Virtual Police: Ketakutan Baru Masyarakat?

Redaksi Suara Mahasiswa · 3 April 2021
4 menit

Pada 25 Februari lalu, Kepolisian Republik Indonesia meresmikan virtual police. Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono, Virtual Police adalah upaya Korps Bhayangkara untuk memberikan edukasi kepada publik agar tidak menyebarkan konten yang diduga melanggar hukum. Hal ini disebabkan oleh penyebaran informasi palsu atau hoaks. Selain itu, kasus pelanggaran di dunia maya juga melatarbelakangi kebijakan tersebut, hingga terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum.

Virtual police bekerja dengan mengirimkan peringatan kepada pengguna media sosial yang mengunggah konten berbau hoaks, pornografi, fitnah, penghinaan, dan pelanggaran hukum lainya. Konten yang dianggap berbahaya akan  dikonsultasikan dengan tim ahli yang terdiri dari ahli pidana, ahli bahasa, dan ahli informasi dan transaksi elektronik (ITE). Setelah ditelaah dan terbukti bahwa konten tersebut melanggar, maka virtual police akan mengirimkan direct message (DM) kepada pengguna yang berkaitan. Melalui DM tersebut, kepolisian berharap bahwa pengguna mendapatkan peringatan tanpa harus diketahui pihak lain (bersifat rahasia).

Dengan adanya virtual police, pemerintah berpotensi menanamkan ketakutan baru bagi masyarakat, yakni dalam berpendapat hingga segregasi digital oleh pemerintah. Kemungkinan adanya fabrikasi kebenaran bisa terjadi apabila pemerintah memutuskan akan mengawasi aktivitas digital masyarakat. Terlebih lagi, adanya kemungkinan kritik oleh masyarakat tidak tersampaikan ke pemerintah dengan baik, mengingat kejadian demonstrasi RUU KPK yang mengakibatkan penjemputan beberapa orang salah satunya, Ananda Badudu. Padahal, Ananda Badudu pada saat itu hanya mengumpulkan dana bagi mahasiswa yang berdemonstrasi ke gedung DPR.

Polisi di Indonesia seharusnya dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat. Namun, keberadaan virtual police memungkinkan media massa untuk melakukan pengawasan tanpa sepengetahuan media massa itu sendiri, bahwa sebenarnya mereka sedang melakukan pengawasan publik. Informasi yang akan disalurkan lewat media massa dapat difragmentasi sebaik mungkin sehingga ke depannya memungkinkan adanya kesulitan dari masyarakat untuk mengemukakan kritik kepada pemerintah. Polisi juga dapat menampilkan para pendengung (buzzer) untuk menimbun kebenaran dan meminimalisasi terjadinya pemberontakan.

Era digital yang memudahkan akses internet ke segala penjuru daerah cenderung menjadi bumerang bagi masyarakat. Di satu sisi, masyarakat dapat leluasa memperoleh segala informasi. Di lain pihak, resiko yang diterima memungkinkan ide atau gagasan kita dapat diakses oleh puluhan, ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan pengguna media sosial. Kemudahan, pengiriman pesan lewat WhatsApp, Twitter, Instagram, dan media sosial lainnya juga dapat digunakan untuk mengubah maksud, memelintir arti, mendramatisasi pendapat, dan mengambil fragmentasi tertentu dari opini kita untuk kepentingan lain. Masyarakat tidak hanya diimbau untuk berhati-hati dalam mengunggah opininya, tetapi juga perlu memperhatikan substansi dari opini tersebut.

Belum lagi dengan munculnya kemudahan akses privasi basis data (database) di dalam media sosial yang memudahkan pengawasan virtual police menjadi semakin luas cakupannya. Akibatnya, tidak hanya unggahan konten yang dapat dikontrol karena di dalam media sosial terdapat gerak-gerik kita di dunia nyata, sebagai individu yang juga berpotensi dikendalikan secara leluasa. Dalam hal ini, basis data dapat dijadikan sebagai alat pengawasan panoptikon secara tak kasat mata. Jeremy Bentham dan teorinya tentang panoptikon, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh penjaga penjara di dalam menara, mengawasi napi dengan bangunan melingkar di luarnya. Basis data pun dapat dianalogikan sebagai penjaga penjara, sedangkan informasi sebagai bangunan napi di luar yang diawasi oleh pemerintahan tanpa disadari masyarakat.

Dari segi pengamanan, instrumen polisi dan para ahli dapat berpotensi sebagai penentu parameter sebuah kejahatan. Pemikiran kriminologi konstitutif pun memahami kejahatan dengan mempertimbangkan hasil akhir dari wacana yang dilakukan manusia, yakni dalam mempertahankan ideologi bahwa kejahatan adalah realitas yang konkret. Oleh karena itu, sebuah pelanggaran yang bermuara dari manusia bisa ditentukan realitasnya dari manusia itu sendiri, yang dalam kasus ini adalah instrumen polisi dan para ahli. Ditakutkan kebenaran realitas yang diterima dapat menjadi bias. Apabila tumpang tindih, pembiasan ini mampu menimbulkan ketidakadilan baru bagi masyarakat.

Sebagaimana sebagian besar kritik difokuskan kepada kegiatan digital saat ini, pengawasan dengan virtual police dapat menghambat proses demokrasi di masyarakat. Terlebih lagi, kemudahan mengakses informasi dan privasi menjadi pisau bermata dua bagi kedua belah pihak. Dikhawatirkan pula terjadinya pemaknaan yang bias terhadap kejahatan di media sosial karena yang dapat menentukan pelanggaran tersebut hanya polisi dan para ahli.

Dengan demikian, alangkah lebih baik jika memfokuskan penyegeraan revisi UU ITE karena dapat lebih menguatkan penguasaan hukum di Indonesia tanpa menimbulkan kekhawatiran masyarakat dalam bermedia sosial. UU ITE lebih berfokus pada pelanggaran di dunia maya yang membuat masyarakat merasa wajib mematuhinya, sedangkan virtual police cenderung kepada pengawasan yang dapat menimbulkan efek ketakutan tersendiri. Dengan revisi UU ITE,  diharapkan ada kejelasan transparansi sebuah pelanggaran di dunia maya.

Catatan: Tulisan ini adalah hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan sikap Pers Suara Mahasiswa UI 2021.

Teks: Mahasiswa Alumni Kriminologi UI 2013
Ilustrasi: Berliana Dewi R.
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

Daftar Acuan
Buku
Mustofa, Muhammad. (2010). Kriminologi: Kajian Sosiologi, terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Depok: FISIP UI Press.

Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. LN.2008/NO.58, TLN No.4843.

Artikel/Jurnal
Ramadhan, Muhammad Ravi. (2018). Panopticonism dalam Media Massa (Analisis Wacana Berita Kasus Pemerkosaan YN yang Ditayangkan pada Program Aiman Kompas TV Mei 2016).  Jurnal Kriminologi Indonesia, 13(2), 77–90.

Internet
Haryanto, Alexander. (2021). “Apa Itu Virtual Police? Aturan, Cara Kerja dan Kaitan dengan UU ITE”. tirto.id. https://tirto.id/apa-itu-virtual-police-aturan-cara-kerja-dan-kaitan-dengan-uu-ite-gaBQ
Ibrahim, Gibran Maulana. (2019). “#ReformasiDikorupsi! Ananda Badudu Galang Dana untuk Aksi Mahasiswa di DPR”. detikNews. https://news.detik.com/berita/d-4719042/reformasidikorupsi-ananda-badudu-galang-dana-untuk-aksi-mahasiswa-di-dpr
Rezkisari, Indira. (2021). “Virtual Police Bawa Ketakutan Baru di Masyarakat?”. Republika. https://www.republika.co.id/berita/qp32s4328/emvirtual-policeem-bawa-ketakutan-baru-di-masyarakat-part1