikasikan sebagai Kitsch dengan pertimbangan bahwa karya tersebut miskin orisinalitas dan kreativitas sehingga karya seni yang awalnya bernilai tinggi menjadi rendah karena kehilangan esensi dan karakteristik.

Apakah Ini Hanyalah Soal Kapitalisme yang Mengiming-imingi Bahwa Ini Bagian dari Seni Padahal Tujuan Sebenarnya Adalah untuk Menarik Keuntungan Semata, Ataukah Ini Salah Sudut Pandang Orang yang Mempersoalkan Bahwa Ini Adalah Penghinaan Mencerminkan Pola Pikirnya seperti Zaman Dark Ages?

Persoalan ini bukanlah sepenuhnya salah kapitalisme karena apa pun yang dipandang menghasilkan uang pasti diangkat oleh kapitalisme. Akan tetapi, persoalan ini lebih dikarenakan si “penjual” tidak tahu psikologi customer di daerah tertentu. Niatnya adalah membuat laku dagangannya dengan menjual suatu unsur agama di dalam produknya, tetapi malah menjadi bumerang karena pelanggan menganggap ini adalah penghinaan sebab karpet yang mirip dengan sajadah ini diinjak-injak, juga patung Buddha yang “disakralkan” malah dibuat pajangan rumah yang dinilai artsy. Ini adalah contoh pengalaman estetis yang mengangkat topik idiom Pastiche tetapi menjadi jatuh ke Kitsch.

Pastiche sendiri memiliki arti karya sastra yang disusun dari unsur-unsur yang dipinjam dari penulis-penulis lain atau penulis-penulis masa lalu. Lebih mudahnya Pastiche dapat diartikan sebagai pemujaan terhadap masa lalu. Konotasi Pastiche sendiri cenderung negatif, yakni miskin kreativitas, autentisitas, dan orisinalitas. Ia tergantung pada sesuatu yang telah ada dan tidak menciptakan hal baru. Pastiche mengimitasi sesuatu tanpa terikat pada “semangat” materi tersebut. Sementara itu, Kitsch sendiri artinya seni rendahan yang terkesan mahal—cara berpikir tertentu yang dimanfaatkan kapitalisme. Seperti halnya Pastiche, Kitsch juga merupakan bentuk imitasi dan reproduksi. Kitsch juga tergantung pada “seni tinggi”, objek sehari-hari, mitos, agama, tokoh, dan sebagainya. Cara-cara Kitsch sendiri yakni pengalihan, peminjaman, imitasi bahan, transformasi dan idolisasi, juga objektivikasi mitos. Kitsch dan Pastiche mengungkapkan diri dengan cara yang berbeda. Kitsch bergaya-gaya dari sesuatu yang sebenarnya “sampah”, sedangkan Pastiche mengangkat sesuatu dalam rangka “memuja”.

Pernyataan “menghina agama” tidak termasuk Kitsch ataupun Pastiche. Dalam hal patung Buddha dan sajadah dengan pertimbangan di luar konteks agama, menurut saya ini bukan merupakan suatu penghinaan terhadap suatu agama. Seni patung Buddha dan karpet sajadah yang diperjualbelikan oleh kapitalisme sesungguhnya adalah seni. Niatnya adalah seni beridiom Pastiche yang sayangnya masuk kedalam Kitsch.

Penggunaan kepala Buddha dalam lingkungan estetika adalah contohnya. Sang Buddha bukan untuk tujuan dekoratif. Memotong kepala Buddha adalah tindakan kekerasan, bahkan jika kita hanya memperlakukannya sebagai patung. Buddha adalah sosok suci umat Buddha. Patung Buddha adalah untuk pemujaan, bimbingan dan inspirasi, dan tidak boleh digunakan sebagai gantungan kunci atau hiasan meja yang dianggap artistik

Kasus ini memang agak tricky, mungkin saja “penjual” menganggap patung Buddha ataupun sajadah yang dipergunakan sebagai karpet itu hanya berupa simbol suatu agama semata, tetapi untuk beberapa orang menganggap ada nilai sakral di situ. Bukan masalah pola pikir pelanggan yang berkonotasi seperti zaman Dark Ages, melainkan lebih kepada sudut pandang bahwa every country has their own cultural and spiritual background dan kita tidak bisa begitu saja menghilangkan itu untuk mendominasi kemajuan dalam industri sekarang ini.

Catatan: Tulisan ini adalah hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan sikap Pers Suara Mahasiswa UI 2021.

Referensi

Piliang, Yasraf Amir. (2010). Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.

Richards, Greg, Julie Wilson. (2007). Tourism, Creativity, and Development. London: Routledge

Suryajaya, M. (2016). Sejarah Estetika. Jakarta: Indie Book Corner.

The Finery Report. (2020). Apa arti apropriasi budaya?. The Finery Report. Diakses melalui https://www.thefineryreport.com/articles/2020/9/30/apa-arti-apropriasi-budaya

Teks: Bunga Dewi Maharani (FIB UI)
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!