Aksi peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day 2025 di beberapa kota besar, termasuk Jakarta, Bandung, dan Semarang, diwarnai dengan kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan. Sejumlah jurnalis juga menjadi korban kekerasan saat meliput aksi tersebut.
Alif dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam Konferensi Pers pada (09/05) melaporkan bahwa kekerasan terjadi di beberapa titik aksi Jakarta, dengan aparat berpakaian sipil yang tidak mengenakan atribut kepolisian yang jelas.
"Kami menerima laporan ada 13 orang yang ditangkap selama aksi, dan sebagian mengalami kekerasan fisik meskipun tidak ada perlawanan dari mereka," kata Alif. Kekerasan ini terjadi di sekitar Gedung DPR RI saat massa berusaha menyampaikan aspirasi.
Sementara itu, Gema dari LBH Pers mencatat dua kasus kekerasan terhadap jurnalis yang meliput aksi May Day. Satu jurnalis dari media Progresif mengalami kekerasan fisik dan ancaman dari aparat, serta dipaksa untuk menghapus dokumentasi kekerasan yang terjadi di lapangan.
"Di Semarang, jurnalis dari Tempo juga menjadi korban kekerasan dari orang yang diduga sebagai aparat kepolisian," ujar Gema. Kekerasan terhadap jurnalis ini adalah salah satu ancaman dalam kebebasan pers.
Ivan dari Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menambahkan bahwa, sebelum aksi, terdapat pula tekanan dari aparat untuk membatalkan keberangkatan massa aksi yang berasal dari Cimahi, Jawa Barat.
"Kami mendengar adanya upaya dari kepolisian untuk membatalkan pemesanan bus oleh kawan-kawan kami untuk menuju Jakarta, dengan alasan bahwa mereka hanya diperbolehkan berkumpul di Monas," jelas Ivan.
Kekerasan yang berlangsung pada hari aksi, menurut Ivan, terjadi setelah beberapa kesepakatan awal antara pihak kepolisian dan massa aksi. "Pukul tiga sore, terjadi provokasi yang dilakukan oleh pihak tertentu [dan] tidak teridentifikasi sebagai peserta aksi," katanya. Ivan menduga ada pihak yang sengaja menciptakan kericuhan dengan tujuan memperburuk situasi.
Dalam aksi tersebut, aparat menggunakan water cannon untuk membubarkan massa. Padahal, masih ada peserta yang merupakan kelompok rentan, seperti perempuan dan anak-anak. Ivan menambahkan, "Kami sudah menyampaikan agar water cannon tidak digunakan, mengingat ada peserta yang rentan terhadap dampaknya."
Kevin, mahasiswa Program Studi Filsafat UI yang mengikuti aksi May Day sebagai paramedis turut mendapatkan perlakuan buruk dari aparat. Menurut pengakuan Andreas, paman Kevin, ia mendapat kabar bahwa Kevin sedang diperiksa di Polda Metro Jaya pada pukul tiga pagi keesokan harinya (2/5).
Ia mengungkapkan bahwa saat itu Kevin sedang duduk di Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) dalam keadaan muntah dan mimisan. Kevin mengaku mengalami pukulan pada kepalanya dan injakan pada dadanya di bawah jembatan. Pukul enam pagi, Kevin dibawa ke RS MRCCC, Siloam, dan melakukan CT scan. Setelah menunggu sekitar dua jam, hasil menunjukkan terdapat otot bagian leher yang meleset.
Georgiana, seorang paramedis lainnya turut mengalami kekerasan seksual verbal dari pihak aparat. Menurut laporan ibunya, Georgiana mendapatkan hinaan dengan kata tidak pantas saat membantu Kevin yang sedang diinjak aparat. “Wajar jika terdorong, terpukul, dan terjatuh saat situasi sedang chaos. Namun, saya tidak terima apabila terjadi pelecehan,” ungkapnya.
Rafi dari LBH Bandung menambahkan perihal kondisi saat aksi May Day di Bandung. Beberapa serikat buruh di Bandung dihalangi agar tidak melakukan aksi. Kericuhan berawal dari seseorang berpakaian bebas yang merekam massa aksi saat berteduh karena hujan. Rafi mengungkapkan penangkapan massa aksi di Bandung dilakukan pada hari setelah aksi berlangsung.
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mencatat bahwa kekerasan yang dialami oleh buruh dan jurnalis merupakan bagian dari pola yang terus berulang dalam aksi-aksi May Day sebelumnya. Mereka mendesak aparat kepolisian untuk menghentikan tindakan kekerasan dan memberikan jaminan kebebasan berekspresi bagi masyarakat. Mereka juga menuntut agar peserta aksi yang ditangkap segera dibebaskan tanpa proses hukum yang berlebihan.
Sebagai penutup, Yahya dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyampaikan beberapa tuntutan Koalisi Masyarakat Sipil, yaitu:
Teks: Alya Putri Granita, Muhammad Aidan
Editor: Dela Srilestari
Foto: Muhammad Aidan
Desain: Kania Puri A. Hermawan
Pers Mahasiswa UI 2025
Independen, Lugas, dan Berkualitas!