Ada Apa Dengan (BEM) FISIP UI: Musma, Eksplorasi, dan Sirkus Politik yang Tak Kunjung Selesai

Redaksi Suara Mahasiswa · 28 Februari 2022
8 menit

Kemelut politik berkepanjangan seputar suksesi kepemimpinan mahasiswa yang berlangsung selama 2 bulan terakhir di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) ternyata belum juga selesai. Dari dua kali agenda Musma (Musyawarah Mahasiswa) yang telah dilaksanakan pada 14 Januari dan 11 Februari serta satu kali Sidang Pleno di tanggal 18 Februari, kata mufakat dalam memilih nakhoda yang tepat untuk memimpin Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP UI (BEM FISIP UI) selama satu tahun ke depan belum juga tercapai.

Di luar pembicaraan seputar calon ketua dan wakil ketua yang belum selesai, kini Keluarga Mahasiswa FISIP UI (KM FISIP UI) selaku konstituen dihadapkan pada mekanisme “eksplorasi” untuk menilai kelayakan calon eksekutif mahasiswa yang akan melaju dalam Musma ketiga, yang direncanakan akan dihelat pada 6 Maret mendatang. Pertanyaan mengenai landasan eksplorasi, pertanggungjawaban, serta tata cara pelaksanaan yang masih samar-samar menimbulkan keraguan terkait akuntabilitas eksplorasi.

Menjawab pertanyaan seputar sirkus politik menjemukan yang tidak selesai-selesai ini, Suara Mahasiswa menghadirkan pendapat empat orang yang menjadi cukup vokal dalam agenda Musma yang telah diselenggarakan dua kali. Melalui wawancara dengan aktor-aktor utama Musma, kami merangkum mulai dari pendapat mereka mengenai adanya wacana eksplorasi calon tunggal sampai kepada harapan yang mereka sematkan kepada orang yang nantinya akan menduduki kursi panas BEM FISIP yang telah menimbulkan ontran-ontran selama dua bulan terakhir.

Keluar Kandang Macan Masuk Kandang Buaya
Muhammad Fawwaz Nurrudin, KM FISIP 2019 dan anggota BPM FISIP UI 2021 yang hadir dan turut menyaksikan dua kali Musma dan Sidang Pleno beberapa waktu lalu, menjadi orang pertama yang kami wawancarai. Ditemui di sela-sela kesibukannya sebagai eksponen Serikat Mahasiswa Progresif (SEMAR), Fawwaz menekankan jati diri Musma sebagai suatu pembenahan terhadap tatanan yang selama ini terjadi di FISIP UI.

Ia menilai, Musma yang harus dilaksanakan sampai berkali-kali ini tidak terlepas dari iklim politik yang selama ini dilanggengkan, yakni pengabaian terhadap nilai-nilai demokrasi yang seharusnya bisa menjamin kelancaran pergantian eksekutif dan legislatif mahasiswa pada tingkat fakultas. Alhasil, tanpa kemampuan untuk memandang persoalan jauh ke depan, baik peserta maupun penyelenggara Musma sama-sama terjebak dalam pandangan jangka pendek, seperti preseden calon tunggal yang hampir terulang di Pemira 2021. Fakta ini menunjukkan bahwa kontestasi elektoral tidak lagi bermakna sebagai “pemilihan”, karena memang tak ada calon lain yang bisa dipilih selain si calon tunggal.

Tidak mengherankan jika segelintir pihak yang rungsing oleh Musma karena “kenyamanan” yang selama ini dinikmati menjadi terganggu, berusaha membajak regenerasi kepengurusan BEM di tahun 2022 agar kembali ke iklim yang lama, yakni sekadar memilih nama pemimpin dan melupakan lembaga apa yang akan dipimpin. “Karenanya, ketika Musma dipilih menjadi exit strategy, yang ditemukan bukan jalan keluar, tetapi lubang-lubang baru. Misal, permasalahan kuorum. Ada yang menggugat batas-batas kuorum yang selama ini digunakan, karena dinilai tidak memenuhi keterwakilan, sementara (di sisi lain -red) ada juga yang beranggapan, ‘Ah, untuk apa, sih, kita membahas kuorum seperti ini?’ Nah, pola pikir nyaman (dengan keadaan lama -red) itu masih banyak sekali kita temukan,” tukas Fawwaz.

Fawwaz menambahkan, jika KM FISIP menganggap Musma sebagai suatu exit strategy, ada syarat yang harus dipenuhi, yakni identifikasi permasalahan sudah dilaksanakan sejak semula dan itu harus diterima dengan lapang dada. “Namun, saat ini, dengan exit strategy yang sejak awal sudah keliru secara konsepnya, masalah-masalah itu jadinya akan tetap ada meski nanti pengurus-pengurus BEM sudah terpilih.” Ia terkekeh dan mengangguk setuju saat kami coba mengumpamakan bahwa kejadian Musma ibarat keluar dari kandang macan untuk memasuki kandang buaya yang tak kalah ganasnya.

Masalah-masalah di atas yang selama ini tertimbun, akhirnya meledak di Musma dan percikannya pun terciprat ke mana-mana. Salah satunya, masalah jati diri BEM yang harus berdamai dengan krisis. “Bukan hanya krisis empati atau krisis demokrasi, tetapi kenyataan bahwa pandemi masih ada, dan setiap orang berusaha menyelamatkan diri sendiri,” jelas Fawwaz.

Fawwaz pun menimpali, situasi ini berefek pada kelompok yang hendak mempertahankan BEM apa adanya di satu sisi, tetapi di sisi lain terdapat juga kelompok yang berhasrat mengubah BEM, “Dua kelompok inilah yang harusnya dipertemukan dalam ajang Pemira, sehingga kita bisa mendengar. Sayangnya, saat Pemira 2021 gagal dilaksanakan, kesempatan itu hilang.”

Kami sepandangan dengan Fawwaz. Waktu sudah tidak bisa lagi diputar balik. Benang kusut yang terjadi saat ini, betapapun Musma diklaim sudah menemukan titik terang, tetapi jalan untuk mengurainya masih penuh onak dan duri. Salah satu buntut itu, misalnya, adalah proses “eksplorasi” yang dikemukakan dalam Musma ke-2.

Saat kami menanyakan, apakah “eksplorasi” itu sama dengan kegiatan eksplorasi di Pemira pada umumnya, Fawwaz mengiyakan. Lantas, apa dan bagaimana akuntabilitasnya kalau begitu? “Hanya ada pernikan-pernikan baru di Musma ini. Toh, eksplorasi juga tidak akan berdampak penting, karena ini, kan, jatuhnya sekadar ‘kampanye humas’ calon ketua,” jawab Fawwaz, “tapi, bagaimanapun, saya tetap optimis bahwa ini penting. Mengapa? eksplorasi ini harusnya bisa lebih substantif, dan model pertanyaan selengean yang dulu-dulu pernah muncul di beberapa kali Eksplorasi,” tambahnya.

Tentu saja, mengikuti jatuh-bangun politik itu melelahkan. Tetapi, masih adakah harapan dan ekspektasi terhadap Ketua BEM yang terpilih kelak, sekalipun harus melewati prosedur yang panjang dan melingkar-lingkar ini? “Seorang yang humanis,” tukas Fawwaz, “bukan berarti ketua yang cuman traktir anak buah abis kelar proyek, tapi,” celetuknya sambil menyeringai.

Bagi Fawwaz, ketua yang humanis bukan hanya seorang yang bisa memberikan afeksi dan bersikap fair terhadap kerja anak buahnya, tetapi juga menghargai “pengabdian” mereka yang bekerja di BEM. Hal ini mengingat jam kerja dan beban kerja yang cukup berat, sedangkan apa yang mereka dapatkan hanya terima kasih. “Ini membutuhkan perubahan yang sistemik, dari suatu kultur yang menjadikan inovasi sebagai resep, sebagai slogan, menjadi praksis konkret dan menciptakan budaya organisasi yang benar-benar baru,” pungkas Fawwaz.

Bukan Jalan Bertabur Bunga
Anggelo Ibrahim Yakub, KM FISIP 2019 dan kini kembali melenggang memasuki ring satu kontestasi Ketua BEM FISIP melalui Musma, memiliki pendapat yang sedikit berbeda. Bertemu di kesempatan berbeda dengan Fawwaz, obrolan Suara Mahasiswa dengan Anggelo rasanya mirip percakapan dengan seorang senator, komplet beserta jurus-jurus menjawab pertanyaan wartawan dengan potongan politisi tulen.

Sedikit mirip dengan Fawwaz yang menekankan pandangannya bahwa Musma menjadi salah satu wujud pembenahan terhadap tatanan yang telah mapan, Anggelo menilai Musma terbukti berhasil menjadi pendorong bagi kemacetan politik selama dua bulan terakhir. “Meski tidak seluruhnya selesai, tetapi jalan keluar sudah ada dan titik terang sudah ketemu,” ujarnya.

Bagi mahasiswa Program Studi Sosiologi ini, di samping sisi kedaruratan yang harus diperhatikan dari Musma, KM FISIP juga dibantu untuk melihat permasalahan yang selama ini ditutupi, dianggap lumrah, atau “dilumrahkan”. Ketika semuanya terangkat menjadi wacana di Musma dan dipadukan aspirasi politik yang diperoleh dari Jajak Pendapat oleh Panitia Khusus, maka legitimasi penyelenggaraan Musma sebagai wahana berdemokrasi pun menjadi optimal. “Gue belum bisa menilai bagus atau enggaknya, tapi so far so good,” tegas Anggelo.

Sementara Fawwaz sedikit skeptis terhadap mekanisme eksplorasi, Anggelo mempunyai penilaian yang lebih optimis, terutama dari sisi pertanggungjawabannya. “Kalau eksplorasi (pada umumnya seringkali -red) disalahgunakan untuk bertanya hal-hal yang tidak penting, maka eksplorasi (di Musma kali ini -red) bisa lebih fokus ke program masing-masing pasangan calon, dan dari sana, kita bisa melihat kualifikasi calon itu, apakah dia pantas atau tidak menjadi ketua BEM FISIP 2022,” tukas Anggelo.

Menghadapi jawaban-jawaban khas politisi di atas, tadinya kami tidak berharap banyak kalau wawancara ini akan menarik. Ternyata, Anggelo menerapkan juga jurus save the best for last. Jawaban terakhirnya untuk ekspektasi seorang Ketua BEM yang selama ini dicari-cari lewat proses panjang, dijawabnya mantap. “Jangan yang cuma paham kontrak politik!” katanya.

Ia menimpali, Ketua BEM jangan segan mengunjungi komunitas-komunitas yang ada di FISIP, mendengar lebih banyak tentang masalah kehidupan mahasiswa yang kontekstual, dan yang terpenting, menerjemahkan permasalahan itu ke dalam program kerja. Tantangan berat ini, kata kami. “Ya, memang mudah saja bagi kita, kalau mau menunjuk nama menjadi ketua. Tapi, apakah cukup? Musma bukan jalan yang mudah, tetapi inilah jalan untuk kebaikan kita bersama, untuk demokrasi yang nyata, yang selama ini diharapkan dapat terealisasi di FISIP UI,” tukasnya mengakhiri wawancara.

Mekanisme Musma: Memangnya Efektif?
Revin Muhammad Alsidais, KM FISIP 2019 dan anggota BEM FISIP periode 2020, juga tak ketinggalan kami kejar dalam wawancara. Sebagai salah satu peserta Musma yang kerap kali menjadi devil advocate di persidangan, ia lantang menyuarakan gugatan terhadap soal-soal elementer yang selama ini diabaikan, seperti kuorum, mekanisme, asas keterwakilan seluruh KM FISIP, dan dasar hukum. Mengimbangi tiga peserta Musma dari dua kubu yang bersilang pandangan cukup tajam, kami turut menemui Achmad Ramdhany, KM FISIP 2019 dan Sekretaris Jenderal DPM UI 2021, atau yang akrab dipanggil Dhildi selaku Presidium Tiga Musma.

Pendapat Revin dan Dhildi sepertinya relatif sama mengenai pelaksanaan Musma ini. Revin dan Dhildi berpendapat Musma tahun ini memiliki pengaruh yang dapat menjernihkan iklim politik FISIP, di mana keberadaan BEM kembali dipertanyakan serta ditinjau kembali. Selain itu, Dhildi menilai FISIP telah satu langkah di depan fakultas-fakultas lain karena berani mempertanyakan hal-hal yang tabu dan bisa menjurus pertanyaan subversif dalam situasi aman tenteram, seperti pertanyaan tentang keberadaan organisasi mahasiswa di fakultas.

“Musma berdampak positif karena mahasiswa FISIP menjadi leluasa dalam berdiskusi dan keberadaan BEM FISIP dipertanyakan dan diulas kembali,” kata Revin. Dhildi menimpali, “FISIP sudah ‘one way ahead’ dibandingkan fakultas lain karena kita sudah berani untuk mempertanyakan sistem dan status quo.”

Revin menambahkan bahwa argumennya mengenai alasan di balik Musma yang belakangan sering dianggap tidak efektif adalah kurangnya partisipan yang hanya sebesar 7-8% dari total 2.500 mahasiswa FISIP serta adanya kuorum atau threshold sidang yang hanya 4%. Kuorum empat persen ini terkesan asal-asalan karena kongres membuat threshold dengan membebek kuorum 3% di Musma FIB tahun lalu, padahal situasi FISIP dan FIB mempunyai perbedaan tajam.

Tekanan suara Revin bertambah saat kami bertanya, benarkah alasan kemandekan efektivitas output Musma salah satunya adalah dari threshold yang diakali agar sidang tetap berjalan walaupun kontraproduktif. “Kalian capek-capek berdebat menentukan nasib 2.500 orang, tapi yang ikut hanya 100 orang dan yang bersuara hanya 8 orang. Memang bukan hal yang salah, tapi jelas sangat disayangkan. Memang sidang seperti ini akan efektif? Tidak, kan?” ujarnya.

Dhildi pun sampai pada kesimpulan bahwa efektivitas Musma tahun ini sangat kental dipengaruhi pergeseran mindset mahasiswa yang berorientasi ke dunia kerja. Imbasnya, mahasiswa pun jadi acuh tak acuh pada kegiatan-kegiatan di luar perkuliahan yang dianggap nirfaedah, seperti mengurus organisasi mahasiswa.

Tak mau jadi hipokrit, Dhildi pun merasakannya sewaktu ia masih menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Mahasiswa UI, di mana lingkup para anggotanya tidak hanya berasal dari FISIP, tetapi dari 15 fakultas di UI.  Saat itu, Dhildi merasa kekosongan kekuasaan di DPM UI terjadi karena adanya tawaran yang lebih menarik kepada para calon ketua organisasi tersebut, antara lain tawaran kesempatan kerja yang jelas lebih menggiurkan secara materi.

Harapan untuk “Calon Nahkoda”
Tadinya, kami berhati-hati memilih perumpamaan. Akan tetapi, di tengah badai suksesi ini, istilah “kapal oleng” untuk menggambarkan krisis FISIP lama-lama terasa cocok juga. Pasalnya, persoalan Musma secara langsung maupun tidak langsung sudah banyak membuka mata kita mengenai kayu-kayu di kapal yang sudah bolong dan tak ditambal selama bertahun-tahun. Musma juga menggembleng awak kapal FISIP; untuk tidak hanya melihat dermaga yang tertinggal di belakang, tetapi juga melihat jauh ke depan, membentangkan peta, meletakkan kompas, serta merumuskan harapan untuk berlayarnya kapal dengan angin demokrasi dari buritan.

Revin mengambil jalan tengah saat kami menanyakan apakah dua kali agenda Musma berikut seperangkat hasilnya dapat membawakan hasil yang sesuai harapan atau tidak, “Butuh waktu, kalau (menurut -red) gue, solusi yang ada di kontrak politik bisa mengatasi semua permasalahan di BEM dan DPM FISIP. Kita bisa bilang model yang sekarang sudah tidak relevan, tetapi gue tidak menafikan dalam beberapa tahun terakhir, (keberadaan -red) BEM membantu banyak orang dalam menstimulus kreasi mahasiswa, Adkesma dan aktivisme. Hal ini menunjukan kita harus mulai berpikir apa yang selanjutnya dapat dilakukan mahasiswa, maka BEM harus bisa lebih menyesuaikan.”

Dhildi pun menaruh catatan ihwal kriteria kandidat Ketua BEM yang ideal menurutnya. Ada empat kriteria yang menurutnya harus dimiliki oleh siapapun orang yang nantinya akan menjadi “nahkoda” BEM FISIP. “Kalau gue sebagai presidium, bukan haknya untuk bicara mengenai kriteria kandidat yang baik, tetapi harapan untuk kandidat cukup simpel: Pertama, bisa memahami integrasi mahasiswa FISIP karena kita harus mulai bisa berkolaborasi antar lembaga. Kedua, harus memahami kebijakan berperspektif gender karena dengan memahami kesulitan perempuan dalam bekerja. Mereka (calon ketua -red) harus tahu manusia lebih dari alat produksi. Ketiga, mereka harus memahami ‘kepemimpinan pendapat’ yang tidak berdasarkan hierarki kekuasaan, tetapi berdasarkan relevansi pendapatnya. Terakhir, bisa memahami visi dari Merdeka Belajar yang utuh, di mana BEM harus paham keinginan mahasiswa dan bukan sebaliknya,” pungkas Dhildi yang dengan penuh harapan menutup obrolan bersama kami.

Teks : Muhammad Akhtar Jabbaran dan Chris Wibisana
Gambar : The Oklahoman Edisi 26 Mei 2017
Ilustrasi : Amalia Ananda dan Brilian Kesumanegara
Editor : Ninda Maghfira

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, Berkualitas!