Tolak 9 Februari, AJI Desak Ganti Tanggal Hari Pers Nasional

Redaksi Suara Mahasiswa · 16 Februari 2025
2 menit

Sehari setelah dirayakannya Hari Pers Nasional pada 9 Februari, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyelenggarakan diskusi publik yang bertajuk “Hari Pers Nasional: Kepentingan dan Sejarah yang Dipertanyakan”. Tema ini lahir dari diskursus mengenai kesahihan Hari Pers Nasional sebagai hari untuk merayakan kebebasan pers tanah air.

Pasalnya, kelahiran Hari Pers Nasional bertepatan dengan didirikannya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), salah satu organisasi wartawan yang diberi izin untuk berdiri oleh pemerintah Orde Lama. Penetapan tersebut diputuskan melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985.

AJI setidaknya telah puluhan kali menyampaikan kritik dan menggelar diskusi terkait ketidakcocokan perayaan Hari Pers Nasional dengan nilai-nilai pers. Bahkan, AJI juga sudah pernah mengajukan usulan kepada Dewan Pers mengenai penghapusan Hari Pers Nasional dan menggantinya dengan Hari Kemerdekaan Pers Nasional dengan mengadopsi tanggal yang berbeda.

Pada diskusi tahun ini, AJI Jakarta mengundang beberapa pembicara dari berbagai organisasi pers, yaitu Ninik Rahayu (Ketua Dewan Pers), Nany Afrida (Ketua AJI Jakarta), Ignatius Haryanto Djoewanto (Dosen Universitas Multimedia Nusantara), dan Abdul Manan (Mantan Ketua Umum AJI Indonesia).  

AJI memiliki beberapa alasan kuat untuk secara aktif menyuarakan sikap kontra terhadap perayaan Hari Pers Nasional. Salah satu alasan utamanya adalah keterkaitan erat antara Hari Pers Nasional dan PWI. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tanggal peringatan Hari Pers Nasional diambil dari hari berdirinya PWI, yang hingga kini masih menjadi penyelenggara utama perayaan tersebut.

“Keputusan untuk menyebutkan PWI sebagai satu-satunya organisasi kewartawanan juga dalam rangka untuk mengontrol pers,” beber Ignatius, “jadi, bagaimanapun juga, saya kira, penentuan tentang Hari Pers Nasional ini tidak bisa dilepaskan dari keputusan di zaman Orde Baru.“

Meskipun sejak tahun 1999 PWI bukan lagi satu-satunya organisasi pers di Indonesia, kedekatannya dengan rezim Orde Baru menimbulkan keraguan terhadap komitmennya dalam menjunjung etika jurnalistik.

Tak hanya itu, AJI juga beranggapan bahwa perayaan Hari Pers Nasional selalu melibatkan pejabat-pejabat negara untuk hadir. “Mungkin ini perspektif dari orang AJI yang punya konsep sendiri tentang bagaimana relasi pers dan penguasa itu, kan, harusnya dalam hubungan yang kritis, bukan dalam hubungan yang teman tapi mesra, apalagi mesra,” ungkap Abdul Manan.

Kedekatan pers dengan pemerintah tersebut dapat menyiratkan bahwa pers mulai melepas keberpihakannya kepada rakyat. Hari Pers Nasional dinilai tidak substantif karena dianggap hanya bersifat seremonial dan merupakan ajang kongkow pejabat dengan wartawan. Kemesraan antara pers dengan pemerintah dalam perayaan Hari Pers Nasional dinilai berseberangan dengan fungsi pers yang seharusnya aktif mengkritik pemerintah dan menjadi oposisi secara politis.

“Peran pers (sebagai) penjembatan kepentingan publik dan tata kelola negara, sebagai fungsi pendidikan, fungsi kontrol sosial,” tegas Ninik Rahayu.

Selain itu, Hari Pers Nasional juga dinilai tidak inklusif sebab memberikan kesan bahwa organisasi pers selain PWI tidak dilibatkan dalam perayaannya. “Kan AJI jelas sikapnya, ya. Dari zaman dahulu sampai sekarang sikap kita jelas. Kita menolak HPN (Hari Pers Nasional). HPN kita anggap terlalu tidak inklusif. Kenapa gak inklusif, karena organisasi yang lain kesannya di luar itu,” ujar Nany.

Dalam tekadnya untuk menghapus Hari Pers Nasional dan menggantinya ke tanggal yang lebih inklusif, pada tahun 2017, AJI bersama IJTI sudah pernah berkirim surat dengan Dewan Pers agar mempertimbangkan usulan mereka mengenai penghapusan Hari Pers Nasional.

Pada 2018, Dewan Pers menyelenggarakan pertemuan dengan AJI untuk membahas usulan tersebut. Namun, isi pertemuan tersebut seakan terlupakan dan tidak pernah dibahas lagi. Pertemuan selanjutnya diselenggarakan tahun 2024. Namun, hasil yang didapatkan tetap tidak berbeda.

Di antara berbagai tanggal yang diajukan AJI sebagai pengganti adalah tanggal disahkannya Undang-Undang Pers pasca reformasi pada tahun 1999. AJI juga sempat mempertimbangkan tanggal didirikannya Medan Priyayi oleh Tirto Adisurya sebagai bapak jurnalisme Indonesia.

Hingga saat ini AJI berkomitmen untuk terus bersikap kontra terhadap tanggal yang ditetapkan selama ini. “Untuk AJI sendiri, sampai kapan pun akan menolak perayaan Hari Pers Nasional (9 Februari),” ujar Nany Afrida.

Teks: Naswa Dwidayanti Khairunnisa, Cut Khaira Khalila

Editor: Dela Srilestari

Pers Suara Mahasiswa UI 2025

Independen, Lugas, dan Berkualitas!