Judul : I Used To Be Funny
Pemeran : Rachel Sennott, Olga Petsa, Sabrina Jalees, Caleb Hearon, Ennis Esmer, Dani Kind, Jason Jones
Sutradara : Ally Pankiw
Penulis : Ally Pankiw
Genre : Drama dan Komedi
Tanggal Rilis : 13 Maret 2023 (SXSW)
Durasi : 106 menit
Produksi : Barn 12
Peringatan! Artikel ini mengandung unsur kekerasan seksual. Sebelum Anda membaca, harap pertimbangkan kondisi emosional Anda
Sedikit Tentang Film Ini
Dikenal dengan citranya yang sering bermain peran dalam film yang bernuansa komedi. Kali ini, Rachel Sennott menghadirkan performa yang berbeda, tetapi menunjukkan ciri khasnya dirinya. Ya, setidaknya itulah menurut saya. Maksudnya adalah, walaupun film yang bertajuk I Used To Be Funny membuat banyak penonton yang awalnya membaca judul film ini berpikir bahwa film ini akan mengarah pada hal yang berbau komedi. Namun, film ini menantang penonton dengan kerumitan drama yang biasa orang dewasa hadapi, seperti berduka, kesehatan mental, dan perbedaan kuasa. Premis dalam film ini cukup sederhana, tetapi memberikan twist yang cukup mencengangkan di babak menuju akhir dari film. Komedian yang tidak lagi menunjukkan aksi menggelitik perut penggemarnya berarti dia sudah tidak lucu lagi, tetapi apa faktornya? Ally Pankiw menunjukkan sisi lain cerita dari seorang komedian yang mungkin orang lain tidak nyaman untuk cari tahu. Ya, biasanya karena seorang komedian harus selalu tampil lucu ‘kan di mata orang-orang, bahkan ketika dia sedang tidak melucu. Haha. Well, pandanganmu akan terbuka setelah menonton film ini.
Sinopsis Singkat
Saya rasa Ally Pankiw sebagai sutradara, tepat dalam memilih Rachel Sennott sebagai bintang utama. Semua terasa sempurna dan menarik perhatian, sehingga mata kita fokus untuk menyaksikan performa Rachel Sennott sebagai pemeran utama yang bisa menyesuaikan kondisi adegan-adegan yang disajikan di I Used To Be Funny. Rachel bisa beradegan lucu di tengah trauma yang sedang dialami karakter yang diperankannya. I Used To Be Funny menceritakan seorang komedian bernama Sam (Rachel Sennott) yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai au pair (pengasuh) seorang remaja 14 tahun bernama Brooke (Olga Petsa). Bila dua karakter ini digabungkan, mereka saling melengkapi. Sam berperang dengan trauma yang menggerogoti dirinya akibat pelecehan seksual oleh ayahnya Brooke. Ia kemudian bertekad akan melindungi Brooke dari ayahnya. Dengan inisiatifnya melindungi Brooke walaupun trauma yang menghantui dan Brooke yang masih menyangkal ayahnya melakukan perbuatan tak terpuji pada Sam menciptakan gagasan sebuah hubungan jiwa yang magnetis dengan cara yang unik namun tidak aneh bagi penonton.
Depresi dan Lelucon
Tak banyak film yang benar-benar tahu cara menggambarkan gagasan bahwa terdapat seorang pengasuh yang lebih peduli untuk merawat seseorang yang memang pantas dirawat. Film ini sangat menggambarkan koneksi dua insan yang rapuh yang sedang melalui perjalanan batin mereka. Perlu beberapa waktu untuk mendalami film ini hingga akhirnya dapat dipahami penonton. Depresi dan trauma yang dialami oleh karakter Sam sangat realistis dan tidak “dibuat” secara berlebihan. Melainkan dikemas dengan menarik penonton untuk ikut merasakannya. Gejala depresi umum yang biasanya dirasakan oleh penderita depresi adalah hilangnya minat pada sesuatu yang dia suka–pada hal ini Sam berhenti melakukan stand-up comedy untuk sementara waktu–atau sesuatu yang sering dilakukan. Ditambah, Sam mendapatkan hate speech di media sosial semenjak kasus pelecehan seksual yang dialaminya dibawa ke pengadilan. Hal tersebut berakibat pada kondisi mental Sam memburuk. Tidak ingin terlalu larut dalam kubangan depresi yang menghantamnya bak tsunami menghantam gedung-gedung di sekitarnya, karakter-karakter di I Used To Be Funny melalui musibah ini dengan menciptakan lelucon lucu yang dikeluarkan oleh Paige dan Philip (Sabrina Jalees dan Caleb Hearon) untuk menghibur Sam. Teknik Ally Pankiw sebagai sutradara yang membiarkan lelucon lucu keluar dari karakter-karakter yang dia ciptakan sebagai penghibur untuk menghilangkan kecanggungan, mempererat ikatan, bahkan untuk berdamai. Film ini membuat mata saya terbuka pada lelucon lucu yang tidak berusaha keras untuk menghibur seseorang yang sedang depresi namun tetap lucu dan tidak membuat orang depresi ini (Sam) merasa terganggu. Seperti contohnya ketika Brooke hilang dan tiba-tiba Brooke pergi ke kediaman Sam untuk melempar kaca pada pintu menggunakan sepatu. Kemudian, Paige dan Philip bercanda dengan mengatakan, “Ia mungkin menyukai poster orang hilang.”
Bagaimana Alur Film Ini Dikemas?
I Used To Be Funny dikemas dengan alur maju mundur. Namun, bagi saya alur cepat mundur tersebut terkesan “abu-abu” dan sedikit membosankan, karena di satu sisi penonton harus fokus untuk menandai bahwa alur tersebut sudah berganti ke masa sekarang ataupun kembali ke masa lalu. Jadi, harus diperhatikan baik-baik karena didukung juga dengan sinematografi yang color grading-nya tetap sama antara masa sekarang dan lalu. Tak perlu khawatir, karena hal tersebut tidak terlalu “bermasalah”, malah hal tersebut memanjakan mata saya secara visual. Lalu, mengapa membosankan? Menurut saya karena sebelum menonton film ini penonton dijanjikan dengan premis seorang komedian yang bergelut dengan PTSD karena sesuatu hal yang tidak mengenakkan terjadi, hal tersebut nyatanya ketika kita menonton film ini memberikan jawaban berupa kepingan-kepingan puzzle yang harus kita susun sendiri. Ditambah lagi, I Used To Be Funny memiliki banyak momen yang kurang bisa dibilang “inilah peak moment-nya” sendiri karena kita penonton sering dilempar dari satu alur waktu ke alur waktu lainnya dari satu alur waktu ke alur waktu lainnya yang menyebabkan penonton bosan. Namun catatan terlebih dahulu, bosannya ini bukan karena film ini termasuk jenis film Indie, tetapi karena cara mengatur alur waktunya yang membuat agak membosankan. Maka dari itulah, penonton lebih harus mencari tahu jawaban pastinya dari kepingan-kepingan yang sudah disediakan sebelumnya.
Kesimpulan
Kualitas I Used To Be Funny adalah penggunaan strategi bercerita yang tidak mengubah keadaan, tetapi penonton ditantang untuk melihat lagi kejadian tersebut dari apa yang dirasakan oleh masing-masing karakter. Ally Pankiw sengaja mengalihkan penonton dengan topik pelecehan seksual hingga kesehatan mental, padahal topik sebenarnya adalah bagaimana Sam dan Brooke berkonsiliasi. Bukan berarti Sam yang suka mengeluarkan lelucon sex saat melakukan stand up comedy akan selalu consent melakukan hubungan seksual dan juga bukan berarti Brooke akan menerima uluran tangan Sam yang ingin menolongnya dari genggaman ayahnya yang bisa saja ingin membahayakan Brooke setelah apa yang dilakukannya pada Sam. Hal tersebut adalah tentang bagaimana cara mereka berdamai di tengah beberapa hal yang bertabrakan satu sama lain. Teknik seperti ini akan mempermudah penonton menarik kesimpulan yang salah tentang orang lain. Menjelang akhir film, I Used To Funny berhenti mengganggu pikiran para penontonnya. Alih-alih menghadirkan akhir cerita yang suram seperti depresi yang masih mengintai Sam karena masih harus mengurus Brooke yang masih denial dan mungkin saja terdapat efek samping narkoba yang sempat dia konsumsi, Ia menawarkan close-ending yang tidak menyisakan pertanyaan yang menggantung. Selain itu, adegan pelecehan tidak dieksploitasi pada film ini, melainkan film ini mengemas dengan cara yang berbeda tetapi tetap menjelaskan bahwa Sam terkena pelecehan seksual. Well, pernyataan terakhir dari saya adalah mungkin sebagian besar film yang karakter utamanya bergelut dengan depresi bisa jadi membosankan. Untungnya, Rachel Sennott bisa menepis hal itu dengan kemampuan aktingnya bahkan ketika dia sedang murung dalam film pun hal tersebut bisa menghibur penonton.
Penulis : Caesi Rosprianti
Editor : Syifa Anggun A.
Foto : IMDb
Pers Suara Mahasiswa
Independen, Lugas, dan Berkualitas!