Tuntutan Magang Dini: Akibat Tekanan Kanan-Kiri?

Redaksi Suara Mahasiswa · 20 Maret 2023
4 menit

HANTU dari berbagai zaman, nyatanya tidak pernah hadir dalam satu wajah. Dulu, orang harus melihat sosok tak menapak tanah bergentayangan untuk melihat hantu. Orang Eropa zaman paruh pertama abad ke-19 harus bisik-bisik menyebut “komunisme” sebagai hantu. Sekarang, transformasi digital menghasilkan hantu berwajah lain: halaman LinkedIn minim prestasi, sudah lebih dari cukup membuat kaum muda Gen-Z ketakutan setengah mati.

Kalau hantu-hantu dulu minggat dengan hanya disabet kelor, hantu ini tidak mempan. Pusaka khusus, yang untuk memakainya harus menguras keringat dan air mata buat mengenyahkan hantu ini, bernama magang, atau kerennya part time job. Tak cuma satu, kalau perlu dua, tiga, empat, lima…. dan bisa terus ditambah sampai yang menjalani klenger.

Adalah pandemi Covid-19 yang memungkinkan seseorang menguras tenaga dalam untuk mengerjakan empat sampai lima pekerjaan berbeda sekaligus; sesuatu yang butuh bantuan dua sampai tiga jin anak buah Bandung Bondowoso untuk melakukannya di masa prapandemi. Fleksibilitas waktu yang diciptakan oleh sistem Work From Home dan kegiatan belajar mengajar daring sejak awal pandemi menciptakan peluang bagi siapa saja untuk berakrobat mengerjakan ragam tugas atau multitasking.

Dengan sistem ini, mobilitas fisik boleh saja dibatasi, tetapi tak ada halangan untuk orang muda melenting dengan enaknya: melakukan berbagai pekerjaan dalam waktu bersamaan. Satu pekerjaan tak cukup. Bagaikan formulir, kerja bisa dirangkap. Fenomena ini menciptakan rantai produktivitas toksik karena semua orang berlomba-lomba untuk menjadi yang paling produktif. Lama-lama, balapan untuk jadi “si paling produktif” menggulirkan gaya hidup baru yang dari namanya sudah menjurus budaya: hustle culture.

Jumpalitan: Sudah Biasa

Di balik realitas ini, ada satu hal menyedihkan. Hustle culture bukan lagi sesuatu yang asing di kehidupan kita, apalagi sejak pandemi mulai berkecamuk. Istilah ini mengacu pada pola yang menormalisasikan perilaku gila kerja dengan waktu istirahat tak sebanding karena kecenderungan kompetitif telah memaksa semua orang untuk melek dua puluh lima jam sehari, bila perlu dengan kelopak mata disangga tusuk gigi selusin. Tidak jarang kultur ini disebut sebagai toksik karena mengglorifikasi etos kerja yang tidak sehat dengan mengorbankan kesehatan, jasmani maupun rohani.

Dalam konteks kehidupan mahasiswa, istilah hustle culture berpaut erat dengan aktivitas mahasiswa yang jumpalitan mengikuti banyak program kerja (proker) organisasi, masuk kelas seperti biasa, tetapi juga mengikuti kerja magang sepulang kuliah. Mengapa ini bisa terjadi?

Sejak 2020, seluruh aktivitas perkuliahan praktis dilakukan tatap layar melalui berbagai platform seperti Zoom Meeting, Google Classroom, Microsoft Teams, atau yang lainnya. Hal ini memungkinkan mahasiswa melakukan beberapa kegiatan secara bersamaan atau multitasking, karena mobilitas mereka hanya sejauh satu tab browser ke tab browser lain; dari satu windows ke windows lain. Nikmat kelihatannya, letih juga menjalaninya.

Fleksibilitas waktu dan jadwal perkuliahan ini menciptakan peluang bagi mahasiswa yang ingin memperoleh ilmu maupun pengalaman di luar kelas formal. Kesempatan ini dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengisi Curriculum Vitae agar sanggup merayu sang program ATS buat melamar kerja. Sebagian memilih aktif dalam organisasi internal maupun eksternal kampus dan sebagian lainnya memilih untuk merasakan dunia kerja profesional (magang).

Anzel, FTUI 2020, mahasiswi Departemen Teknik Elektro Universitas Indonesia, salah satunya. Di tahun ketiga kuliahnya kini, ia telah memiliki senarai pengalaman yang menghiasi laman profesional LinkedIn miliknya. Dari organisasi hingga magang, semua telah ia rasakan.

Kepada Suara Mahasiswa, Anzel mengungkapkan bahwa ia mengikuti berbagai magang sejak tahun pertamanya berkuliah di fakultas berlogo makara biru tua itu. Tiga tahun terakhir, ia telah menjalani lima kali magang, dengan lima posisi di lima kantor yang berbeda.

“Aku dulu mulai [magang] dari semester satu. Awalnya dari tw-tw [tukar wawasan--red], terus ternyata salah satu kakak tingkat aku [adalah] founder start-up. Dia tau aku suka nulis terus ngajak aku jadi copywriter,” tukasnya.

Alasan Anzel melakukan magang sejak semester muda, ia akui karena ingin merasakan bagaimana rasanya memasuki lingkungan kerja profesional. Sebagai mahasiswa, ia terus terang mengakui bahwa ia memiliki privilese mencoba segala hal tanpa batasan. Alih-alih didorong rasa fear of missing out (FOMO), Anzel digerakkan karena rasa keingintahuan yang tinggi.

“Aku ikut magang karena emang pengen nyobain kerja profesional aja, sih. Dan kita sebagai mahasiswa punya privilege untuk nyari passion kita di mana. Ikut beberapa magang dan organisasi membuat aku tau passion aku ada di mana,” kisah Anzel di siang terik itu.

Tidak hanya itu, Anzel juga berkisah bahwa pada tahun pertamanya, ia aktif bergiat di lima organisasi lintas tingkat, mulai dari jurusan, fakultas, maupun universitas, semuanya dalam waktu bersamaan. Semua itu ia lakukan sebagai usaha meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di atas 3,50.

Anzel menjadi bukti hidup bahwa hustle culture tidak hanya dapat muncul dari tekanan lingkungan sejawat, akan tetapi dapat juga tercipta karena rasa cinta ingin belajar banyak hal. Sistem Work From Home dan perkuliahan daring, meski tampak melelahkan, nyatanya dapat memberinya kesempatan untuk berkembang dan mencoba berbagai pengalaman.

Coba-coba dari Semester Muda

Selain Anzel, seorang mahasiswa semester dua Fakultas Kesehatan Masyarakat bernama Budi (bukan nama sebenarnya) mengaku juga memiliki beberapa alasan yang sama seperti Anzel. Ia berpengalaman melaksanakan magang secara luring dengan memanfaatkan waktu luang pada libur semester.

“Dulu pernah ditawari magang sama dosen, kebetulan beliau dosen tamu yang sekaligus menjabat sebagai atasan di tempatku magang. Gak lama sih, cuma satu bulan kurang”  tuturnya. Budi menyangkal jika alasannya magang di semester awal hanyalah kompetisi dengan teman seangkatan. Ternyata jauh lebih dari itu.

Budi mengklaim alasannya mengikuti magang semata-mata karena ingin mengasah soft skill dan hard skill dengan mengetahui gambaran tugas-tugas di dunia kerja secara langsung.

Meski demikian, ia menuturkan bahwa ia sempat memiliki kekhawatiran saat menjalani magang. Latar belakangnya yang masih berkuliah di semester awal, membuatnya khawatir mengenai keilmuannya yang masih terbilang kurang dan ketakutan akan hasil kerja yang kurang maksimal.

Kasus Budi adalah gambaran serupa dari kisah Anzel. Hustle culture tidak serta-merta muncul dari dalam diri sendiri, tetapi juga lingkungan dan sejawat. Dua mata pisau, tekanan itu bisa jadi tonikum gratis yang menyemangatkan, bisa juga menjadi belati yang menusuk. Sebagian mahasiswa merasa dituntut untuk berlari di antara sekumpulan atlet maraton seperti Budi, sedang sebagian lainnya merasa termotivasi daripada mengikuti seminar self development gadungan seperti Anzel.

Coba-coba tak pernah salah. Cara kita membawa diri akan selalu menentukan, akan jadi seperti apa diri kita: mengikuti arus, melawannya, atau malah menepi sama sekali? Seperti semua buah di Taman Firdaus, tidak ada pilihan yang paling benar atau paling keliru. Hanya pilihan yang tak didasari kesadaran kuat akan tanggung jawab, biasanya itu yang paling manis, tapi mematikan.

Teks : Autri Charlotte dan Choirrunisa
Editor : Chris Wibisana
Ilustrator : Kejora Sava

Pers Suara Mahasiswa UI 2023
Independen, Lugas, Berkualitas!