Logo Suma

Upaya Kriminalisasi Masyarakat Adat Kian Menjadi, Gabungan Masyarakat Sipil Gelar Aksi

Redaksi Suara Mahasiswa · 28 Februari 2025
4 menit

Seruan keadilan dikumandangkan oleh koalisi masyarakat sipil, termasuk mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) yang terhimpun dalam Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Sorbatua Siallagan (26/02).

Aksi dibuka dengan melakukan longmars dari depan Gedung Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menuju Gedung Mahkamah Agung (MA) pada pukul 10.00 WIB. Demonstrasi ini merupakan bentuk protes terhadap langkah kasasi yang diajukan Kejaksaan Negeri Simalungun atas putusan kasus Sorbatua, Ketua Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan.

Sebelumnya, Sorbatua divonis dua tahun penjara dan denda sebesar satu miliar subsider enam bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri Simalungun. Ia dituduh melakukan perusakan dan penguasaan lahan di Huta Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kabupaten Simalungun. Saat ini, tanah adat tersebut berada di bawah konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) milik Sukanto Tanoto, pendiri Tanoto Foundation.

Setibanya di depan Gedung MA, berbagai orasi digaungkan dari para massa aksi, salah satunya dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang diwakili oleh Elisabeth Simanjuntak. Dalam seruannya, ia menegaskan bahwa ketua dan masyarakat adat telah dikriminalisasi oleh penguasa.

“Di sini, masyarakat adat, ketua adat yang dikriminalisasi oleh antek-antek penguasa dan para aparat,” ujar Elisabeth.

Tak hanya itu, Muhammad Bagir Shadr, Koordinator Bidang Sosial Politik Badan Eksekutif Mahasiswa FH UI, juga menekankan pentingnya keadilan dalam kasus kriminalisasi ini. Ia mengajak seluruh massa aksi untuk terus mendukung perjuangan Bapak Sorbatua dalam mempertahankan tanah adat sebagai warisan leluhur mereka.

Hero Aprilia dari Barisan Pemuda Adat Nusantara menyoroti perampasan tanah adat yang kini beralih menjadi lahan sawit milik oligarki. Sementara itu, Samuel Tampubolon dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menegaskan bahwa kasus Sorbatua mencerminkan pola kriminalisasi masyarakat adat yang terus berulang di Indonesia. Anto Simanjuntak dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) pun mendesak hakim Mahkamah Agung untuk menolak kasasi yang diajukan Kejaksaan Negeri Simalungun terhadap Sorbatua.

Massa Bertahan di Tengah Hujan, Orasi dan Audiensi Jadi Momentum Perlawanan

Di tengah derasnya hujan, Lasron Sinurat dari AMAN menyatakan keprihatinannya terhadap bencana longsor yang kerap terjadi di Indonesia. Ia menegaskan bahwa bencana tersebut bukan sekadar dampak dari hujan deras, melainkan juga dampak penggusuran hutan oleh PT TPL.

Sabit dari Forest Watch Indonesia (FWI) kembali menyerukan agar massa lebih serius dalam mengawal kasus Bapak Sorbatua. Ia menegaskan, “Permasalahan ini, permasalahan negara ini, bukan hanya tanggung jawab satu-dua orang, melainkan tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia.”

Aksi ini tak hanya diwarnai oleh seruan orasi, tetapi juga pembacaan puisi oleh Muhammad Nasywan Azizullah, perwakilan BEM FH UI. Usai lantunan puisi menggema, Natalia dari Federasi Gabungan Serikat Buruh Mandiri turut menyerukan solidaritas untuk Bapak Sorbatua. “Sampaikan ke pelosok-pelosok negeri ini bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja,” ucapnya dengan lantang.

Riyandra Putra dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara mengungkap fakta mencengangkan bahwa hingga kini PT TPL belum pernah bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang mereka sebabkan.

“Sampai hari ini, PT TPL belum juga pernah menyelesaikan dan bertanggung jawab atas segala persoalan yang pernah mereka perbuat,” ujarnya.

Ia juga mengkritik aparat kepolisian yang lebih sering berpihak pada perusahaan dibanding masyarakat. “Orang yang sejatinya membela kepentingannya harus digusur. Padahal, polisi seharusnya sadar. Jangan hanya menerima laporan dari perusahaan, [tetapi] harusnya melindungi masyarakat,” tegas Riyandra.

Sekitar satu setengah jam setelah aksi dimulai, beberapa perwakilan dari massa aksi diperbolehkan memasuki gedung untuk melakukan audiensi dengan pihak humas dari MA. Dalam proses audiensi tersebut, massa aksi masih mempertahankan posisinya dan menyampaikan berbagai orasi.

Salah satu perwakilan dari FH UI angkatakan 2023, Manfella Fiorenza Barfiandana, mengatakan bahwa dalam audiensi tersebut, mereka meminta hakim untuk mengedepankan netralitasnya.

“[Kami berharap] mereka bisa melihat bahwa peristiwa penangkapannya juga tidak tepat, tidak sesuai dengan prosedur, [bahkan] proses perkaranya, belum ada nomor perkaranya sampai sekarang,” ujar Manfella dalam wawancaranya bersama Suara Mahasiswa UI usai aksi berakhir.

Audiensi tidak hanya sebatas penyampaian aspirasi, tetapi juga pemberian press release dan petisi yang sudah diisi sebanyak kurang lebih 9.200 orang. Namun, pihak humas menekankan bahwa sebaiknya surat dukungan disampaikan secara resmi melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Selain itu, mereka juga menyampaikan bahwa kasusnya belum mendapatkan nomor perkara karena baru diselesaikan dalam proses administrasi.

Terlepas dari itu semua, selama proses audiensi berlangsung, Manfella mengakui bahwa pihak humas menerima aspirasi mereka dengan baik. “Kurang lebih reaksinya [dari humas] membenarkan apa yang kami sampaikan dan menyampaikan [bahwa] tidak boleh diintervensi perkara yang sedang berjalan,” sambungnya.

Manfella pun berharap bahwa aspirasi ini tidak hanya diterima secara formalitas dalam audiensi tersebut. “Kami [massa aksi] cuma bisa berharap bahwa [setiap aspirasi] bisa disampaikan ke Majelis Hakim dan diwujudkan dalam proses peradilannya. Kalau untuk ke depannya, kami masih mengawal kasusnya tentunya karena ini juga masih proses awal,” ucapnya.

Massa Siap Gelar Aksi Lanjutan Saat Nomor Perkara Keluar

Bagir menyatakan bahwa kemungkinan akan ada konsolidasi lanjutan setelah nomor perkara kasus Sorbatua Siallagan keluar. “Jadi, sekarang kasusnya tuh belum dapat nomor perkara. Nanti saat putusannya mau keluar, kemungkinan akan ada konsolidasi lanjutan buat menyikapinya,” ujar Bagir melalui chat line (27/02).

Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Lasron Sinurat dari AMAN, yang menyampaikan bahwa setelah nomor perkara sudah keluar, mereka akan mengadakan aksi kembali di depan MA.

“Kalau nomor perkara sudah keluar, warga komunitas akan hadir ke Jakarta untuk melakukan aksi di Mahkamah Agung. Kita akan konsolidasi ulang, mengundang semua elemen-elemen organisasi masyarakat sipil, dan juga mendatangkan keluarga dan masyarakat dari Komunitas Masyarakat Adat Bapak Sorbatua Sialangan di Kabupaten Simalungo,” ucapnya.

Aksi demonstrasi ini ditutup dengan foto bersama massa aksi di depan Gedung MA. Dengan suara lantang, mereka meneriakkan seruan, “Tuntut TPL!” sebagai simbol solidaritas dalam perjuangan masyarakat adat.

Teks: Intan Shabira, Windi Lestari

Editor: Dela Srilestari

Foto: Intan Shabira

Desain: Nabila Sipi Naifah

Pers Suara Mahasiswa UI 2025

Independen, Lugas, dan Berkualitas!