Iklim Politik Kotor yang Menyertai Pengunduran Diri Calon Tunggal BEM FISIP UI

Redaksi Suara Mahasiswa · 22 Desember 2021
5 menit

Pemilihan Raya (Pemira) FISIP UI kembali dihantam gonjang-ganjing. Rangkaian “drama” ini berawal dari kabar mundurnya calon tunggal Ketua dan Wakil Ketua BEM FISIP UI, Zeni dan Ridho, dari rangkaian Pemira FISIP UI (21/12). Melalui akun kampanye yang dibuat oleh tim suksesnya di Instagram, Zeni dan Ridho menyatakan keputusan mereka untuk mundur setelah menghadapi kritik dan serangan personal bertubi-tubi oleh pihak yang menyatakan diri sebagai “Aliansi Peduli FISIP UI”.

“Hal-hal yang mungkin dianggap sepele oleh orang lain, nyatanya menyakitkan dan menyayat hati kami, hingga kami merasa dihadapkan pada ruang yang tidak lagi sehat untuk berkembang dan memperbaiki diri,” demikian tertulis pada akun Instagram @wadahdaw, dilengkapi dengan hashtag #FISIPKrisisEmpati dan #SaveFISIP.

Sebagai calon tunggal, keputusan mundurnya Zeni dan Ridho secara tiba-tiba bagai membuka kotak kejutan yang tak ayal menghebohkan IKM FISIP UI. Perhatian publik pun lantas tertuju pada kedua akun black campaign di Instagram (@arahbarufisipui2022 dan @wadihdaww) yang dinilai gencar menyerang kandidat calon. Narasi yang digaungkan oleh kedua akun tersebut adalah ajakan untuk memilih kotak kosong ketimbang menaruh dukungan pada calon tunggal Zeni dan Ridho. “Kotak kosong solusi ampuh tolak paslon otak kosong”—sebagaimana tertulis dalam bio Instagram @arahbarufisipui2022. Kritik yang diunggah dalam akun tersebut dikemas dalam bentuk meme dengan beberapa bahasan, antara lain adalah kritik terhadap Grand Design yang dinilai terlalu singkat, ketidaksiapan bakal calon, hingga guyonan dan serangan yang tertuju pada aspek personal.

Demikian, muncul berbagai spekulasi mengenai agenda politis di balik kemunculan akun-akun black campaign tersebut. Ikatan Keluarga Mahasiswa (IKM) FISIP pun kemudian geram dan bertanya-tanya: siapakah di balik akun-akun tersebut?

Tak berselang hingga 24 jam dari kabar mundurnya Zeni dan Ridho, telah terjadi peretasan akun @arahbarufisipui2022. Meskipun tidak diketahui secara pasti siapa yang mengambil alih akun tersebut, pada salah satu unggahan, terdapat pengungkapan, “Kami adalah warga FISIP biasa, di luar Timses maupun KPR, yang resah dengan cara seperti ini.”

Pengambilalihan akun tersebut diikuti dengan diunggahnya konten-konten baru yang mengkontradiksi narasi di unggahan-unggahan sebelumnya. Pada intinya, peretas menyayangkan ditempuhnya cara-cara nonkonstruktif oleh si pemilik akun yang bersembunyi di balik embel-embel “menyelamatkan FISIP”. Kotak kejutan kedua pun dibuka — peretas membeberkan riwayat aktivitas akun tersebut, termasuk riwayat pembelian followers, pihak-pihak yang mengirimkan konten, hingga nomor telepon dan identitas si pemilik akun — secara terang-terangan. Unggahan tersebut pun sontak dibanjiri oleh ratusan komentar hanya dalam hitungan menit saja. Tak berselang lama, akun tersebut kemudian menghilang tanpa jejak.

AMM, seorang mahasiswa FISIP yang namanya dicatut sebagai sosok di balik akun @arahbarufisipui2022, dipantau segera menonaktifkan kolom komentar di akun Instagram pribadinya. Sementara itu, melalui rangkaian unggahan klarifikasi dan pengungkapan yang dilakukan melalui kanal Instagram @salamsatufisip, AMM menyatakan, ia sama sekali tidak menduga bahwa respons yang ditimbulkan dari narasi tandingan yang ditayangkan akun tersebut berujung pada pengunduran diri pasangan calon Zeni dan Ridho.

Melalui unggahan terbaru tersebut, AMM mengaku bahwa hal yang melatarbelakangi ia untuk membuat akun tandingan tersebut adalah karena kekecewaannya terhadap Grand Design yang disusun oleh kandidat calon—yang dinilai terlalu singkat, yakni tiga belas halaman, dan kurangnya riset secara mendalam kepada fungsionaris BEM FISIP UI serta komunitas seni dan olahraga yang ada di FISIP secara menyeluruh. Menurutnya pula, Zeni dan Ridho tidak melakukan jaring aspirasi secara masif dan menyeluruh untuk menampung segala keresahan dan kebutuhan IKM FISIP. Oleh karena itu, menurutnya penting untuk menjadi dummy sebagai lawan bagi Zeni dan Ridho “Sang Calon Tunggal”.

Kotak kejutan ketiga bersiap dibuka: sudah merupakan rahasia umum bagi internal FISIP, bahwa AMM ternyata merupakan kandidat yang gagal maju sebagai bakal calon Ketua BEM FISIP pada kontestasi Pemira FISIP UI 2022. Desas-desus yang beredar menyebutkan bahwa ambisinya untuk maju dalam Pemira FISIP UI terhalang oleh kegagalannya dalam mencari kandidat Wakil Ketua BEM sebagai pendampingnya, yang akhirnya menempatkan Zeni dan Ridho sebagai calon tunggal dalam ajang tersebut.

Isu Peretasan Akun dan Doxxing yang Sama Kotornya

Menyimak dugaan agenda politis “kotor” yang dijalankan untuk menumbangkan kandidat calon, kiranya kita perlu bertanya-tanya lagi apakah gerakan kontra yang dilancarkan untuk mengutuk agenda tersebut tidak sama kotornya. Terlepas dari nilai substansi dari kritik yang disampaikan, peretasan yang diikuti oleh publikasi identitas secara terang-terangan terhadap pihak oposisi adalah bentuk kejahatan digital yang dinormalisasi, dan bahkan diselebrasi. Air tuba dibalas air tuba; cancel culture dibalas cancel culture.

Lebih-lebih, barangkali ini adalah kesempatan bagi kita untuk berefleksi kembali atas proses demokrasi yang selama ini kita jalani. Dalam sistem Pemira, sistem kotak kosong disajikan sebagai alternatif yang sah-sah saja untuk dipilih ketika IKM merasa tidak puas dengan kompetensi calon tunggal. Upaya menggalang dukungan bagi kotak kosong juga bukan suatu bentuk pelanggaran. Kritik sebagaimana yang dilancarkan AMM, meskipun dinilai kurang substantif dan terkesan naif, pada dasarnya adalah konsekuensi dari keberadaan demokrasi. Demikian pula, mengemukakan pendapat tanpa menunjukkan identitas asli juga merupakan hak individu—yang meskipun begitu, sayangnya, kurang dilakukan secara bertanggung jawab pada kasus AMM.

“Harusnya, ketika ada fake account mengkritik, yang dipertanyakan adalah, kenapa mereka beraninya pake fake account? Kenapa ga keluar sebagai diri mereka? Jangan-jangan emang FISIP se-enggak inklusif itu, jadi orang takut untuk bersuara,” pendapat Fita, seorang alumni FISIP UI angkatan 2017. Terdapat inkonsistensi dari iklim politik di FISIP dengan isu-isu yang diperjuangkan secara gagah oleh para IKM-nya—menurut Fita, pada praktiknya iklim perpolitikan di UI masih jauh dari gagasan egaliter dan demokratis.

Bagaimana Nasib Pemira FISIP UI Tahun Ini?

Mimpi terburuk setiap penyelenggara kontestasi demokrasi tentunya adalah kondisi di mana tidak adanya pasangan calon yang ingin mencalonkan diri—atau secara spesifik di dalam kasus Pemira FISIP UI tahun ini, satu-satunya calon yang bersedia untuk maju mencalonkan diri serta sudah mencapai masa pemungutan suara memilih untuk mengundurkan diri dengan alasan yang sudah disebutkan di atas.

Melalui rilis masa yang dikeluarkan pada hari ini (22/12) pukul 09.00 WIB oleh pihak panitia KPR FISIP UI, disebutkan bahwa langkah selanjutnya dalam menanggapi pengunduran diri sang calon tunggal berdasarkan ketentuan dalam pasal 20 ayat (2) Tata Tertib KPR Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Pendaftaran dan Verifikasi adalah dengan menggunakan mekanisme pemilihan Ketua dan/atau Wakil Ketua yang diserahkan kepada kongres atau Musyawarah Mahasiswa.

Menarik ingatan ke belakang, kisaran bulan Februari-Maret 2021, BEM FIB mengalami kejadian yang sama. Awalnya terdapat dua calon yang akan maju, yaitu paslon Kemal-Yoas dan Ady-Harry. Tapi, Kemal-Yoas gugur pada saat verifikasi berkas. Tinggallah paslon Ady-Harry sebagai paslon tunggal. Alih-alih mendapatkan jalan mulus, mereka justru diterpa isu maladministrasi. Terdapat dugaan pemalsuan dan pencurian dokumen dukungan KTM yang dilakukan oleh timses paslon terkait. Juga mengalami cancel culture, akhirnya Ady-Harry gugur dalam kontestasi tingkat fakultas. Mekanisme berlanjut ke Musyawarah Mahasiswa, yang akhirnya menghasilkan pemimpin BEM FIB 2021 terpilih—Muhammad Husni—yang tidak pernah berkampanye, mencari dukungan dari sivitas FIB, maupun menyusun Grand Design secara layak.

Agaknya, hal ini sungguh disayangkan, mengingat mekanisme kongres atau Musyawarah Mahasiswa FISIP–apabila berakhir seperti Musyawarah Mahasiswa FIB–kemungkinan akan menghasilkan ketua BEM yang jauh dari dugaan khalayak. Pula, ketua BEM terpilih tidak memiliki waktu yang banyak untuk menyusun Grand Design hingga pengurus inti. Bila Grand Design Zeni-Ridho dinilai cacat, dapat saja Grand Design ketua BEM terpilih versi Musyawarah Mahasiswa menjadi Grand Design yang lebih cacat karena kurangnya waktu inkubasi dan pematangan ide. Kerugian lainnya yang akan muncul ialah menurun drastisnya minat IKM FISIP untuk berpartisipasi dalam BEM karena keterlambatan terbentuknya BEM, ‘berebut staf’ antara BEM dan organisasi lain, hingga menurunnya kepercayaan terhadap kinerja BEM.

Melalui rangkaian peristiwa rekayasa dan intervensi terhadap salah satu calon tunggal Ketua dan Wakil Ketua BEM FISIP UI tahun ini, apakah hal semacam ini menandakan bahwa iklim demokrasi di Universitas Indonesia, khususnya FISIP UI belum mencapai kata inklusif? — serta apakah terjadinya peristiwa semacam ini bak bukti nyata atas anggapan absennya ruang aman dalam berdemokrasi di lingkungan Universitas Indonesia?

Sudah saatnya IKM UI beserta komponen-komponen terkait ikut turun dalam menciptakan ruang bebas “intervensi kotor” baik dalam ranah politik maupun akademik sekalipun yang bisa menjamin kebebasan setiap individu di universitas ini. Pertanyaannya sekarang adalah, maukah dan sanggupkah kita untuk berbenah diri? Maukah dan sanggupkah kita memastikan bahwa kejadian ini adalah yang terakhir kali terjadi?

Teks: Syifa Nadia, Muhammad Riyan Rizki, Muhammad Akhtar Jabbaran, Nada Salsabila
Kontributor: Chris Wibisana
Foto: Dea Thalita
Editor: Giovanni Alvita

Pers Suara Mahasiswa UI
Independen, Lugas, dan Berkualitas!