Hutan rimbun, pepohonan rindang, udara segar, jalan luas, lingkungan asri. Mungkin inilah bayangan mahasiswa UI saat memasuki wilayah UI setelah menghabiskan waktu menaiki kereta, mobil, atau berjalan dari indekos masing-masing. Tak heran, banyak orang rela datang ke UI baik pada pagi, siang, sore, atau malam hari hanya untuk sekadar berjalan-jalan. Mereka ingin menikmati udara segar dari pepohonan rindang yang dapat dirasakan ketika menyusuri kampus hijau ini. UI seakan menjadi antitesa dari kotornya udara di jalan-jalan Jabodetabek dan hiruk-pikuk manusia di stasiun kereta tempat para mahasiswa menunggu moda transportasi. Namun, apakah benar bahwa udara di UI sebersih yang dibayangkan?
Kualitas Udara di UI dan Sekitarnya
Yang indah di mata belum tentu indah pada kenyataannya. Mungkin inilah kiasan yang paling tepat untuk menggambarkan kualitas udara di lingkungan UI. Meski udara di lingkungan UI terlihat jernih dan biru, kualitasnya ternyata sama atau lebih buruk dari udara di wilayah tetangganya, yaitu Jabodetabek yang terkenal dengan kabut asap tebal dan polusi kendaraan bermotor.
Kualitas udara bukanlah sesuatu yang bisa diukur oleh mata telanjang. Alat seperti sensor udara diperlukan agar dapat menentukan kualitas udara dengan akurat. Salah satu sumber data yang menggunakan sensor udara untuk mengukur kualitas udara di wilayah UI dan sekitarnya adalah Nafas, sebuah startup di bidang lingkungan.
Nafas mengukur kualitas udara dengan sensor udara yang tersebar di 180 lokasi berbeda di wilayah Jabodetabek. Indeks kualitas udara yang diukur oleh alat sensor udara Nafas didasarkan pada jumlah particulate matter (PM) 2.5 yang terdapat di dalam udara. Indeks kualitas udara yang digunakan oleh Nafas dibuat dengan menghitung massa PM2.5 mikrogram (μg) di dalam satu meter kubik (m³) udara. Indeks udara ini dibagi dibagi menjadi menjadi enam kategori, yakni baik (0-12 μg/m³), moderat (12.1-35.4 μg/m³), tidak sehat untuk kelompok sensitif (35.5-55.4 μg/m³), tidak sehat (55.5-150.4 μg/m³), sangat tidak sehat (150.5-250.4 μg/m³), dan beracun (>250.4 μg/m³).
Sebelum kita mengamati kualitas udara, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai PM2.5. Particulate matter 2.5, atau biasa disingkat sebagai PM2.5, merupakan sebuah partikel berukuran mikroskopik yang terdapat di udara, angin, tanah, dan bahkan air. PM2.5 umumnya berasal dari polutan buatan manusia seperti kendaraan bermotor, pabrik, alat masak, pembakaran, dan tungku asap, atau polutan alami seperti debu, jelaga, spora, dan serbuk bunga. Ukuran dari PM2.5 sangat kecil, bahkan 36× lebih kecil dari sebutir pasir. Akibatnya, partikel PM2.5 tidak dapat disaring oleh paru-paru manusia dan bisa menempel di aliran darah manusia. Partikel ini dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan bagi manusia, mulai dari kelahiran prematur, sesak darah, hingga penyumbatan seluruh tubuh. Berbagai kelainan dan sindrom, seperti ADHD, alzheimer, parkinson, eksim, dan kelahiran prematur juga berpotensi terjadi akibat PM2.5.
Ukuran partikel PM2.5 dibandingkan dengan pasir pantai dan rambut manusia. (U.S. Environmental Protection Agency/Domain Publik)
Data dari Nafas mulai dari bulan Januari hingga April 2024 menunjukkan bahwa kondisi udara Depok berada pada kategori moderat dari bulan Januari hingga Maret dan naik menjadi tidak sehat untuk kelompok sensitif pada bulan April. Wilayah Depok menempati urutan wilayah dengan kondisi udara terburuk ke-3 dari bulan Januari hingga Februari dan ke-2 dari bulan Maret hingga April.
Secara spesifik, kualitas udara di Kecamatan Beji sebagai kecamatan tempat UI dan sebagian beasr kos mahasiswa masih lebih baik dibandingkan dengan kualitas udara Depok. Pada bulan Januari, Beji menempati kecamatan dengan kualitas udara terbaik ke-3 di Depok. Namun, perlu disadari bahwa udara di Beji tetaplah berada pada kategori moderat. Kualitas udara di Beji naik-turun dari 25 μg/m³ pada bulan Januari, ke 27 μg/m³ pada bulan Februari, turun ke 24 μg/m³ pada bulan Maret, dan melonjak drastis ke 32 μg/m³ pada bulan April. Pada saat artikel ini ditulis, kualitas udara di Beji berada pada angka 22 μg/m³.
Kendati nampak jernih, kualitas udara di lingkungan UI tidak sebersih yang dibayangkan. (Jeromi Mikhael/Domain Publik)
Apa yang Harus Dilakukan?
Masalah kualitas udara ini mendorong pertanyaan mengenai tindakan yang dapat diambil untuk mengatasinya. Satu hal yang pasti: tindakan penghijauan, yang selama ini dilakukan dengan menanam pohon-pohon rindang di sekitar lingkungan UI, belum efektif untuk mengatasi buruknya kualitas udara. Meski pohon dapat menyerap partikel PM2.5 melalui proses deposisi, penyerapan partikel ini dapat menyebabkan tumbuhan menjadi lemah dalam prosesnya. Hal ini dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (U.S. Environmental Protection Agency), yang menunjukkan bahwa pohon hanya berkontribusi terhadap peningkatan kualitas udara tidak lebih dari 0,24%. Hal ini dapat diamati pada Tangerang Selatan, daerah permukiman yang memiliki kondisi udara yang buruk kendati dipenuhi oleh pepohonan dan ruang hijau seperti halnya UI.
Dengan inefektivitas dari penghijauan, solusi yang tepat harus dimulai dari diri kita masing-masing. Kita bisa memulai memperbaiki kualitas udara dengan hal-hal kecil, seperti menggunakan transportasi umum untuk berkegiatan di sekitar UI. Hindari menggunakan kendaran pribadi apabila bepergian dengan jarak dekat. Selain itu, kita bisa mengurangi PM2.5 dengan mematikan pendingin ruangan apabila sudah tidak dipakai. Secara kolektif, kita bisa menggerakkan teman-teman atau kerabat kita untuk melakukan kegiatan 3R (reuse, reduce, recycle) sebagai cara untuk mengurangi jejak karbon dan sampah yang ada di lingkungan dan mengurangi PM2.5 yang dihasilkan dari produksi barang baru.
Dari semua cara yang ada, memakai masker merupakan cara yang paling ampuh untuk menjamin keamanan dari kualitas udara yang buruk. Masker penyaring partikel udara, seperti masker N95, dapat secara efektif menahan PM2.5 agar tidak diserap oleh tubuh. Salah satu cara untuk memeriksa kualitas udara di sekitar kita adalah dengan menggunakan aplikasi Nafas. Aplikasi Nafas menampilkan kualitas udara di lokasi dengan menggunakan data dari sensor udara yang tersedia di sekitar lokasi tersebut.
Akhir kata…
… looks can be deceiving. Udara “bersih” yang katanya kita nikmati di UI ternyata hanyalah mitos belaka. Pengukuran membuktikan bahwa udara di UI masih sangat jauh dari kata sehat. Udara tersebut mengandung berbagai macam potensi penyakit yang menghantui kesehatan kita. Sebagai mahasiswa dan agent of change, mari mengambil langkah-langkah agar kualitas udara di UI bisa pulih, atau setidaknya tidak bertambah kotor.
Referensi:
David J. Nowak et al., “Modeled PM2.5 Removal by Trees in Ten U.S. Cities and Associated Health Effects,” Environmental Pollution 178 (Juli 2013): 395–402, https://doi.org/10.1016/j.envpol.2013.03.050.
Laporan Kualitas Udara April 2024. Nafas, 2024.
Laporan Kualitas Udara Februari 2024. Nafas, 2024.
Laporan Kualitas Udara Januari 2024. Nafas, 2024.
Laporan Kualitas Udara Maret 2024. Nafas, 2024.
Nafas. “More Trees Are Not Enough to Improve Air Quality,” 10 Agustus 2023. https://nafas.co.id/blog/More-Trees-Are-Not-Enough-to-Improve-Air-Quality.
Xu, Jinwei, Xin Xiao, Wenbo Zhang, Rong Xu, Sang Cheol Kim, Yi Cui, Tyler T. Howard, Esther Wu, and Yi Cui. “Air-Filtering Masks for Respiratory Protection from PM2.5 and Pandemic Pathogens.” One Earth 3, no. 5 (20 November 2020): 574–89. https://doi.org/10.1016/j.oneear.2020.10.014.
Tulisan ini merupakan bagian dari tugas akhir mata kuliah Institusi Lingkungan Global dengan dosen pengampu Nurul Isnaeni, Ph.D. dan Gracia Paramitha, Ph.D.
Teks: Jeromi Mikhael Asido
Foto: Kumparan.com
Editor: Choirunnisa Nur Fitria
Pers Suara Mahasiswa UI 2024
Independen, Lugas, dan Berkualitas!