BEM UI, BNI, dan Cipayung Plus: Ambivalensi atau Inherensi?

Redaksi Suara Mahasiswa · 3 April 2022
7 menit

Untuk dapat lebih memahami landasan teoritis tulisan ini, penulis menyarankan pembaca untuk terlebih dahulu membaca tulisan penulis mengenai demistifikasi gerakan mahasiswa di sini.

Belakangan ini, lingkungan pergerakan mahasiswa yang biasanya hanya diisi diskusi tak kunjung usai mahasiswa tua mengenai Materialisme, Dialektika, dan Logika Tan Malaka dihebohkan oleh dua peristiwa sekaligus. Peristiwa pertama terjadi di Universitas Indonesia kita tercinta. Sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel Suara Mahasiswa, Ketua BEM UI yang baru menjabat, Bayu Satria, menghadiri kegiatan jogging pagi bersama elite kampus dan Direktur Utama Bank Negara Indonesia 46 (BNI). Pada saat yang sama, barisan anggota BEM UI yang dipimpinnya sedang melakukan demonstrasi “Aksi Stop Mendanai Krisis Iklim” terhadap BNI, “bank berkelanjutan’ yang justru mendanai sejumlah perusahaan tambang batu bara. Lucunya lagi, pada unggahan kegiatan jogging ceria tersebut di kanal instagram @ui_mwa, Bayu dengan polosnya memberikan komentar mengenai kesalahan penyebutan nama belakangnya—Bayu Septian alih-alih Bayu Satria. Setelah menuai protes dari banyak elemen mahasiswa FISIP, Bayu kemudian mengunggah semacam pernyataan “klarifikasi” di akun pribadinya. Anehnya, “klarifikasi” tersebut justru sama sekali tidak menyinggung kegiatan jogging ceria dan aksi demonstrasi BNI, serta tidak memuat pernyataan mengakui kesalahan ataupun permintaan maaf dalam bentuk apapun.

Peristiwa kedua adalah berita di media massa mengenai kunjungan perwakilan tujuh organisasi mahasiswa besar dengan nama Kelompok Cipayung Plus kepada sejumlah elite negara; Menteri Investasi, Ketua MPR, Menteri Sekretaris Negara, Kepala Polri, dan Presiden Joko Widodo. Belum genap tiga tahun digaungkannya #MosiTidakPercaya oleh elemen mahasiswa, tujuh organisasi mahasiswa ekstra kampus (ormek) ini ternyata sudah kembali mempercayai elite-elite yang nyatanya gagal memenuhi tuntutan mahasiswa dalam aksi #ReformasiDikorupsi, #TolakOmnibusLaw, #SahkanRUUPKS, dan lain sebagainya. Seusai bertemu Presiden, salah satu anggota perwakilan, Raihan Ariatama selaku Ketua Umum PB HMI menyampaikan kesan-pesannya. “Kami mendapatkan energi positif kepemimpinan beliau yang sangat luar biasa hari ini,” katanya (Febrianto, 2022). Lebih hebatnya lagi, Raihan juga menegaskan komitmen Kelompok Cipayung Plus untuk membersamai program pemindahan ibu kota ke Nusantara (Rizqo, 2022). Safari ormek ini juga menimbulkan reaksi keras sejumlah elemen mahasiswa yang mempertanyakan integritas dan keberpihakan para “pemimpin gerakan” tersebut.

Mitos-Mitos Gerakan Mahasiswa

Satu tahun lalu, saya beserta dua teman menulis sebuah esai yang menyajikan argumen bahwa gerakan mahasiswa hari ini terjebak dalam romantisasi heroisme yang semu. Orde Baru telah berhasil memaksakan lima peran mahasiswa—agent of change, social control, iron stock, moral force, dan guardian of value—yang justru menempatkan mahasiswa di atas menara gading. Mahasiswa akhirnya menganggap dirinya sebagai aktor utama pendorong advokasi dan perubahan sosial, sehingga memisahkan dirinya dari elemen-elemen lain masyarakat sipil. Bahkan setelah keruntuhan Orde Baru, mitos ini terus diturunkan sebagai identitas semu. Lebih buruk lagi, mahasiswa semakin besar kepala karena menganggap dirinya berhasil menumbangkan Soeharto dengan menduduki Senayan—menafikan political opportunity structure sebagai faktor eksogen yang nyatanya memungkinkan keruntuhan rezim (Meyer, 2004: 125-145). Gerakan mahasiswa saat ini mengalami krisis identitas, terjebak dalam label-label buatan Orde Baru yang menghasilkan gerakan performatif alih-alih progresif.

Saya berargumen bahwa berkat label-label tersebut, individu-individu yang tergabung dalam gerakan mahasiswa hari ini mengalami apa yang disebut Jean Paul-Sartre sebagai bad faith atau keyakinan buruk. Keyakinan buruk dalam artian ini adalah fenomena psikologis saat suatu individu bertindak secara tidak autentik, dengan menyerah kepada tekanan eksternal masyarakat untuk mengadopsi nilai-nilai palsu dan mengingkari kebebasan bawaan mereka sebagai manusia (Childers, 1995: 103). Individu yang memiliki keyakinan buruk sejatinya menipu diri sendiri dan orang lain dengan beralasan bahwa faktor-faktor eksternal—fasilitas—memaksa diri mereka untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal. Individu ini berusaha untuk meyakinkan diri dan orang lain bahwa mereka sebagai individu sama sekali tidak memiliki pilihan, dan bahwa perbuatan mereka adalah merupakan hasil determinasi mutlak faktor-faktor kausal dan konstitutif yang berada di luar kuasa mereka (Reynolds, 2006: 73). Dalam gerakan mahasiswa Indonesia, keyakinan buruk adalah penyerahan diri terhadap nilai-nilai palsu berupa label identitas mahasiswa buatan Orde Baru yang eksklusif, regresif, dan sarat penokohan. Sebagai awam, saya berpendapat bahwa keyakinan buruk dapat dibuktikan dengan melihat kembali secara retrospektif kemungkinan-kemungkinan pilihan alternatif yang dapat dipilih individu jika Ia mencoba melampaui batasan-batasan sosial yang Ia anggap mutlak. Dalam kasus Bayu misalnya, saya dapat menemukan setidaknya empat kemungkinan pilihan alternatif.

Alternatif pertama; meskipun tidak mengetahui rencana kehadiran Direktur BNI, Bayu memilih mengikuti kegiatan lari pagi dengan anggota MWA, perwakilan ILUNI, dan Wakil Rektor, alih-alih demonstrasi terhadap BNI yang dilakukan pada saat yang sama. Bukankah Bayu memiliki pilihan untuk memimpin aksi massa terhadap BNI yang digagas BEM-nya sendiri? Kedua; saat Direktur BNI Sis Apik Wijayanto tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan, bukankah Bayu memiliki pilihan untuk walk-out—mempertegas sikap politik aksi terhadap BNI? Apakah rasa “tidak enak” yang menjadi risiko se’memaksa’ itu? Ketiga; jika misalnya—ayo kita berkhayal sedikit—aksi walk-out ternyata akan membahayakan nyawa Bayu, bukankah Bayu dapat menggunakan kesempatan itu untuk menyampaikan protesnya secara langsung pada Direktur BNI, dan kemudian mempublikasikan perbuatannya alih-alih malah memprotes kesalahan penyebutan namanya di unggahan kanal Instagram @ui_mwa? Keempat; jika Bayu—mari kita berkhayal lebih jauh lagi—pada tanggal 15-16 Maret ternyata sedang mengalami gangguan mental berupa delusi yang membuatnya tidak memiliki kehendak yang bebas dan rasional, bukankah ia dapat membuat permohonan maaf karena telah mengecewakan dan membingungkan konstituennya, alih-alih membuat unggahan “klarifikasi” ala selebgram problematis tanpa sama sekali menyebutkan peristiwa jogging ceria yang kontradiktif dengan sikap politik BEM UI? Apakah memohon maaf lagi-lagi akan membahayakan keselamatan jiwa Bayu?

Sampai saat ini, saya hanya menemukan tiga opsi penyebab ambivalensi sikap Bayu dan BEM UI; entah Bayu sedang disandera oleh elite negara dan kampus, atau Bayu tidak sedang dalam kondisi mental stabil, atau Bayu dengan keyakinan buruknya sedang berusaha menipu diri dan IKM UI. Jika jawabannya merupakan opsi pertama dan/atau kedua, saya tentunya akan memohon maaf sebesar-besarnya dan ikut prihatin terhadap kondisi Bayu. Namun jika jawabannya merupakan opsi ketiga, maka masa depan gerakan mahasiswa UI akan sama buntunya dengan gerakan selama ini berkat nilai-nilai regresif, eksklusif, dan sarat penokohan warisan Orde Baru.

Gerakan Moral dan Gerakan Politik

*) Beberapa kalimat dari dua paragraf pertama bagian ini merupakan saduran dari tulisan yang pernah penulis publikasikan.

Sayangnya, dikarenakan keterbatasan informasi di media massa, saya tidak dapat menganalisis tindakan Kelompok Cipayung Panas menggunakan konsep keyakinan buruk. Meskipun begitu, kedekatan elite gerakan mahasiswa dengan elite negara kembali mengingatkan saya kepada diagnosis Sunyoto Usman terhadap gerakan mahasiswa pada 1999.  Ia mempertanyakan esensi dari gerakan mahasiswa; apakah gerakan mahasiswa adalah gerakan moral, ataukah gerakan politik? Gerakan moral “bersifat membela rakyat agar tidak dieksploitasi oleh rezim penguasa”, “menekankan pada membangun atensi”, serta melihat “energi mahasiswa seharusnya diletakan sebagai kekuatan penggerak perubahan ketika institusi birokrasi dan institusi politik tidak mampu melakukan peran sesuai dengan tuntutan sektor publik” dan “posisi mahasiswa berada di luar institusi birokrasi dan di luar institusi politik, namun tetap melakukan fungsi kontrol politik”.⁴ Di sisi lain, gerakan politik “lebih terarah pada upaya menciptakan aksi atas dasar kepentingan politik tertentu, serta mempertahankan kekuasaan dan kekuatan politik yang telah diraih atau dimilikinya”, serta melihat “energi mahasiswa harus ditempatkan sebagai kekuatan riil dalam percaturan politik” dan “posisi mahasiswa . . . sebagai aktor politik yang memiliki kemampuan menerapkan kebijaksanaan politik tertentu”.

Kedua model gerakan mahasiswa ini memiliki kelemahan dan kritiknya masing-masing. Gerakan moral, dikarenakan prinsipnya yang menekankan kemurnian niat mahasiswa yang anti-pamrih, seringkali memisahkan diri dari rakyat, tidak membangun basis massa dan aliansi, reaksioner, regresif, dan menghilangkan prinsip-prinsip radikalnya.⁶ Di sisi lain, gerakan politik, meskipun menekankan kewajiban gerakan mahasiswa untuk membangun jaringan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertindas, rentan terjebak dalam vested interest elite dan kooptasi (Usman, 1999: 146-163). Dikotomi ini merupakan dua orientasi gerakan mahasiswa yang nampaknya tidak dapat disatukan.

Jika kita lihat, Kelompok Cipayung Plus sejatinya telah melakukan sesuatu yang nampak mustahil: menggabungkan karakteristik gerakan moral dan gerakan politik. Sayangnya, mereka justru melampaui dikotomi ini dengan mengadopsi kelemahan kedua model gerakan tersebut sembari menghapuskan kelebihannya. Safari elite negara yang dilakukan merupakan bukti kooptasi dan vested interest pada gerakan yang masih pamrih, tidak memiliki basis massa dan aliansi yang signifikan, reaksioner, regresif, normatif, dan tidak berjejaring secara optimal. Padahal gerakan pada hari ini belum memiliki atensi massa yang signifikan, belum berhasil mewujudkan perubahan yang diinginkan, dan belum memiliki pengaruh politik yang berarti.

Kesimpulan: Ambivalensi atau Inherensi?

Dua peristiwa yang telah saya bahas sejatinya menunjukan adanya permasalahan yang besar dalam gerakan mahasiswa. Pada satu sisi, politik dua kaki dan krisis integritas BEM UI dan Kelompok Cipayung Plus menunjukan ambivalensi politik gerakan. Berkat praktik keyakinan buruk ini, mudah bagi kita untuk menyimpulkan bahwa permasalahan gerakan mahasiswa adalah permasalahan yang bersifat mikro; para pemimpin gerakan yang plin-plan, naif, oportunis, dan/atau pengecut menghasilkan gerakan yang kontradiktif dan membingungkan. Akan tetapi, kedua fenomena juga menunjukan sifat inheren gerakan mahasiswa yang mengalami krisis identitas. Oleh karena itu, wajar jika seseorang berpendapat bahwa permasalahan ini bersifat makro; gerakan mahasiswa yang tidak memahami Diri dan Liyan-nya bergerak tanpa adanya tujuan, prinsip, serta strategi yang jelas.

Saya berpendapat bahwa Bayu, BEM UI, Raihan, dan Cipayung Plus menunjukan adanya permasalahan mikro sekaligus makro dalam gerakan mahasiswa. Ambivalensi pemimpin dan masa gerakan merupakan produk dan sifat yang inheren dari model gerakan mahasiswa hari ini. Gerakan mahasiswa yang mengalami krisis identitas melahirkan anomie pada lingkungan sosial gerakan. Dikarenakan gerakan anomie berarti merupakan gerakan yang tidak memiliki standar, nilai, dan tujuan yang jelas, para mahasiswa yang terlibat dalam gerakan ini nantinya akan bergerak layaknya orang linglung tanpa arah dan tujuan, sehingga gerakan yang mereka jalankan bersifat ambivalen. Aktor-aktor gerakan ini nantinya akan meneruskan kelinglungan mereka dalam rangkaian regenerasi gerakan kepada anggota yang lebih baru, sehingga krisis identitas serta anomie yang memulai siklus ini kembali terjadi. Sesekali, saat membutuhkan retorika untuk menyemangati mahasiswa linglung ini, pemimpin gerakan mungkin akan mendaur ulang label-label Orde Baru yang regresif. Sayangnya, nilai-nilai regresif tidak pernah dapat mengatasi anomie dan krisis identitas, dan justru malah menjadi penyebab munculnya keyakinan buruk yang memperparah anomie. Begitulah terus lingkaran setan ini berputar sampai mungkin suatu saat nanti, gerakan mahasiswa runtuh dengan sendirinya, menyisakan mahasiswa-mahasiswa linglung yang bingung harus membahas Materialisme, Dialektika, dan Logika Tan Malaka dengan siapa.

Teks: Revin Muhammad Alsidais
Editor: Redaksi Suma UI
Ilustrasi: Suma UI

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

Potensi Konflik Kepentingan

Penulis bukan merupakan anggota aktif organisasi mahasiswa ekstra kampus, lembaga kemahasiswaan, maupun partai politik serta kelompok kepentingan manapun. Penulis merupakan pengurus Serikat Mahasiswa Progresif (Semar) UI tahun 2021 dan pengurus BEM FISIP UI tahun 2020. Tulisan merupakan opini pribadi penulis.

*) Opini kontributor ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Pers Suara Mahasiswa UI.

Daftar Pustaka

Alsidais, Revin Muhammad, Weltri Bakara Febian, dan Nadia. “Melampaui Dikotomi-Dikotomi Gerakan Mahasiswa Indonesia.” Medium, 11 Februari 2021. Diakses melalui https://medium.com/@revin.alsidais/melampaui-dikotomi-dikotomi-gerakan-mahasiswa-indonesia-ff52620fd49c.

BEM UI. “TELAH BERLANGSUNG: AKSI STOP MENDANAI KRISIS IKLIM.” Instagram, 20 Maret 2020 Diakses melalui https://www.instagram.com/p/CbUCfQlrauw/.

Childers, Joseph. The Columbia Dictionary of Modern Literary and Cultural Criticism. Columbia University Press, 1995.

Jabbaran, Muhammad Akhtar, dan Chris Wibisana. “Menyoal Integritas Pimpinan BEM UI: Jogging Ceria atau Aksi, Pilih yang Mana?” Suara Mahasiswa. Diakses melalui https://suaramahasiswa.com/menyoal-integritas-pimpinan-bem-ui-jogging-ceria-atau-aksi-pilih-yang-mana.

Majelis Wali Amanat UI. “Jogging Ceria Ketua MWA UI, Ketua BEM UI, Ketua Iluni, WR 1 UI dan Direktur BNI.” Instagram, 16 Maret 2022. Diakses melalui https://www.instagram.com/p/CbJnRvVvQn5/.

Meyer, David S. "Protest and Political Opportunities." Annu. Rev. Sociol. 30 (2004): 125-145.

Pebrianto, Fajar. “Kelompok Cipayung Plus Puji Jokowi Usai Diundang ke Istana.” Tempo.co. Diakses melalui https://nasional.tempo.co/read/1574044/kelompok-cipayung-plus-puji-jokowi-usai-diundang-ke-istana

Reynolds, Jack. Understanding Existentialism. Routledge, 2014.

Rizqo, Kanavino Ahmad. “Bertemu Jokowi di Istana, Kelompok Cipayung Plus Diminta Tetap Kritis.” detiknews. Diakses melalui https://news.detik.com/berita/d-5997048/bertemu-jokowi-di-istana-kelompok-cipayung-plus-diminta-tetap-kritis

Usman, Sunyoto. "Arah Gerakan Mahasiswa: Gerakan Politik Ataukah Gerakan Moral?." Jurnal Ilmu Sosial dan Politik 3, no. 1999 (1999).