Duhai Mahasiswa, Kamu itu Buruh: Sefruit Kritik untuk Gerakan Mahasiswa Kini

Redaksi Suara Mahasiswa · 20 Januari 2023
6 menit

Disclaimer: Tulisan ini mencoba untuk menyajikan tawaran baru dalam menempatkan gerakan mahasiswa dalam perkembangan kapitalisme.

Apa yang tak lekang dimakan waktu dan tak pecah dihimpit ruang?

Orang punya banyak jawaban. Bagi followers akun Twitter Fiersa Besari yang sudah membaca Garis Waktu, mereka akan menjawab: “kenangan”. Terkadang, mereka yang patah hati kerap mengundang “kenangan” bermain dengan rinai hujan. Kehadirannya justru menghantui mereka yang bersikeras melupakannya. Lalu lenyap seketika orang mulai sungguh-sungguh mengingatnya.

Kata orang-orang, kita bisa lupa nama, tapi ingat rasa. Tetapi ini bukan tentang cinta-cintaan. Sebab kenangan indah tak selalu jadi barang eksklusif bagi mereka yang sedang patah hati atau jatuh cinta. Mungkin sastrawan Goenawan Mohamad juga akan bertaklid kepada penulis, seperti halnya ia percaya: “Manusia adalah makhluk khusus: ia mengingat-ingat.” Justru dengan kekhususannya itulah cerita paradoks ini dimulai.

Kematian selalu ingin dihindari dan sekaligus disegerakan. Orang selalu punya ambisi menjadi kekal dalam ingatan kebanyakan orang, entah sebagai pahlawan negara atau tokoh terpandang. Atau dalam tingkat individual: menjadi abadi dalam diri kekasihnya. Tapi justru karena itulah orang harus mati agar bisa dikenang. Meski itu berarti bangunan kenangan miliknya juga terancam ambruk seiring kehancuran otaknya dimakan tanah.

Mungkin karena itulah sastrawan favorit penulis, Milan Kundera, mengukuhkan: “Kematian dan kekekalan adalah sepasang kekasih tak terpisahkan.” Keduanya lebih erat dari legenda Romeo dan Juliet, Marx dan Engels, atau Habibie dan Ainun. Barangkali semua ini jadi awal mengapa sejarah selalu meminta untuk ditulis. Rumitnya, sejarah lebih sering ditulis semaunya saja. Semau pemerintah kolonial Hindia Belanda, semau rezim Orde Baru, juga semau aktivis mahasiswa yang kebocah-bocahan itu.

Mitos dan Paradoks

Hasrat semau-maunya inilah yang membuat tak ada beda antara sejarah dan mitos. Lewat himpunan esainya bertajuk Indonesia’s History Between the Myths, sejarawan termasyhur GJ. Resink bisa memaklumi bagaimana masyarakat Indonesia tak bisa hidup tanpa mitos. Kebutuhan pada simbol-simbol tradisi membuat orang menutup mata pada seluk beluk kejadian hingga memilih berpaling kepada pemahaman kejadian menurut tafsiran budayanya.

GJ. Resink membongkar mitos penjajahan kolonial: bahwa penjajahan Belanda atas Indonesia tidak terjadi selama 350 tahun. Penulis tak mau mengulas lebih jauh tentang itu. Tapi ada satu mitos lain yang lebih kuat mengendap dalam ingatan kolektif pembaca mahasiswa: bila mahasiswa sudah turun ke jalan, tandanya keadaan negara sedang gawat darurat. Tentunya itu cuma mitos dan mitos itu terjalin erat dengan fiksi: mahasiswa merupakan kekuatan moral yang akan membereskan keresahan umum.

Mitos itu semakin menguat pada 1966, seiring kebutuhan militer atas koalisi sipil—penulis pernah mengulas ini secara mendalam di sini. Hal itu semata-mata demi menampilkan kesan sipil dalam rezim junta militer yang akan dibentuk. Angkatan Darat pun perlu memilah koalisinya secara tepat dan Mahasiswa (dengan “M” besar) menjadi ‘boneka sempurna’. Maka cerita fiksi itu pun dimulai.

Tentu tak semua fiksi perlu dibuang, meskipun sering ada paradoks yang mengiringinya. Seketika gerakan mahasiswa angkatan ’66 merestui dan membantu militer untuk menggulingkan rezim Demokrasi Terpimpin—suatu tindakan yang terlampau politis, mereka tetap mengklaim peranannya hanya sebatas “kekuatan moral”. Bahkan, mereka tetap menegaskan ketidaktertarikannya pada persoalan kekuasaan sembari memberi dukungan pada pembentukan rezim junta militer Orde Baru dan pembunuhan sistematis atas lebih dari setengah juta orang. Dalam memori kolektif aktivis mahasiswa yang kebocah-bocahan kini, kejadian inilah yang menjelma sebagai kenangan palsu: kemenangan gerakan mahasiswa.

Seiring waktu, kejatuhan Soeharto membuat mitos ini semakin menguat. Melalui karyanya berjudul Opposing Suharto, Edward Aspinall telah berhasil melacak bahwa konflik elite di lingkaran rezim telah mendahului kejatuhan Soeharto. Beda lagi dengan Jeffrey Winters, lewat karyanya berjudul Oligarki, yang berhasil meneguhkan argumen kalau keruntuhan rezim junta militer Soeharto lebih didorong oleh perpecahan elite dan aktor oligarki (oligarch). Catat baik-baik, tak ada peranan dominan mahasiswa dalam dua keruntuhan rezim itu.

Setidaknya itu secara ilmiah, meski mitos sama sekali tidak peduli pada kredibilitas ilmiah. Dalam kolom opini Suma UI, Revin Muhammad Alsidais telah mengidentifikasikannya secara tepat: “bahwa gerakan mahasiswa hari ini terjebak dalam romantisasi heroisme yang semu.” Dalam hal ini, Revin merujuknya pada lima peran mahasiswa sebagai agent of change, social control, iron stock, moral force, dan guardian of value. Tapi ada satu pertanyaan penting yang layak diajukan, mengapa gerakan mahasiswa hari ini mesti terjebak dalam romantisasi heroisme semu?

Bagi penulis, tidak seperti keyakinan Revin, ini bukan sekadar fenomena psikologis individu yang sedang terjebak pada tekanan eksternal masyarakat hingga dipaksa mengadopsi nilai-nilai palsu. Sebab ketika nilai-nilai palsu tersebut terus melekat kuat dalam wacana publik, ia tidak hadir sebagai himpunan memori individu-individu. Bukan juga akumulasi dari pengalaman psikologis individu. Artinya, ada faktor material yang membentuk dan meneguhkan nilai-nilai palsu itu. Lagi pula, apa yang otentik dari identitas mahasiswa?

Mahasiswa sebagai Buruh-Akademik

Penulis pernah mencoba mempertimbangkan faktor-faktor material dalam menganalisis terbentuknya nilai-nilai palsu dari identitas gerakan mahasiswa itu (baca di sini). Tapi faktor material-struktural itu tidak selalu menetap. Perubahan struktur ekonomi-politik selalu mengandaikan pembaharuan analisis. Sebab ketika struktur ekonomi-politik berubah, maka taktik mencapai perubahan sosial juga tidak sama.

Lalu apa yang berubah? Kejatuhan Soeharto tak bisa dilihat semata-mata sebagai konflik elite ataupun perebutan oligarch terhadap sumber daya kekuasaan. Lebih mendasar lagi, ada fenomena krisis kapitalisme yang membelakangi semuanya. Melalui Unifinished Nation, Max Lane telah mempertimbangkan aspek itu sebagai yang utama dalam analisisnya, meski perhatiannya lebih ditempatkan dalam konteks peranan agensi massa anti-Orde Baru.

Di puncak kehancurannya pada 1997, strategi ekonomi neoliberal semakin agresif diterapkan melalui seperangkat kebijakan deregulasi, swastanisasi, dan pengetatan. Paket kebijakan neoliberal tak memperdulikan apakah ada kebijakan subsidi yang melindungi komoditas dan industri di mana rakyat banyak bergantung kepadanya atau tidak. Konsekuensinya, keresahan sosial melampaui titik kulminasinya—yang dalam amatan Max Lane mewujud dalam dua bentuk: kerusuhan sosial atau aksi massa spontan.

Sebab perlawanan global—tak terbatas di Indonesia—terhadap kebijakan kapitalisme industrial semakin menjadi-jadi, konsolidasi ulang kapitalisme dan pergeseran paradigmanya menjadi konsekuensi lebih lanjut. Ekspansi sirkulasi kapital ke berbagai sektor kehidupan tidak terhindarkan lagi, termasuk ke sektor pendidikan. Pergeseran ini dapat dilihat sebagai jalan keluar dari jeratan krisis dekade 1980-an dan pencarian sumber akumulasi kapital baru.

Apa implikasinya bagi sektor pendidikan? Orientasi pendidikan bukan lagi sebagai bentuk pemenuhan negara terhadap hak warga negara atas pengetahuan. Namun, sebagai pelayanan terhadap konsumen yang berguna untuk meningkatkan nilai investasinya: peningkatan skill tenaga kerja, perluasan sektor investasi bagi investor, hingga penggandaan nilai-lebih dalam produksi kapitalis.

Di sinilah tesis kapitalisme kognitif berguna untuk pembaharuan analisis. Suatu konsep yang awalnya dikembangkan kubu Marxis otonom sebagai kritik terhadap teori ekonomi pengetahuan dan teori ekonomi inovasi dari kubu liberal. Cognitive capitalism menempatkan penetrasi akumulasi kapital ke sektor pendidikan yang terjadi sejak dekade 1980-an sebagai bentuk perubahan kualitatif hubungan sosial. Inilah bentuk baru dari eksploitasi kapitalis yang ditandai dengan hegemoni kerja kognitif atau nonmaterial. (Susilo, 2021; Boutang, 2011).

Bentuk empirisnya terwujud dalam penerapan modal PTN-BH di Indonesia yang dicirikan dengan kombinasi komersialisasi dan pengurangan anggaran negara. Demi mengamankan proses sirkulasi kapital yang berlangsung, maka penguatan otoritarian modern diterapkan melalui tekanan birokrasi terhadap segala bentuk perlawanan. Di soal itu, pembaca bisa mengamati langsung pada penguatan aparat keamanan kampus dan pengetatan aturan yang membatasi berbagai kegiatan mahasiswa.

Dalam aspek kemahasiswaan, wujud konkretnya mudah diamati pada tren kenaikan biaya pendidikan di setiap PTN-BH seiring pengurangan porsi anggaran negara. Manufakturisasi kurikulum yang berorientasi pasar juga tidak ketinggalan. Mahasiswa diposisikan tidak lebih sebagai calon buruh terdidik dengan sepaket kemampuan teknis yang ditanamkan.

Lebih jelas lagi, seperti dalam kasus pengurangan porsi anggaran negara pada PTN-BH, pembentukan badan-badan usaha milik kampus juga jadi manifestasi dari komersialisasi pengetahuan. Sebagaimana kontradiksinya sudah diidentifikasi oleh Panji Mulkillah dalam Kuliah Kok Mahal?, lucunya pembentukan badan-badan usaha milik kampus itu menyimpan kontradiksinya sendiri. Kemandirian pembiayaan operasional kampus yang menjadi dalih pembentukan badan-badan usaha itu justru tidak terlihat sama sekali. Dari tahun ke tahun, UKT mahasiswa justru selalu menempati porsi terbesar dalam anggaran operasional kampus.

Semua fenomena ini mencerminkan kontradiksi internal yang melekat dalam kapitalisme kognitif. Tapi justru dengan cara inilah gerakan mahasiswa bisa dirumuskan ulang. Demi menutupi kekurangan berbagai kritik yang bernuansa elitis dan romantis, penempatan kembali Mahasiswa (dengan “M” besar) sebagai buruh-akademik memungkinkan penyesuaian kemampuan gerakan mahasiswa terhadap segala represi ekonomi neoliberal di dalam kampus.

Kita juga jangan lupa, mahasiswa bukan korban tunggal dari represi kapitalisme kognitif ini. Ada banyak pekerja akademik lainnnya, entah sebagai dosen atau tenaga operasional kampus. Bentuk konkret represi yang mereka alami tidak jadi fokus utama tulisan ini. Tapi satu hal jelas tampak sebagai konsekuensinya. Dengan menempatkan peranan mahasiswa sebagai buruh-akademik, maka upaya perebutan kembali pengetahuan publik oleh aliansi strategis buruh akademik—termasuk mahasiswa—menjadi lebih masuk akal untuk dipertimbangkan. Hal itu lebih lebih masuk akal ketimbang mengurung diri dalam selimut eksklusivitas jaket almamater para pembaca.

Teks: Ahmad Shalahudin, FIB UI
Editor: Dian Amalia Ariani
Ilustrator:

Referensi
Akhmad, Fazlur. (2005). The Indonesian Student Movement: A Force for Radical Social Change? Dalam David Bourchier dan Vedi Hadiz (Ed.), Indonesian Politics and Society: A Reader (pp. 167-170). London & New York: Taylor & Francis e-Library.

Alsidais, Revin M. (2022). BEM UI, BNI, dan Cipayung Plus: Ambivalensi atau Inherensi?Diakses dari https://suaramahasiswa.com/bem-ui-bni-dan-cipayung-plus-ambivalensi-atau-inherensi

Boutang, Yann Moulier. (2011). Cognitive Capitalism. Cambridge: Politiy Press.

Aspinall, Edward. (2005). Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia. California: Stanford University Press.

Lane, Max. (2021). Unfinished Nation: Ingatan Revolusi, Aksi Massa dan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Djaman Baroe.

Mulkillah, Panji. (2018). Kuliah Kok Mahal?, Pengantar Kritis Memahami Privatisasi, Komersialisasi, dan Liberalisasi Pendidikan. Yogyakarta: Best Line Press.

Shalahudin, Ahmad. (2022). Eksklusivisme Berbalut Almamater: Otokritik terhadap Gerakan Mahasiswa.Diakses dari https://kumparan.com/ahmad-shalahudin/eksklusivisme-berbalut-almamater-otokritik-terhadap-gerakan-mahasiswa-1xxVjwHzZLp

Shalahudin, Ahmad. (2022). Mengurai Mitos Gerakan Mahasiswa Angkatan ‘66: Agent of Change?. Diakses dari https://kumparan.com/ahmad-shalahudin/mengurai-mitos-gerakan-mahasiswa-angkatan-66-agent-of-change-1xqm4XEGktN

Susilo, Joko. (2021). Neoliberalisasi Pendidikan Tinggi: Restrukturalisasi Institusi dan Perlawanan Gerakan Mahasiswa Kini, Stud Pasca PTN BH UGM 2012-2020. Skripsi Prodi Manajemen dan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

Winters, J. A. (2011). Oligarki. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.