Trauma sebagai Salah Satu Akar Rantai Kekerasan Seksual

Redaksi Suara Mahasiswa · 19 Oktober 2021
4 menit

Pernahkah Anda melihat berita atau artikel mengenai kekerasan seksual? Apa yang terlintas di benak Anda ketika melihat kasus kekerasan seksual mulai banyak terkuak di berbagai media? Apakah Anda merasa khawatir dengan kasus-kasus ini? Terlebih, banyak orang tidak bersalah yang menjadi korban atas tindakan tidak bermoral pelaku kekerasan seksual. Lantas, pernahkah terlintas di pikiran Anda, apa yang menyebabkan seseorang menjadi pelaku kekerasan seksual?

Kasus kekerasan seksual mungkin familiar di telinga Anda. Hampir setiap hari selalu ada berita mengenai kekerasan seksual yang terus bermunculan. Mulai dari percobaan perkosaan di kampus atau di rumah, pelecehan dan perkosaan terhadap anak-anak, eksploitasi seksual, hingga prostitusi paksa. Korban dan pelaku dari kasus kekerasan seksual ini pun sangat beragam, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Bahkan menurut catatan Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual tiap tahunnya terus meningkat.

Berdasarkan catatan kekerasan seksual yang diterbitkan oleh Komnas Perempuan pada tanggal 5 Maret 2021, disebutkan bahwa terdapat 299.911 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sepanjang 2020. Angka tersebut terlihat menurun dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar 431.471 kasus sepanjang 2019. Penurunan angka ini terjadi karena kendala informasi akibat pandemi yang menyebabkan seluruh aktivitas pelaporan diubah menjadi daring, sehingga masih menyesuaikan keadaan. Hal ini sejalan dengan yang diwartakan oleh Tempo pada tanggal 5 Maret 2021, Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menyampaikan, “Penurunan tajam data kasus yang dapat dicatatkan pada Catatan Tahunan (Catahu) 2020 ini lebih merefleksikan kapasitas pendokumentasian daripada kondisi nyata kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi yang cenderung meningkat.”

Meskipun angka ini terlihat menurun dari tahun sebelumnya, tapi nyatanya kasus kekerasan seksual cenderung meningkat. Terlihat dari banyaknya berita yang terus bermunculan mengenai kasus-kasus kekerasan seksual. Hal ini cukup meresahkan, ditambah dengan masih banyaknya kasus yang tidak tercatat dan mungkin pelakunya masih berkeliaran di luar sana. Melihat hal ini, pernahkah Anda berpikir apa yang menjadi penyebab seseorang bisa melakukan tindakan tidak bermoral seperti ini?

Menurut Seni Septiani, seorang psikolog klinis dari Klinik Bidakara, dalam diri manusia sebenarnya ada kecenderungan melakukan tindakan kekerasan. Namun, kekerasan seperti apa yang akan dilakukan tidak muncul secara tiba-tiba. Dalam banyak kasus, akar tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh seseorang adalah trauma masa lalu. Trauma ini bisa timbul dengan dua kemungkinan, orang tersebut tumbuh di lingkungan keluarga yang sering melakukan tindakan kekerasan seksual atau orang tersebut pernah mendapatkan kekerasan seksual. Keduanya dapat menimbulkan pengalaman psikologis yang menumbuhkan perasaan tidak percaya diri dan mengurangi kemampuan seseorang dalam mempertimbangkan suatu hal yang dapat dilakukan atau tidak.

Keluarga merupakan fondasi pertama untuk tumbuh kembang seorang anak. Apabila seorang anak tumbuh di tengah lingkungan keluarga yang sering melakukan tindakan kekerasan seksual, hal tersebut akan terekam oleh anak. Contoh kasus, seorang anak melihat orang tuanya bertengkar dan terdapat tindak kekerasan seksual di dalamnya. Jika hal itu terus terjadi, lama-kelamaan anak akan berpikir bahwa tindakan tersebut boleh dilakukan. Ditambah jika tidak ada seorang pun yang memberitahunya bahwa tindakan tersebut salah. Akibatnya, apabila suatu hari nanti dia memiliki keluarga dan ada suatu hal yang memicu traumanya, dia dapat melakukan kekerasan seksual kepada pasangan atau anaknya.

Sementara itu, kekerasan seksual yang pernah didapatkan semasa kecil dapat menjadi pelampiasan emosi di kemudian hari. “Trauma (PTSD) akan kejadian masa lalu yang menimpa pelaku dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat akan membuat pengalaman tersebut terus membekas dan memicu untuk diluapkan ke orang lain, ditambah jika kontrol emosinya juga tidak bagus dalam menghadapi orang yang bertentangan,” tutur seorang konselor sebaya dari Klinik Satelit UI yang tidak ingin disebutkan namanya. Mengenai hal ini, Seni menambahkan, pada akhirnya, trauma dapat membuat seseorang lebih agresif menghadapi masalah dan memiliki ambang stres yang rendah. Oleh karena itu, jika dia tertekan dan mendapatkan hal-hal yang memicu traumanya, dia secara impulsif akan mencari pelampiasan untuk menenangkan dirinya, salah satunya melalui kekerasan seksual karena hal itulah yang pernah terjadi pada dirinya.

Memiliki trauma ditambah dengan keterampilan sosial yang buruk juga dapat memicu seseorang menjadi pelaku kekerasan seksual. Keterampilan sosial dapat dilihat dari bagaimana cara dia berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Apabila seseorang terbiasa berinteraksi secara langsung, dia akan mudah membaca tingkah laku, emosi, intonasi, dan ekspresi lawan bicaranya. Hal inilah yang menambah ketajaman untuk memahami orang lain. Jika pemahaman terhadap orang lain tidak dilatih, ini akan menimbulkan kesalahpahaman yang mungkin dapat memancing emosi, kemarahan, kekesalan, dan akhirnya menjadi pemicu untuk melakukan tindakan kekerasan seksual sebagai pelampiasan emosi.

Selain itu, lingkungan sosial yang buruk juga dapat memperparah keadaan ini. Hal-hal seperti pornografi, alkohol, narkotika, pergaulan bebas, dan lainnya dapat memicu seseorang melakukan tindakan seksual secara memaksa. Seni menyampaikan salah satu contoh kasus, jika seseorang senang menonton pornografi, lalu dia terangsang dan ditambah dengan mengonsumsi alkohol yang membuat kesadarannya melemah. Dia menjadi lebih berani dalam melampiaskan hasrat seksual. Apabila hasratnya tidak terpenuhi, dia tidak segan untuk melakukan pemaksaan dan kekerasan untuk memenuhinya.

Dengan demikian, pada dasarnya setiap orang memiliki kemampuan melakukan tindakan kekerasan. Tindakan tersebut dapat muncul karena adanya pengalaman, trauma, dan sebab yang memicunya. Umumnya, sebelum melakukan kekerasan seksual, seseorang cenderung memiliki pengalaman kekerasan seksual yang menyakitinya secara psikologis. “Ini seperti lingkaran setan karena pelaku adalah korban dulu sebelumnya,” tutur Seni. Trauma berat dan tidak diikuti dengan penyembuhan akan seperti bom waktu yang dapat meledak di kemudian hari dan akan terus berulang apabila ada pemicunya.

Tentunya, hal tersebut bukanlah satu-satunya penyebab seseorang menjadi pelaku kekerasan seksual. Masalah lainnya, yang melanggengkan budaya kekerasan seksual, adalah konstruksi sosial yang patriarkis dan dikriminatif terhadap perempuan. Budaya-budaya dimana perempuan diharuskan tunduk pada hukum laki-laki membuat masyarakat cenderung menyalahkan korban, dibanding menyalahkan pelaku. Dalam hal ini, diperlukan sebuah regulasi hukum positif yang mengatur sanksi tegas pada pelaku—juga pemulihan dan pemenuhan hak koban kekerasan seksual—yaitu RUU PKS. Di luar itu, dibutuhkan kesadaran dari semua pihak untuk bersama-sama memerangi kejahatan seksual yang dapat menimpa siapapun.

Artikel ini merupakan artikel hasil seleksi anggota baru Suara Mahasiswa UI angkatan 31.

Teks: Hawa Muharmaeka
Foto: Anggara Alvin I.
Editor: Nada Salsabila

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!


Sumber Acuan

Komnas Perempuan. (2021). Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19. Catahu 2021: Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020. Diakses dari https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1466.1614933645.pdf

Riana, F. (2021). Komnas Perempuan: Ada 299.911 Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Sepanjang 2020, Diakses dari https://nasional.tempo.co/read/1504635/komnas-perempuan-puji-langkah-maju-pembahasan-ruu-pks