depan Gedung DPR RI pada (28/9). Mereka hadir untuk bersuara lewat aksi yang bertajuk “Tubuh Bukan Milik Negara”. Aksi tersebut dipe lopori oleh Women's March Jakarta (WMJ) 2025 sebagai bentuk perlindungan dan perlawanan masyarakat atas pelbagai kebijakan diskriminatif negara.
Penampilan dari Jebung, Yacko, So Called Wrap, Gitaku, hingga Sun Community, turut menyemarakkan aksi pagi itu. Lewat balutan teater dan musik, aksi WMJ 2025 menghadirkan seni sebagai alat perjuangan.
Tak hanya itu, Ballroom Indonesia turut hadir sebagai komunitas yang menyediakan ruang aman bagi kelompok queer , khususnya transgender. Di sana, mereka mengekspresikan jati dirinya melalui voguing; sebuah tarian dan budaya ekspresif yang lahir melalui komunitas transgender, drag queen kulit hitam, serta Latinx di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Melalui panggung runway, mereka mementaskan empat kategori utama: Face, Runway, Realness, dan Performance.
Sebelas Tuntutan dalam Aksi WMJ 2025
Demi menghadirkan ruang aman bagi semua, WMJ melantangkan sebelas persyaratan berikut ini.
- Hentikan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan seluruh kegiatan ekstraktif yang merampas ruang kehidupan, membahayakan ekologi, dan mengerahkan aparat keamanan untuk membungkam masyarakat;
- Turunkan harga bahan pokok dan pastikan jaminan perlindungan sosial bagi seluruh masyarakat tanpa kecuali dengan mengalokasikan dana publik untuk layanan dasar, seperti pendidikan kesehatan, transportasi umum, dan pencegahan stunting dan kematian ibu;
- Segera sahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), revisi secara partisipatif UU Perkawinan, KUHP, dan KUHAP. Cabut UU Omnibus Law serta regulasi diskriminatif lainnya yang melanggengkan kekerasan struktural;
- Akui kerja-kerja perawatan dan kerja reproduktif sebagai kerja penting, hapus praktik magang diskriminasi eksploitatif berbasis gender dan disabilitas di dunia kerja, serta lindungi pekerja migran dari kekerasan sistemik;
- Hapus seluruh aturan diskriminatif dan kriminalisasi terhadap perempuan, queer , pegiat hak asasi manusia (HAM), pekerja seks, ODHIV, masyarakat adat, penghayat, penyandang disabilitas, dan kelompok marginal lainnya;
- Negara wajib mengakui femisida sebagai krisis nasional, menyusun indikator bahaya untuk pencegahan KDRT dan femisida, menjamin perlindungan komprehensif bagi transpuan, queer , penyandang disabilitas, dan korban kekerasan seksual, termasuk yang dimediasi teknologi;
- Jamin mengakses layanan kesehatan yang aman, legal, dan bebas diskriminasi sebagai bagian dari hak atas kesehatan dan otonomi tubuh, termasuk layanan kesehatan reproduksi dan aborsi yang aman;
- Hentikan mengemukakan hal-hal seksi yang difasilitasi AI, Deepfake, dan teknologi manipulatif lainnya, serta regulasikan teknologi digital untuk melindungi anak, pekerja migran, dan kelompok rentan dari kekerasan dan eksploitasi berani;
- Reformasi kepolisian agar berperspektif gender dan humanis, menghentikan kriminalisasi terhadap aktivisme, jurnalis, mahasiswa, seniman, dan warga yang bersuara, serta memerdekakan tahanan politik;
- Tarik pasukan dari wilayah konflik kemanusiaan, termasuk tanah Papua, dan hentikan pendekatan militeristik serta otoritarian dalam penanganan masyarakat sipil;
- Wujudkan ruang politik dan publik yang aman, inklusif, representatif, dan bebas sensor, serta akui akumulasi kolektif perjuangan rakyat dengan menjamin keamanan holistik dan dukungan psikososial bagi komunitas rentan.
Pembacaan tuntutan menandai berakhirnya aksi #TubuhBukanMilikNegara. Namun, upaya memperjuangkan kesetaraan tidak hanya sampai di sini.. “Selama ketidakadilan masih ada di bumi Indonesia ini, kami akan turun setiap tahunnya!” ungkap Riska Carolina selaku koordinator utama.
Teks: Alya Putri Granita
Editor: Dela Srilestari, Naswa Dwidayanti K.
Foto: Alya Putri Granita
Desain: Kania Puri A. Hermawan
Pers Suara Mahasiswa UI 2025
Independen, Lugas, dan Berkualitas!