Tolak Statuta UI: Aksi Tanpa Keputusan yang Pasti

Redaksi Suara Mahasiswa · 12 Oktober 2021
6 menit

Barisan jaket kuning melakukan long march dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UI menuju Gedung Rektorat siang itu sembari diiringi seruan-seruan tolakan terhadap Statuta UI (12/10). Dalam genggaman tangan mereka, dibentangkan poster-poster yang menyuarakan kekecewaan mereka terhadap Rektorat UI dan keputusan penggantian Statuta UI. Di tengah teriknya panas matahari Depok, mereka bergerak di bawah komando Zeni Tri perwakilan dari BEM FISIP selaku koordinator aksi.

Setelah sempat melalui negosiasi alot untuk memasuki Rotunda UI, mereka akhirnya bisa memasuki kawasan Rotunda sekitar pukul 10.00 WIB. Di tempat inilah setiap perwakilan fakultas bergantian menyuarakan orasi-orasi yang membakar semangat massa aksi.

Terdapat dua tuntutan utama dalam aksi kali ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hendry Joveto, juru bicara aksi. Gerakan Peduli UI yang terdiri atas mahasiswa, guru besar, dosen, dan tenaga kependidikan Universitas Indonesia dengan tegas menyatakan sikap, yaitu 1) menuntut pemerintah untuk mencabut PP 75/21 Statuta UI yang mendasari revisi statuta UI; 2) meminta keterlibatan empat organ (Majelis Wali Amanat, Rektor, Senat Akademik, dan Dewan Guru Besar) dan partisipasi aktif seluruh sivitas akademika Universitas Indonesia dalam proses revisi Statuta Universitas Indonesia. Hal ini karena selama ini pihak tersebut, terutama unsur mahasiswa, sama sekali tidak dilibatkan dalam rapat-rapat sebelumnya.

Para orator dari setiap perwakilan fakultas membawakan narasi yang berbeda-beda, tetapi tetap dengan tuntutan yang sama yaitu menolak revisi statuta UI yang baru. Dalam salah satu orasi yang dibawakan oleh Madeline Evadne, Wakil Ketua BEM FISIP UI, ia menyatakan bahwa tuntutan yang hari ini dibawakan merupakan bentuk kepedulian dari para mahasiswa dan seluruh warga kampus Universitas Indonesia. “Semangat kita semua sama dengan seluruh guru besar, dosen dan semua yang peduli terhadap Universitas Indonesia. Sudah lama BEM FISIP UI dan teman-teman BEM UI mengawal isu pendidikan tinggi, lalu kini sudah saatnya kita semua bergerak bersama untuk tujuan yang lebih besar lagi!” seru Madeline dalam orasinya.

Ke Mana Ari Kuncoro?
Meskipun aksi orasi berjalan dengan semarak dan lancar, tetapi hal tersebut tidak membuahkan hasil yang jelas bagi tuntutan yang dibawakan. Dengan kata lain, pihak Rektorat masih belum membuka suara untuk memenuhi tuntutan massa perihal penolakan revisi statuta UI. Hal ini memberikan kekecewaan yang cukup besar bagi para mahasiswa yang telah turun menyuarakan tuntutan-tuntutan tersebut, setelah sebelumnya mereka juga dikecewakan perihal absennya Ari Kuncoro selaku Rektor UI dan sasaran utama dari aksi hari ini.

Padahal, surat izin penyelenggaran aksi sudah disampaikan sejak dua minggu sebelum aksi berlangsung—mahasiswa berharap rektor dapat menyediakan waktu untuk hadir dalam aksi tersebut.

Sangat disayangkan, aksi yang menuntut audiensi dengan Rektor dan pihak rektorat ini malah ‘dihiasi’ oleh absennya Rektor UI sendiri, Ari Kuncoro. Ketidakhadiran Rektor di kampus makara hari ini menimbulkan kegeraman bagi massa aksi.

"Kita ditinggalkan Bapak kita sendiri! Rektor kita sendiri!" seru orator dari balik mobil komando.

Zufar, salah satu peserta aksi, juga menyampaikan kekecewaannya. “Kita nunggu lama-lama untuk menyuarakan aspirasi—rektornya sendiri (malah -red) gak bisa dateng,” ujar Zufar, salah satu peserta aksi. Tawaran audiensi bersama Wakil Rektor pun ditolak oleh perwakilan BEM masing-masing fakultas oleh karena mangkirnya rektor. Menurut mereka, kehadiran rektor seharusnya menjadi kunci untuk keputusan perubahan Statuta.

Kilas Balik: Poin-poin Bermasalah dalam Statuta UI
Perjalanan panjang tuntutan untuk menolak statuta terbaru UI nyatanya tidak secepat dan seinstan perubahan Statuta itu sendiri. Statuta tersebut disahkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2021 pada 2 Juli yang lalu dan tersebar di publik pada 19 Juli.

Akhir Juni lalu, Universitas Indonesia kembali menghebohkan publik dengan status rektor Ari Kuncoro yang merangkap jabatan dengan menduduki posisi di salah satu perusahaan BUMN sebagai Wakil Komisaris Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI). Isu tersebut mencuat ke hadapan publik setelah sebelumnya polemik pemanggilan BEM UI terkait poster kritik terhadap Jokowi yang  bertajuk “The King of Lip Service” meramaikan jagat dunia maya.

Status kedudukannya dalam dua instansi tersebut menuai kritikan masyarakat luas. Pasalnya,  Ari Kuncoro, telah melanggar salah satu pasal dalam Statuta Universitas Indonesia yang berlaku saat itu dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 Tahun 2013, mengenai larangan Rektor UI untuk merangkap jabatan, termasuk di perusahaan pemerintah.

Menanggapi pelanggaran tersebut, langkah mengejutkan justru diambil oleh pemerintah dengan mengesahkan revisi Statuta UI melalui PP No. 75 Tahun 2021. Revisi tersebut memuat pasal kontroversial yang terkesan melegitimasi pelanggaran yang dilakukan sebelumnya. Salah satu pasal yang menjadi sorotan ini adalah perubahan pada pasal 35 c dalam PP Nomor 68 Tahun 2013. Perubahan pada pasal tersebut seolah memberi perlindungan bagi rektor untuk merangkap pada jabatan lain di luar tingkatan direksi.

Jika dilihat dari segi formil atau proses penyusunannya, revisi Statuta UI memiliki kecacatan. Kecacatan formil revisi Statuta UI ini dapat dilihat dari konten PP 75/2021 yang sangat berbeda dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai naskah yang disepakati bersama oleh 4 organ UI yaitu Majelis Wali Amanat (MWA) UI, Dewan Guru Besar UI, Rektor, dan Senat Akademik dalam rapat terakhir yang diadakan pada 26 Juni 2020.

Sejak rapat terakhir tersebut, perumusan revisi Statuta UI tidak lagi melibatkan Dewan Guru Besar dan Senat Akademik sebagai pihak yang merumuskan naskah awal revisi Statuta UI. Terlebih lagi, mahasiswa sebagai salah satu elemen terdampak juga tidak dilibatkan dalam tim terbaru revisi Statuta UI.

Selain karena proses revisi yang cacat, pendapat kontra didasarkan pada isi dari statuta terbaru yang terkesan mengebiri sistem check and balance dalam universitas sendiri dan membuat rektor mendominasi dalam berbagai pengambilan keputusan.

Hal tersebut tercermin pada pasal-pasal baru yang menghapus sejumlah kewenangan Dewan Guru Besar (DGB) dan Senat Akademis (SA) UI dalam berbagai kepentingan. Seperti, menghapus kewenangan DGB untuk memberi masukan kepada rektor terkait Rencana Strategis (Renstra) di bagian Akademik (sebelumnya terdapat dalam PP No. 68 pasal 41 ayat (1) j), menghilangkan kewenangan SA dan DGB dalam memilih Rektor baru, dan menghapus kewajiban rektor untuk melaporkan laporan tahunan kepada SA dan DGB yang mana hal ini dapat membuat SA dan DGB tidak mengetahui capaian dan apa saja yang sudah dijalankan rektor sehingga menimbulkan tidak adanya check and balance.

Putusan tersebut mengundang reaksi penolakan dari berbagai pihak, mulai dari pihak akademisi, seperti dosen guru besar, hingga para mahasiswa yang pada akhirnya turut bersuara dengan menggelar aksi Tolak Statuta.

Prof. Reni Suwarso, selaku Guru Besar FISIP UI, menyatakan ada beberapa pasal yang problematis dalam Statuta terbaru UI. “Saya mewakili dosen, guru besar, mahasiswa, dan alumni menolak statuta UI karena itu tidak benar, tidak jujur, tidak transparan, prosesnya penuh tipu muslihat, semuanya gelap. [...] Pembuatannya tidak menjunjung tinggi dengan visi-misi veritas, probitas, iustitia,”

Merujuk pada penuturan Prof. Reni, Statuta UI mengurangi kuota beasiswa kepada mahasiswa tidak mampu. Selain itu, peraturan ini menjadikan Dekan sebagai aksesoris semata dengan mereduksi kewenangannya dalam membuat peraturan dan mengambil keputusan. Tak hanya itu, dalam Statuta terbaru ini, Rektor menjadi pihak yang diberikan kekuasaan secara berlebih

“Padahal rektor adalah jabatan akademik, rektor itu hanya eksekutif hanya manajemen, dari sebuah institusi lembaga keilmuan,” ucapnya.

Adanya peraturan ini, menurut Prof. Reni, juga dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Hal ini tercermin dalam kewenangan yang terlalu besar yang diberikan oleh MWA kepada Rektor, salah satunya dengan memberikan izin pada partai politik untuk masuk sebagai anggota MWA. Pada saat yang sama, MWA diberikan kewenangan yang sama besarnya untuk membuat peraturan.

Aksi Mahasiswa Tolak Statuta Terbaru UI Berakhir Tanpa Putusan yang Jelas
Aksi mahasiswa menolak statuta UI tetap berlanjut tanpa kehadiran rektor dan tanpa keputusan yang pasti dari pihak rektorat. Meskipun begitu, para peserta aksi masih tetap menggantungkan harapannya pada pihak rektorat. Selain itu, tidak banyak yang diharapkan dari aksi hari ini sebagaimana salah satu tuntutan utama aksi, yaitu mencabut kembali PP No 75 tahun 2021 melalui audiensi bersama pihak rektorat.

“Statuta baru dicabut dan kembali diganti yang lama, perwakilan mahasiswa diterima seenggaknya, setidaknya dihormati oleh rektor. Kita mengharapkan sosok bapak yang sangat dibutuhkan oleh kawan-kawan semua,” tegas Zufar.

“Rektorat bisa memberi keterbukaan informasi bagi teman-teman mahasiswa, biar kita sama-sama tahu kondisi masing-masingnya gimana,” sambung Nurul, salah satu peserta aksi.

Ratqa Athallah, mahasiswa FISIP UI, turut menyampaikan harapannya. Ia mengikuti aksi ini dengan harapan agar pihak Rektorat memberikan putusan terbaiknya, yaitu membatalkan revisi Statuta UI terbaru. Selain itu, menurutnya, solidaritas para mahasiswa dari tiap-tiap fakultas dalam menyatukan suara dalam aksi ini merupakan sesuatu yang patut diapresiasi. “Gue salut banget sama semua elemen masyarakat dan mahasiswa Universitas Indonesia, serta dukungan-dukungan dari tiap-tiap fakultas, gue sangat mengapresiasi hal tersebut,” ujar Ratqa.

Sekitar pukul 12.00, aksi akhirnya ditutup dengan rilis sikap BEM UI bersama dengan seluruh BEM fakultas. Mereka bersama-sama sepakat menyerukan akan kembali menggelar aksi jika tuntutan tetap tidak didengarkan dan revisi Statuta UI tetap tidak dicabut. Aksi ini diakhiri dengan long march kembali ke titik kumpul awal, yaitu FISIP UI.

Perjuangan mahasiswa tidak akan berhenti hanya sampai di sini, sebagaimana yang dikatakan oleh Leon Alvinda, ketua BEM UI, selaku representasi semangat mahasiswa. “Aksi ini adalah aksi pertama sampai akhirnya Statuta dicabut. Kita akan terus melakukan aksi baik di gedung rektorat maupun di gedung kementrian-kementrian lain. [...] Tidak ada kompromi lagi, harus dicabut, harus melibatkan empat organ,” pungkas Leon.


Teks: Kamilla Meilina
Kontributor: Arnetta Nandy
Foto: Kevan Naufal
Editor: Syifa Nadia Rahmawati

Pers Suara Mahasiswa UI
Independen, Lugas, dan Berkualitas!